Pada masa kekuasaan kesultanan Pajang, Desa Taman masih berupa hutan belantara, tetapi setelah ibukota Kabupaten Madiun di Wonorejo hancur akibat peperangan melawan Mataram pada tahun 1590, Bupati Pangeran Adipati Pringgoloyo (pengganti Raden Ayu Retno Djumilah), merencanakan membangun istana kabupaten di hutan Taman, di daerah ini terdapat rawa-rawa yang luas dan berair bersih seperti telaga (sekarang disebut ”Ngrowo”).
Pada masa kekuasaan Kasunanan Kartasura. Sekitar tahun 1703, Raden Ayu Puger , istri Susuhunan Paku Buwono I yang berasal dari Madiun, berniat membangun Taman di Daerah Ngrowo, sebagai Tamansari (taman wisata), dengan adanya rencana itu maka daerah ini kemudian disebut ”Taman” , sejak itu pula daerah Taman diberi kebebasan dari kerja rodi, tidak dipungut pajak, tetapi wajib merawat taman yang akan di bangun.
Tahun 1725 ketika yang berkuasa di Madiun Pangeran Mangkudipuro, di Taman didirikan Makam keluarga dan sebuah masjid untuk pengembangan Agama Islam di wilayah Kabupaten Madiun.
Pada tahun 1784, Bupati Madiun Pangeran Raden Ronggo Prawirodirjo I wafat, oleh iparnya yaitu, Sultan Hamengku Buwono I, makam Taman yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh Bupati Mangkudipuro ( lawan politiknya) ditetapkan sebagai makam kerabat beliau. Begitu seterusnya, ada 13 Bupati Madiun yang dimakamkan di Taman, yaitu : Ronggo Prawirodirjo I, Ronggo Prawirodirjo II, Pangeran Dipokusumo, Tumenggung Tirtoprodjo, Ronggo Prawirodiningrat, Ario Notodiningrat, Adipati Sosronegoro, Tumenggung Sosrodiningrat, Ario Brotodiningrat, Tumenggung Kusnodiningrat, Tumenggung Ronggo Kusmen dan Tumenggung Ronggo Kusnindar. Orang menyebut Makam Taman adalah Makam Karanggan (makam keluarga Ronggo) sejak saat itu pula Desa Perdikan Taman di kukuhkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, dengan piagam yang ditulis dengan huruf Arab Jawa (pegon) dengan tinta kuning emas, Pemimpin desa Taman bergelar ”Kyai” yang berkuasa penuh mengelola desa.
Pemimpin Desa Perdikan Taman (Kyai) diberi tanggung jawab untuk merawat Makam Taman dengan biaya dari hasil pertanian desa setempat. Hingga sekarang ada sebelas kyai yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Desa Perdikan Taman, yaitu : Kyai Misbach, Kyai Ageng Moch. Kalifah, Kyai Moch Rifangi, Kyai Donopuro I, Kyai Benu, Kyai Surat, Kyai Donopuro II, Kyai Imam Ngulomo, kyai tirto Prawiro, Kyai Raden Kabul Umar, Kyai Banuarli.
Berbeda dengan desa perdikan lainnya, Taman diwajibkan pula merawat sebilah pusaka istana Jogjakarta sebagai pengaman (piandel) Desa Taman, berupa tombak panjang dengan tangkai sekitar 4 meter, namanya ”Kyai Sidem Pengayom” sampai sekarang pusaka ini disimpan dirumah Kyai.
Pada tahun 1754 oleh Bupati Ronggo Prawirodirjo I, dibangunlah masjid Donopuro, Masjid ini bangunan utamanya terbuat dari kayu jati dengan ukuran cukup besar yang ada di Kelurahan/Kecamatan Taman, Kota Madiun dikenal para jemaah dan pengunjung sebagai Masjid Besar Kuno Madiun.
“Memang tak banyak yang mengetahui dulu nama asli Masjid Besar Kuno Madiun ini Masjid Donopuro. Hal itu sesuai dengan julukan pendirinya, yakni Kiai Ageng Misbcah yang memiliki sebutan Kiai Donopuro,” terang, Raden Mas Suko Pramono, keturunan ketujuh Kanjeng Pengeran Ronggo Prawirodirjo I . Baru setelah masjid kuno yang dikelilingi makam para mantan bupati Madiun ini masuk dalam daftar peninggalan cagar budaya tahun 1981, maka namanya pun diganti menjadi Masjid Besar Kuno Madiun. Menurut Mas Suko Pramono, melalui masjid kuno yang beratap joglo dengan tiga pintu masuk utama inilah syiar agama Islam di wilayah Karesidenan Madiun.
Menurut Raden Mas Suko Pramono tradisi ke-Islaman yang saat itu menjadi sarana syiar agama di antaranya perayaan 1 Muharam yang diwarnai dengan pembacaan Al Qur’an serta sajian makanan jenang sengkolo, nasi liwet, sayur bening, dan lauk-pauk tradisional seperti tahu dan tempe. Dijelaskan, sayur bening yang disajikan pada malam 1 Muharam memiliki arti kebeningan jiwa. Sedangkan nasi liwet berarti kebeningan atau kejernihan jiwa itu diharapkan dapat mengental di hati. Jenang sengkolo memiliki arti adanya harapan agar dijauhkan dari musibah. Sedangkan lauk tahu tempe mewakili makanan khas yang digemari rakyat kebanyakan. Selain menyajikan aneka makanan tersebut bagi jemaah dan warga sekitar, masjid juga menggelar seni Gembrung, berupa senandung sholawat yang diiringi alat musik sejenis jidor dan lesung (alat untuk menumbuk padi). Namun sekarang seni itu sudah hampir musnah dan tak pernah diadakan lagi. Yang masih tersisa adalah Grebeg Bucengan (tumpengan) saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sampai saat ini masjid kuno tersebut tidak pernah direnovasi sama sekali, kecuali hanya penambahan kanopi jika jemaah membeludak.
Masjid Kuno "Donopuro" Taman, Madiun
Pendopo Masjid (Tampak Samping)
Sumber:
1. Buku Sejarah Kabupaten Madiun, 1980
2. Radar Madiun
1. Buku Sejarah Kabupaten Madiun, 1980
2. Radar Madiun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar