Pintu gerbang Kabupaten Poerwodadie (kebonjero)
|
Sejarah
Kabupaten Poerwodadie yang sekarang berada di Desa Purwodadi Kecamatan
Barat Kab Magetan, tepatnya sebelah utara lapangan dan SDN Purwodadi,
dari jauh sudah tampak tembok gerbangnya. Berdirinya Kabupaten Purwodadi
berawal dari usaha Pemerintah Hindia Belanda untuk mengurangi kekuasaan
Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta atas wilayah Mancanegara
Timur agar tunduk pada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, maka
diadakan pertemuan seluruh bupati di wilayah resindensi Kediri dan
Madiun di Desa Sepreh, Ngawi tahun 1830 (sekarang desa Legundi Kec. Karangjati)
Namun menurut Peter Carey, peneliti Babad Diponegoro, tembok benteng ini merupakan peninggalan Ronggo Prawirodirjo III bupati Wedana Madiun yang beristana di Maospati, tahun 1795-1810, dimana saat sang permaisuri meninggal dunia saat melahirkan, dimakamkan di puncak sebuah bukit yang selalu terlihat dari istananya, yaitu gunung Bancak.
Namun menurut Peter Carey, peneliti Babad Diponegoro, tembok benteng ini merupakan peninggalan Ronggo Prawirodirjo III bupati Wedana Madiun yang beristana di Maospati, tahun 1795-1810, dimana saat sang permaisuri meninggal dunia saat melahirkan, dimakamkan di puncak sebuah bukit yang selalu terlihat dari istananya, yaitu gunung Bancak.
Tembok Kadipaten Purwodadi |
Tembok Kadipaten Purwodadi |
Tembok Kadipaten Purwodadi |
Tembok Kadipaten Purwodadi |
Sejarah Kabupaten Poerwodadie yang sekarang berada di Desa Purwodadi Kecamatan Barat Kab Magetan, tepatnya sebelah utara lapangan dan SDN Purwodadi, dari jauh sudah tampak tembok gerbangnya. Berdirinya Kabupaten Purwodadi berawal dari usaha Pemerintah Hindia Belanda untuk mengurangi kekuasaan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta atas wilayah Mancanegara Timur agar tunduk pada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, maka diadakan pertemuan seluruh bupati di wilayah resindensi Kediri dan Madiun di Desa Sepreh, Ngawi tahun 1830
Perjanjian Sepreh
Politik devide et impera Hindia Belanda, menghasilkan sebuah Perjanjian “Perjanjian Sepreh” di Desa sepreh Ngawi, pada tanggal 3-4 Juli 1830 atau tanggal 12-13 bulan suro 1758 tahun Je. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang dipimpin oleh Raad Van Indie Mr.Pieter Markus, Ridder Van de Orde Van de Nederlandsche leeuw, Commisaris ter Regelling de Vorstenlanden dalam rangka mengatur daerah-daerah Mancanegara Timur Kasunanan Surakarta atau Kasultanan Yogyakarta. Pertemuan itu diikuti oleh semua bupati se-wilayah Mancanegara Wetan, pertemuan dilaksanakan di Desa Sepreh, Kabupaten Ngawi. Pada Pertemuan itu Hindia Belanda mengharuskan semua bupati Mancanegara Wetan untuk menolak kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Susuhunan Surakarta dan harus tunduk kepada pemerintah Belanda di Batavia.
Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah “Perjanjian Sepreh Tahun 1830” yang ditandatangani dengan teraan-teraan cap dan bermaterai oleh 23 Bupati dari residensi kediri dan residensi Madiun, dengan disaksikan oleh Raad Van Indie, Komisaris yang mengurus daerah-daerah kraton serta tuan-tuan Van Lawick Van Pabst dan J.B. de Solis, residen Rembang. Berdasarkan persetujuan tersebut mulai saat itu Nederlandsch Gouverment melaksanakan pengawasan tertinggi dan menguasai daerah-daerah mancanegara.
Sesuai isi perjanjian tersebut kabupaten Magetan menjadi daerah jajahan Belanda dan dipecah menjadi 7 daerah kabupaten, yaitu :
- Kabupaten Magetan I (kota) bupati R.T. Sosrowinata
- Kabupaten Magetan II (Plaosan) bupati R.T. Purwawinata
- Kabupaten Magetan III (Panekan) bupati R.T. Sastradipura
- Kabupaten Magetan IV (Goranggareng Genengan) bupati R.T. Sosroprawira yang berasal dari Madura
- Kabupaten Magetan V (Goranggareng Ngadirejo) bupati R.T. Sastradirja
- Kabupaten Maospati bupati R.T. Yudaprawira
- Kabupaten Purwodadi bupati R. Ngabehi Mangunprawira
Pada tanggal 31 Agustus 1830, atau hampir dua bulan setelah Perjanjian Sepreh, pemerintahan Hindia Belanda mulai mengadakan penataan-penataan / pengaturan-pengaturan atas kabupaten-kabupaten yang telah berada dibawah pengwaasan dan kekuasaanya. Tentang penataan ini dapat dilihat dalam surat pemerintahan Hindia Belanda Y1.La.A.No.1, Semarang, 31 Agustus 1830, yang berisikan tentang hasil konperensi dari Gubernur Jendral dengan komisaris-komisaris yang mengurus / mengatur daerah-daerah kekuasaan keraton.
