Haul Ronggo Prawirodirjo III Ahad,16 Desember 2018 |
Haul Ronggo Prawirodirjo III
(17-12-1810 s.d. 17-12-2018)
Kegiatan ini di inisiasi oleh komunitas Pelestari
Sejarah Madiun Historia van Madioen / Kompas Madya bersinergi dengan
komunitas-komunitas lain yang konsen terhadap pemajuan sejarah dan kebudayaan
di Madiun dan sekitarnya, yaitu Wukir Mahendra, Lesbumi NU Kota Madiun, Lesbumi
Nu Kab Magetan, ABDI Maospati, KNPI, TPID Kab Magetan, Perwakilan Pemdes
Giripurno juga di hadiri perwkilan
Pemkab Madiun bapak Temu Sugina dari Bidang Kebudayaan Kab Madiun.
Kegiatan diawali oleh pembacaan sejarah Ronggo III,
yang diambil dari artikel Sejarahwan Peter Carey dilanjutkan Tahlil bersama
yang dipimpin oleh pemuka agama setempat Bapak Kyai Maksudi. Makan nasi tumpeng
bersama yang telah disediakan oleh Juru Kunci Bapak Yono beserta istri.
Acara selanjutnya sarasehan, yang diawali pengkisahan
sejarah oleh Pak Kyai Maksudi dimana diceritakan Ratu Kadipaten Maospati GKR Maduretno
di makamkan di Ngrancang Kencono Gunung bancak. Menurut legenda gunung bancak berasal dari potongan puncak gunung lawu. Konon bata yang digunakan untuk
membangun cungkup di bawa dari Kadipaten Maospati dengan cara di gotong jangan
sampai jatuh, bata yang jatuh akan menjadikan tanah wingit. Dulu sebelum
ditetapkan desa perdikan masyarakat disini masih menganut kepecayaan Budo /wong
budo tentunya awalnya terjadi beberapa konflik.
Kekeramatan dari sarean ratu Maduretno ini juga mendapat perhatian atau penghormatan dari instansi Lanud Iswahyudi, Maospati, ini terbukti setiap tahun juga mengadakan acara menghormati leluhur dengan ziarah dan doa di sarean gunung bancak, konon ada mitos bahwa pesawat terbang dilarang keras untuk terbang diatas Sarean gunung Bancak, biasanya menghindari gunung Bancak.
Kekeramatan dari sarean ratu Maduretno ini juga mendapat perhatian atau penghormatan dari instansi Lanud Iswahyudi, Maospati, ini terbukti setiap tahun juga mengadakan acara menghormati leluhur dengan ziarah dan doa di sarean gunung bancak, konon ada mitos bahwa pesawat terbang dilarang keras untuk terbang diatas Sarean gunung Bancak, biasanya menghindari gunung Bancak.
Pada tahun 1957 makam Ronggo Prawirodirjo III (suami
GKR Maduretno), dipindah dari Banyu sumurup untuk disandingkan dengan Kanjeng
ratu Madu Retno di Gunung Bancak setelah disemayamkan di Masjid Taman di bawa
ke Gunung Bancak, sampai dusun Soca peti di angkat dengan cara berantai sampai
ke sarean ratu ngraancang Kencono Gunung Bancak.
Dalam sarasehan yang di pandu oleh Mbak Widya,
setelah saling memperkenalkan diri dilanjutkan saling sharing menyamakan visi
terkait pentingnya nguri-uri tinggalan para leluhur agar generasi muda tidak
kehilangan identitas jati diri sebagai penerus perjuangan para leluhur bangsa.
Dalam sarasehan ini juga memunculkan keinginan
masyarakat Madiun untuk mengusulkan tokoh Ronggo Prawirodirjo III sebagai
pahlawan nasional, yang sebelumnya sudah ditetapkan oleh Sultan Hamengku Buwono
IX sebagai pahlawan perintis Kemerdekaan
Republik Indonesia, hal ini juga menindaklanjuti keinginan Bupati Madiun Bapak
Muhtarom saat bedah buku Sejarah Madiun tahun 2017. Diawali dari beberapa komunitas diharapkan hal ini bukan
sekedar wacana namun segera di tindaklanjuti dengan kegiatan dan usaha yang bisa
mendorong agar pengusulan Ronggo Prawirodirjo III segera terlaksana.
