SOEPENO, MARTIR BAGI ANAK BUAH
Rombongan berjumlah 60 orang itu meninggalkan Yogyakarta pada 17 Desember 1948, dua hari sebelum Ibukota Republik itu diduduki Belanda.
Terdapat dua orang menteri dalam rombongan tersebut, yaitu Menteri Kehakiman Mr. Susanto Tirtoprodjo dan Soepeno, menteri Pemuda dan Pembangunan. Keduanya dari kabinet Hatta yang dibentuk pada 28 Januari 1948.
Jatuhnya Yogyakarta menyebabkan kedua menteri tersebut menjadi "menteri gerilya" yang berkelana ke Jawa tengah dan Jawa timur untuk menggerakkan berjuang melawan
Belanda.
Desa Ganter, dukuh Ngliman, Nganjuk
Kamis, 24 Februari 1949
Pagi itu Soepeno bersiap-siap hendak mandi bersama beberapa anak buahnya. Terdengar tembakan di kejauhan. Anggota gerilyawan mengira mereka adalah kawan lain yang berada didepan, karena memang rombongan dibuat terpisah pada jarak tertentu.
Alangkah terkejutnya Soepeno saat dihadapan mereka beberapa tentara Belanda yang bersenjata lengkap."𝑳𝒉𝒐, 𝑳𝒐𝒏𝒅𝒐" ujar seorang anggota. Tak sempat lagi untuk melawan dan bersembunyi. Mereka akhirnya digiring oleh serdadu Belanda.
Soepeno berjalan tegak, tenang, tidak menengok kekiri dan kanan.
Dia didorong-dorong oleh tentara itu dan disuruh berjongkok.
"𝑺𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒌𝒐𝒘𝒆?" tanya serdadu Belanda
"𝑹𝒂𝒌𝒚𝒂𝒕 𝒔𝒊𝒏𝒊" jawab Soepeno tenang.
"𝑲𝒆𝒓𝒋𝒂 𝒂𝒑𝒂?" Soepeno tidak menjawab
"𝑳𝒂𝒈𝒊 𝒂𝒑𝒂 𝒅𝒊𝒕𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕 𝒊𝒏𝒊?"
Kembali Soepeno diam.
Hal itu membuat serdadu Belanda kesal. Penampilan Soepeno dengan pakaian warok Ponorogo yang hitam tak bisa menyembunyikannya dari bau badannya yang tidak seperti orang desa kebanyakan.
Seorang serdadu menempelkan senjata di pelipis kiri Soepeno.
Adegan itu jelas terlihat oleh anak buahnya yang bersembunyi di rumah Kromo Dul. Mereka melihat ketenangan Soepeno yang mencerminkan ketetapan hati dan tidak takut menghadapi maut.
Tiba-tiba terdengar bunyi 𝒅𝒐𝒓𝒓𝒓...
Serdadu itu melepaskan tembakan yang pelurunya menembus kepala Soepeno. Darah menyembur ketanah, Soepeno roboh. Bersama dia, enam orang lain ikut dieksekusi, termasuk ajudannya, Mayor Samodro.
Soepeno menolak mengungkapkan jati dirinya yang seorang menteri. Soepeno memilih untuk tutup mulut untuk melindungi kawan-kawan dan rombongan yang berada tidak jauh dari tempat eksekusi.
Susanto Tirtoprodjo yang selamat dari sergapan maut di lereng Wilis tidak bisa melupakan peristiwa sedih itu.
Walikota Madiun pada zaman Belanda itu lalu menulis buku kecil yang menceritakan pengalaman gerilyanya dalam bahasa Jawa berjudul "Nayoko Lelono".
Terdapat syair yang terjemahan nya adalah:
𝓟𝓪𝓴 𝓟𝓮𝓷𝓸 𝓽𝓮𝓷𝔂𝓪𝓽𝓪 𝓫𝓮𝓻𝓽𝓮𝓴𝓪𝓭 𝓶𝓮𝓷𝓰𝓸𝓻𝓫𝓪𝓷𝓴𝓪𝓷 𝓭𝓲𝓻𝓲,
𝓢𝓮𝓫𝓪𝓰𝓪𝓲 𝓹𝓪𝓱𝓵𝓪𝔀𝓪𝓷 𝓭𝓪𝓷 𝓫𝓾𝓷𝓰𝓪 𝓫𝓪𝓷𝓰𝓼𝓪,
𝓘𝓴𝓱𝓵𝓪𝓼 𝓶𝓮𝓶𝓹𝓮𝓻𝓽𝓪𝓻𝓾𝓱𝓴𝓪𝓷 𝓳𝓲𝔀𝓪𝓷𝔂𝓪,
𝓐𝓰𝓪𝓻 𝓴𝓪𝔀𝓪𝓷𝓷𝔂𝓪 𝓼𝓮𝓵𝓪𝓶𝓪𝓽.
Hari itu penduduk desa Ganter dan kawan-kawan gerilyawan menguburkan jenazah Soepeno dalam sebuah upacara Khidmat.[]
Sumber:
1. Buku "Sejarah Kecil Indonesia jilid 6"
Sang Pelopor. Anak bangsa dalam pusaran sejarah.
2.https://www.google.com/amp/s/historia.id/amp/politik/articles/petualangan-menteri-susanto-tirtoprojo-dan-supeno-DEa0V
Dicopy dari Grup Historia Van Madioen

Tidak ada komentar:
Posting Komentar