Dari hasil konperensi tersebut, kemudian keluar satu keputusan tentang rencana dari Pemerintah Hindia Belanda, yang antara lain menerangkan bahwa:
Pertama :Menentukan bahwa daerah mancanegara bagian timur akan terdiri dari dua residensi,
yaitu: Residensi Kediri dan Residensi Madiun
Kedua :Bahwa Residensi Madiun akan terdiri dari kabupaten-kabupaten: Magetan, Poerwodadie, Toenggoel, Magetan, Gorang-gareng, Djogorogo, Tjaruban dan kabupaten Kecil di wilayah sekitar Madiun lainnya. baik batas dari kabupaten-kabupaten maupun distrik juga akan diatur kemudian. 1)
Ketiga :Bahwa Residensi Kediri akan terdiri dari kabupaten-kabupaten: Kedirie, Kertosono, Ngandjoek, Berbek, Ngrowo dan Kalangbret. Dan selanjutnya dari Distrik-distrik Blitar, Trenggalek, Kampak dan yang lebih ke Timur sampai dengan batas-batas dari Malang: baik batas dari Kabupaten-kabupaten maupun Distrik-distrik juga akan diatur kemudian. 1)
baca skep. Y1. LA. No. Semarang 31 Agustus 1830 Sebagai realisasinya, pada kurun waktu empat bulan kemudian ditetapkanlah Resolusi No 10 Tanggal 31 Desember 1830, yang berisikan tentang pelaksanaan dari Skep. Tanggal 31 Agustus 1830 tersebut di atas
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam isi Resolusi tersebut, khususnya pada bagian keempat, yang antara lain berbunyi sebagai berikut :
2)baca Resolusi tanggal 31 Desember 1830 No 10.
2)baca Resolusi tanggal 31 Desember 1830 No 10.
Keempat : juga sangat disayangkan, dari Skep, tanggal 31 Agustus Y1. La. No 1 terpaksa disetujui (diperkuat) dua Residensi dalam kabupaten-kabupaten:
a. Residensi Madiun dalam kabupaten-kabupaten: Madiun, Poerwodadie, Toenggoel, Magetan, Gorang-gareng, Djogorogo, Tjaruban dan kabupaten Kecil di wilayah sekitar Madiun lainnya
b. Residensi Kedirie dalam kabupaten- kabupaten: Kedirie, Nganjoek, Berbek, Kertosono, Ngrowo, Kalangbret dan selanjutnya dari Distrik-dastrik Blitar, Trenggalek, Kampak dan yang lebih ke Timur sampai dengan batas-batas dari Malang.
Dari hasil pengamatan kedua dokumen tersebut, dapat diketahui bahwa setelah penyerahan pengawasan dan kekuasaan atas daerah-daerah mancanegara oleh Sri Suhunan dari Surakarta dan Sri Sultan dari Yogyakarta kepada pemarintah Hindia Belanda, maka pemerintah Hindia Belanda telah memecah Kabupaten Besar menjadi Kabupaten kecil-kecil. Seperti Magetan menjadi 7 pemerintahan kabupaten kecil-kecil, Nganjuk dibagi tiga wilayah pemerintahan yaitu:Kabupaten Ngandjoek, kabupaten Berbek dan kabupaten Kertosono.
Tentang penetapan para penjabat Bupati dari kabupaten-kabupaten tersebut , ditetapkan dengan akte Komisaris Daerah-daerah yang telah diambil alih, yang ditandatangani di Semarang 16 juni 1831, oleh van Lawick van Pabst, dengan bupati yang telah ditunjuk pemerintah Hindia Belanda.
Sisa-sisa tembok benteng Kabupaten Maospati, depan bekas rumah Wedana Maospati |
Didepan
rumah Pak Usoyin (tukang photo), ada bekas sumur kuno yg dipercaya sbg
peninggalan kraton Maospati , letak kedaton sekitar belakang kantor
Kecamatan Maospati. |
Pada tahun 1880 Kabupaten Maospati dihapuskan.