RADEN RONGGO PRAWIRODIRJO III
Putra Raden Mangundirjo (Ronggo II), Cucu Gegedug
Sukowati/Panglima setia P. Mangkubumi yaitu Raden Wirosentiko, Diangkat sebagai
Bupati Wedono Brangwetan di Madiun, mengepalai 14 bupati bawahan, dijanjikan
oleh P. Mangkubumi (Sultan HB I) karena besar jasanya terhadap Kasultanan
Jogjakarta akan menyayangi dan
melindungi trah Wirosentiko.
Bupati Ronggo Prawirodirjo III (1797-1810) ,
menantu HB II, salah satu penasehat Sultan Jogjakarta , saat mbalelo mengangkat
dirinya sbg Susuhunan ing Alogo. Taat beragama, berwatak keras, sedikit temperamen,
namun berhati lembut, sangat anti pada Belanda.
Saat Ronggo III menjadi bupati Madiun, terjadi
perubahan politik, yaitu runtuhnya VOC tahun 1800 berganti Pemerintahan Kolonial
Hindia Belanda dan kekalahan Belanda oleh Perancis, hingga Herman Willem
Daendels menjadi Gub. Jendral di Hindia Belanda.
Istri tercinta GKR Maduretno, sedo konduran 16
November 1809 di makamkan di Ngrancang Kencono Gunung Bancak, dimana beliau
berguru pada Kyai Kaliyah. Kesedihan
yang amat dalam dialami oleh Ronggo Prawirodirjo III, hingga beliau sering tak
dapat mengendalikan diri, dan sering memandang puncak Gunung Bancak seolah
ingin menemani sang istri tercinta, sehidup dan semati.
Sebuah kejadian yang membuat Ronggo Prawirodirjo
III tersudutkan, ketika perjalanan ke Negara Gung Jogjakarta, di wilayah
Delanggu, putra Ronggo mengiginkan seekor kambing cantik yang sedang digembala,
karena tidak boleh dibeli dengan harga berapapun, Ronggo Prawirodirjo III kilaf
si gembala terbunuh, hal ini menjadi
perbincangan hangat di Kraton Jogjakarta dan Surakarta. Juga memperkuat tuduhan
bahwa Ronggo Prawirodirjo III mendalangi beberapa perlawanan di wilayah
Karesidenan Pekalongan, Semarang, Rembang dan Demak.
Di Madiun juga terjadi kerusuhan saling serang di
perbatasan Madiun sebagai wilayah Kesultanan Jogjakarta dan Ponorogo wilayah
Kasunanan Surakarta. Diantaranya perseteruan Desa Sekedok dan Ngebel.
Perselisihan antara Willem Daendels dengan
Ronggo Prawirodirjo III meruncing, diawali dari permintaan tata tertib
upacara protokoler yang di tetapkan Daendels, yaitu upacara pisowanan di Kraton
Jogjakarta, Residen Belanda dalam menghadap Sultan saat masuk melalui alun-alun
utara dengan naik kereta dan di kawal pasukan dengan payung kebesaran dan duduk
sejajar dengan Sultan, serta Sultan harus mempersembahkan minuman, karena
dianggap sebagai perwakilan Negeri Belanda.
Ronggo Prawirodirjo III sebagai penasehat Sultan marah,
terutama kepada Patih Danurejo II yang dipandang sebagai otak kekacauan
yang dilakukan Belanda didalam Kraton Jogjakarta.
Perselisihan yang paling hebat terjadi saat,
Daendels menetapkan hutan-hutan di Jawa termasuk wilayah Madiun menjadi milik
Pemerintah Belanda, Hutan di wilayah Madiun di tebang dan di angkut ke Surabaya
untuk membuat 20 kapal perang Belanda.
Ronggo Prawirodirjo III ditetapkan bersalah,
Gubernur Jendral W.H. Daendels minta
kepada Sultan, agar Bupati Madiun Ronggo Prawirodirjo III beserta kaki
tangannya agar diserahkan kepada Belanda untuk mendapat hukuman menurut
Undang-Undang negeri Belanda. melalui
Van Broom Belanda menyampaikan 4 tuntutan, yaitu :
1. Sultan agar menerima upacara protokoler baru
yang sudah ditetapkan Daendels.
2. Mengembalikan
Raden Danurejo II sebagai Patih Kerajaan. (semula dipecat karena berpihak pada
Belanda)
3. Memberhentikan jabatan Patih Raden
Tumenggung Notodiningrat. (karena beliau dianggap membahayakan Belanda)
4. Memanggil
Bupati Ronggo Prawirodirjo III, untuk menghadap ke Bogor supaya minta ampun kepada Gubernur Jendral.
Apabila empat tuntutan
tersebut tidak dijalankan, Gubernur Jendral beserta tentara akan datang sendiri ke Jogjakarta untuk
menghukum Sultan. Suasana tersebut diatas memang sengaja dibuat oleh Pemerintah
Belanda, agar tulang punggung kasultanan Jogjakarta tersebut lumpuh, serta
mengambil alih kekuasaan Mancanegara Timur dari tangan Kasultanan Jogjakarta.
Perlawanan Ronggo Prawirodirjo III
12-11-1810 Karena berat memenuhi tuntutan W Daendels, Kraton Jogjakarta dikepung
1500 pasukan Belanda dengan persenjataan lengkap, hingga tuntutan tersebut berangsur-angsur terpaksa
dilaksanakan oleh Sultan Hamengku Buwono II, Patih Danurejo II diangkat kembali
menjadi Patih Kerajaan, sedangkan Patih Notodiningrat diturunkan jabatannya
menjadi Bupati Dalam.
13-11-1810 mulai dilaksanakan
tuntutan untuk merubah upacara Kraton dan memerintah Ronggo Prawirodirjo III untuk datang ke Kraton
Gubernur Jendral di Bogor.
Perang bathin Ronggo Prawirodirjo III, jika
memenuhi perintah Sultan (ayah mertuanya) untuk menghadap ke Belanda di Bogor,
berarti menyerah dan mau dijajah, apalagi Ronggo Prawirodirjo III telah
menyadari bahwa Belanda memang menginginkan kematiannya, namun jika tidak
memenuhi , Sultan akan menderita karena harus memenuhi keinginan Gubernur
Jendral Belanda.
Ronggo Prawirodirjo III memilih meninggalkan Kraton
Jogjakarta kembali ke Maospati dan menetapkan keputusannya untuk “Melawan
Pemerintah Belanda”
Untuk mengelabuhi Belanda, belau menulis surat
kepada Van Broom dan Sultan. Surat kepada Van Broom menyebutkan bahwa beliau
akan memenuhi permintaan Belanda untuk menghadap Gubernur Jenderal di Bogor.
Adapun surat khusus kepada ayahandanya (Sultan) disampaikan melalui Tumenggung
Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat, beliau suatu malam menjelang
kepergiannya datang ke rumah Raden Tumenggung Notokusumo, pada malam itu Raden
Tumenggung Notodiningrat dan
Sumodiningrat (Putra Tumenggung Notokusumo) berada di tempat tersebut. Ronggo
Prawirodirjo III menyatakan bahwa beliau sudah tidak tahan dengan tipu muslihat
Patih Danuredjo II, beliau pasti ditangkap dan di buang oleh Belanda. Oleh
karena itu kehendaknya hanyalah mengikuti istrinya yang telah meninggal dunia,
beliau bersedia mati bersama-sama Belanda.
Ronggo Prawirodirjo III akan mengadakan perang
gerilya terhadap Belanda di wilayah Mancanegara Timur. Selanjutnya beliau minta
agar Kratonnya dijaga dan jembatan-jembatan yang menuju Kabupaten Madiun agar dirusak.
Beliau juga minta agar rencananya itu di
beritahukan kepada Sultan agar mendukung perlawanannya terhadap Belanda.
20-11-1810, Ronggo Prawirodirjo III Memaklumatkan
“Perang Melawan Pemerintah Belanda”
mendengar pernyataan tersebut H.W Daendels sangat terkejut.
21-11-1810, Ronggo Prawirodirjo III tiba di
Maospati diikuti oleh 300 prajurit Jogjakarta, dalam perjalanan beliau telah
mengadakan pengrusakan dan pembakaran di Surakarta, yang dianggap kaki tangan
Belanda. Beliau menyerukan ajakan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda kepada
semua rakyat Mancanegara Timur dan masyarakat Tionghoa. Beliau menggunakan
gelar baru ”Susuhunan Prabhu ing Alogo” dan Patih Madiun Tumenggung
Sumonegoro mendapat gelar ”Panembahan Senopatining Perang” 14 Bupati bawahannya mendapat gelar “Pangeran”
Tindakan pertama, untuk memperluas medan perang,
Ronggo Prawirodirjo III mengirim surat kepada Bupati Mancanegara Barat, Bupati
Mancanegara Pesisir Utara, dan Para Bupati diwilayah tersebut, Isi surat itu
adalah:
1. Agar seluruh Bupati
di wilayah Kasultanan Jogjakarta dan Surakarta mengakui Ronggo Prawirodirjo III
sebagai Sultan Madiun dengan gelar ”Susuhunan Prabhu ing Alogo”
2. Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Jogjakarta
dan Surakarta menyokong perjuangannya melawan penjajah Belanda di Nusantara
3. Agar orang laki-laki baik Jawa maupun Tionghoa yang
militan, bersedia masuk menjadi tenaga sukarela, mengusir penjajah Belanda
4. Agar penduduk seluruh Nusantara mengetahui, bahwa
Belanda berusaha mengamankan posisi mereka di Nusantara atas raja-raja daerah,
guna terjaminnya kelangsungan hak
monopoli Belanda yang menyusahkan kehidupan rakyat, maka dari itu untuk
mengurangi perluasan kekuasaannya segera dilawan sampai titik darah penghabisan
5. Agar membinasakan pegawai-pegawai Belanda yang ada
terlebih dahulu, perlakuan semena-mena telah dilakukan oleh para pegawai
Belanda, mereka mendapat gaji kecil dari Belanda, maka mereka selalu bertindak
curang untuk memperkaya diri, akibatnya rakyat sangat menderita.
6. Agar semua
memohon berkah Sultan Jogjakarta dan Tuhan Yang Maha Esa, agar mendapat
perlindungan agar menghindarkan Pulau Jawa ini dari kesulitan untuk melawan
penjajah Belanda
21-11-1810 pagi hari, Sultan memanggil semua Pangeran, sentana, para kerabat dan
para Bupati untuk berkumpul, membicarakan perlawanan Bupati Madiun kepada Belanda, untuk
membuktikan bahwa Sultan tidak bersalah maka Sultan melaporkan hal ini kepada
Pemerintah Belanda di Semarang, sebagai bukti Sultan menyerahkan Notokusumo dan
Pangeran Raden Notodiningrat kepada Pemerintah Belanda dengan syarat apabila
Ronggo Prawirodirjo III berhasil ditangkap atau dibunuh, agar kedua pangeran
tersebut di kembalikan ke Kraton Jogjakarta.
Menurut buku Babad Amangku Buwono, penyerahan kedua pangeran tersebut mendatangkan suasana
duka yang mendalam di Kraton Jogjakarta, mereka ke Semarang diantar oleh
Tumenggung Danukusumo, Patih Danuredjo II, dan Residen Jogjakarta, minister
Engelhard dan nyonya.
Di Semarang pada waktu itu pula,( 21-11-1810 )
sedang berlangsung rapat rahasia antara Gubernur Jendral H.W Daendels dan
Panglima Perang Van Broom, yang disusul oleh Patih Danuredjo II, dan Residen Jogjakarta,
minister Engelhard dengan keputusan
bahwa dalam waktu dekat Sultan Hamengku Buwono II akan di copot dan diganti
Putra Mahkota, karena Sultan dianggap telah membantu dan melindungi perlawanan
Bupati Madiun, kecuali jika ada keputusan sungguh-sungguh dari Sultan Hamengku
Buwono II untuk segera membasmi pemberontakan Bupati Madiun.
Berdasar keputusan Semarang tersebut, terpaksa Sri
Sultan Hamengku Buwono II segera mengirim pasukan kerajaan yang terdiri dari
1.000 prajurit infanteri dan 12 prajurit kavaleri di bawah pimpinan Panglima
Perang Raden Tumenggung Purwodipuro, di bantu 2 ahli tempur Belanda yaitu,
Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld untuk menangkap hidup atau mati Ronggo
Prawirodirjo III. Sedang di pihak Bupati Madiun hanya terdiri dari 300 prajurit
setia di bawah panglima perang Tumenggung Sumonegoro dan pasukan sukarela yang
tak terhitung banyaknya.
Menurut Babad Tanah Jawa, Kabupaten Jipang dan
Panolan yang menjadi pusat pertahanan prajurit Kasultanan Jogjakarta, berhasil
di hancurkan oleh pasukan Madiun. Dalam ekspedisi ini pasukan Madiun selalu
unggul. Tumenggung Purwodipuro adalah
seorang yang penakut, beliau enggan melawan Ronggo Prawirodirjo III, akhirnya
pasukan Kasultanan kembali ke Kraton Jogjakarta.
Kegagalan ekspedisi pertama ini membuat Sultan
marah, Tumenggung Purwodipuro di pecat dari jabatan Bupati Dalam, diangkat
panglima baru yaitu, Pangeran Adinegara di bantu Raden Wirjokusumo, Raden
Wirjotaruno, Raden Sosrowidjaya dan Raden Tirtodiwirdjo untuk memimpin
ekspedisi yang kedua, ekspedisi kedua pun gagal, wilayah daerah Kabupaten
Madiun belum terjamah oleh pasukan kasultanan, medan pertempuran berpusat di
perbatasan Ngawi dan perbatasan Magetan.
Ekspedisi ketiga dibawah pimpinan Pangeran
Purwokusumo, ini juga menemui kegagalan, barulah pada tanggal 7 Desember 1810
diangkat panglima perang Pangeran Dipokusumo Putra Hamengku Buwono II sendiri dengan
dibantu Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld dengan 12 pasukan kavaleri.
Pertempuran dahsyat terjadi di pusat-pusat pertahanan Kabupaten Madiun dan
mampu dikuasai oleh pasukan Pangeran Dipokusumo, pusat perlawanan tinggal di
Kabupaten Madiun. Menurut buku “Overzigt jilid III” bahwa tanggal 7 Desember
1810, pada malam hari, Kraton Maospati,
Madiun berhasil diduduki oleh pasukan Jogjakarta tanpa ada perlawanan. Pangeran
Dipokusumo menduduki Kraton Maospati hingga 3 hari tanpa mendapat gangguan dari
musuh, hal ini disebabkan pusat pertahanan telah dipindahkan ke Kratonn Raden
Ronggo Prawirodirjo III yang di Wonosari, Madiun.
11 Desember 1810, Kraton Wonosari dan sekitarnya
berhasil diduduki pasukan Jogjakarta, saat itu keluarga Bupati Madiun terpisah
dengan pasukan induk, pasukan Raden
Ronggo Prawirodirjo III mundur ke arah timur, yaitu ke Kabupaten Kertosono.
Oleh karena sebagian keluarga Raden Ronggo
Prawirodirjo III terpisah dengan pasukan induk maka, 2 adik, beberapa anak dan
ibu Raden Ronggo Prawirodirjo III di tangkap dan di serahkan pada Sultan
sebagai tawanan di Jogjakarta.
12 Desember 1810 situasi di Madiun sudah aman,
hingga Letnan Paulus leluasa mengadakan pengamatan terhadap situasi daerah
Madiun, yang kemudian hari dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Belanda. Maka
Letnan Paulus adalah orang Belanda pertama yang mengetahui seluk beluk
Kabupaten Madiun.
Sejak 10 Desember 1810, pusat pertahanan Raden
Ronggo Prawirodirjo III dipindahkan ke Kertosono, dengan sisa prajurit 100 orang. Tanggal 13 Desember 1810
Pangeran Dipokusumo memerintahkan
pasukan Jogjakarta mengejar ke
Kertosono di bawah perintah Bupati Wirianagara, Bupati Martolojo, Bupati
Judokusumo dan Bupati Sumodiwirjo yang di dampingi sersan Leberfeld.
17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di
Desa Sekaran Bojonegoro, jatuh korban tak terhingga di kedua pihak. Akhirnya
Raden Ronggo Prawirodirjo III dan Bupati Sumonegoro dapat berhadapan langsung
dengan Pasukan Jogjakarta , seluruh prajurit dan para Bupati tidak ada yang
berani dengan Raden Ronggo Prawirodirjo.
Demi nama keluarga perlawanan dihentikan, yang
dihadapi sekarang bukanlah Belanda, tetapi Pangeran Dipokusumo (masih
keluarga). Pendirian Raden Ronggo Prawirodirjo III, lebih baik mati daripada
menyerah kepada Belanda. Terjadi konflik batin dalam diri Raden Ronggo
Prawirodirjo III, Pangeran Dipokusumo tidak berdosa, ia hanya menjalankan
perintah ayahnya, Sultan Jogjakarta yang ditahan oleh Belanda. Apabila Pangeran
Dipokusumo tewas, berarti Belanda amat senang karena duri yang berbahaya akan
lenyap, keinginan Belanda menguasai Kraton Jogjakarta segera tercapai.
Dengan pertimbangan yang berat tersebut, Raden
Ronggo Prawirodirjo III memilih mati dengan pusakanya sendiri, yaitu tombak
sakti ”Kyai Blabar” dengan perang pura-pura/setengah hati melawan Pangeran
Dipokusumo.
Menurut buku “Sekitar Jogjakarta, karangan Dr.
Soekanto yang mengutip dari buku “Aanteekeningen” diutarakan sebagai berikut :
Dalam Babad keturunan Prawirosentiko tertulis,
bahwa Pangeran Dipokusumo diperintahkan oleh Sultan menangkap Bupati Wedono
Ronggo Prawirodirjo III hidup atau mati; atas permintaan sendiri beliau dibunuh
dengan tombak pusaka Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian
pura-pura antara seorang melawan seorang. Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo
III menemui ajalnya sebagai korban Daendels, Van Broom dan Danuredjo II.
Daerah yang di lalui Ronggo
Prawirodirjo III setelah melarikan diri dari kasultanan Jogjakarta, versi Sejarawan,
Peter Carey :
Prambanan
Klaten
Delanggu (21 November 1810)
Kartasura (22 November 1810)
Masaran *
Padas (24 November 1810)
Sragen *
Tarik (25 November 1810)
Jagaraga
Magetan (27 November 1810)
Maospati (28 November
1810)
Madiun
Sentul (3 Desember 1810)
Caruban (8 Desember 1810)
Tunggur (9 Desember 1810)
Berbek
Pace *
Nganjuk (10 Desember 1810)
Gabar
Kertasana (11 Desember 1810)
Munung (12 Desember 1810)
Pandhantoya
Cabean (14-16 Desember 1810)
Sekaran (16-17 Desember 1810)
* = daerah yang dirusak/bakar
pasukan Ronggo Prawirodirjo III
Kraton Maospati yang berbenteng dijarah pasukan
Belanda dan kesultanan
Bupati Madiun merangkap Bupati Wedono Mancanegara
Timur gugur sebagai kusuma bangsa tanggal 17 Desember 1810 di Desa Sekaran, Bojonegoro.
Jenazahnya di bawa ke alun-alun Jogjakarta. Beliau dimakamkan di makam Banyu
sumurup yang merupakan makam sentana yang dianggap mbalelo, dekat komplek Makam Imogiri. Atas pertimbangan
keluarga pada bulan Februari 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, beliau
dipindahkan makamnya ke samping makam isterinya, GKR Maduretno, di Gunung
Bancak setelah di semayamkan lebih dahulu di Masjid Taman Madiun.
Untuk mengisi jabatan Bupati Madiun dan Wedono
Mancanegara Timur maka diangkat sementara Pangeran Dipokusumo oleh Sultan
Hamengku Buwono II yang berkedudukan di
Maospati, Madiun. Pengangkatan ini dengan pertimbangan atas jasa beliau. Sesuai
adat dan tradisi kerajaan bahwa ahli waris
Prawirodirjo III, khususnya putra sulung bernama Prawirodiningrat masih
belum dewasa dan masih mendapat pendidikan di Jogjakarta, maka kedudukan Bupati
Madiun untuk sementara waktu di pegang Pangeran Dipokusumo
Makam Ronggo Prawirodirjo III |
Makam Ratu Maduretno |
Haul Ronggo Prawirodirjo III |
Haul Ronggo Prawirodirjo III |
Haul Ronggo Prawirodirjo III |
Haul Ronggo Prawirodirjo III |
Selamatan Haul Ronggo Prawirodirjo III |
Haul Ronggo Prawirodirjo III |
Haul Ronggo Prawirodirjo III |
Haul Ronggo Prawirodirjo III |
Haul Ronggo Prawirodirjo III |
Terima kasih atas doa yang telah dihantarkan lewat acara haul. Adakah komunitas trahnya?
BalasHapus