Pada tahun 1837 Kabupaten Magetan II dan Magetan III dihapuskan dan dijadikan satu dengan Kabupaten Magetan I. Pada tahun 1866 Kabupaten Goranggareng dihapuskan. Pada tahun 1870 kabupaten Purwodadi dihapuskan. Berturut-turut yang menjabat Bupati di Purwodadi adalah :
1. R. Ng. Mangunprawiro alias R. Ng. Mangunnagara
2. R. T. Ranadirja
3. R. T. Sumodilaga
4. R. T. Surakusumo
5. R. M. T. Sasranegara (1856-1870)
Bupati-Bupati Magetan dan sosok kepemimpinannya :
1. Raden Tumenggung Yosonegoro(1675 – 1703)
Raden Tumenggung Yosonegoro (R.T. Yosonegoro) adalah Bupati Magetan pertama, yang menjabat dari tahun 1675-1703. Beliau lahir dengan nama kecil Basah Bibit atau Basah Gondokusumo dan merupakan cucu dari Raden Basah Suryaningrat.
R.T. Yosonegoro diwisuda sebagai penguasa wilayah Magetan pada tanggal 12 Oktober 1675, sekaligus tanggal tersebut menjadi tanggal lahir resmi Kabupaten Magetan.
Bupati Yosonegoro wafat pada tahun 1703 dan bersama mendiang istrinya dimakamkan di makam Setono Gedong di Desa Tambran Kecamatan Magetan.
2. Raden Ronggo Galih Tirtokusumo (1703 – 1709)
3. Raden Mangunrono(1709 – 1730)
4. Raden Tumenggung Citrodiwirjo (1730 – 1743)
5. Raden Arja Sumaningrat(1743 – 1755)
6. Kanjeng Kyai Adipati Poerwadiningrat (1755 – 1790)
Kanjeng Kyai Adipati Poerwadiningrat (K.K.A. Poerwadiningrat) adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1755 hingga tahun 1790. K.K.A. Poerwadiningrat adalah putra dari Raden Tumenggung Sasrawinata yaitu Bupati Pasuruan dan keturunan dari Panembahan Cakraningrat I. Sebelum di Magetan, beliau adalah seorang Tumenggung yang menjabat bupati di Kertosono. Setelah beliau wafat dimakamkan di makam Desa Pacalan, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan.
7. Raden Tumenggung Sosrodipuro(1790 – 1825)
8. Raden Tumenggung Sosrowinoto (1825 – 1837)
Raden Tumenggung Sosrowinoto adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1825 hingga tahun 1837. Pada masa bupati ini, tanggal 4 Juli 1830 atau 13 Sura 1758 tahun Je, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengadakan pertemuan bupati se-wilayah Mancanegara Wetan di desa Sepreh, Kabupaten Ngawi. Pertemuan itu mengharuskan semua bupati Mancanegara Wetan harus menolak kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Susuhunan Surakarta dan harus tunduk kepada pemerintah Belanda di Batavia. Sejak tahun 1830 tersebut, kabupaten Magetan menjadi daerah jajahan Belanda dan dipecah menjadi 7 daerah kabupaten (tahun pemecahan tidak jelas), yaitu
- Kabupaten Magetan I (kota) bupati R.T. Sosrowinata
- Kabupaten Magetan II (Plaosan) bupati R.T. Purwawinata
- Kabupaten Magetan III (Panekan) bupati R.T. Sastradipura
- Kabupaten Magetan IV (Goranggareng Genengan) bupati R.T. Sosroprawira berasal dari Madura
- Kabupaten Magetan V (Goranggareng Ngadirejo) bupati R.T. Sastradirja
- Kabupaten Maospati bupati R.T. Yudaprawira
- Kabupaten Purwodadi bupati R. Ngabehi Mangunprawira
9. Raden Mas Arja Kartonagoro(1837 – 1852)
Raden Mas Arja Kartonagoro adalah bupati Kab Magetan yang menjabat dari tahun 1837 hingga tahun 1852. Sebelumnya beliau adalah bupati Mojokerto. Putri tunggal beliau menikah dengan Raden Mas Arja Surohadiningrat (putra bupati Ponorogo, Raden Mas Arja Surohadiningrat II.
10. Raden Mas Arja Hadipati Surohadiningrat III (1852 – 1887)
11. Raden M.T. Adiwinoto(1887 – 1912), R.M.T. Kertonegoro (1889)
12. Raden M.T. Surohadinegoro (1912 – 1938), R.A. Arjohadiwinoto (1919)
13. Raden Mas Tumenggung Soerjo(1938 – 1943)
Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo
Gubernur Jawa Timur, Masa Jabatan 1945 s.d. 1948, Lahir pada tanggal, 9 Juli 1895 di Magetan
Meninggal 10 September 1948 (umur 53) desa Bago, Kedunggalar, Ngawi
Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo (biasa dikenal dengan nama Gubernur Soerjo); Magetan, 9 Juli 1895 Ds. Bago, Kedunggalar, Ngawi, 10 September 1948) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia adalah gubernur pertama Jawa Timur dari tahun 1945 hingga tahun 1948. Sebelumnya, ia menjabat Bupati di Kabupaten Magetan dari tahun 1938 hingga tahun 1943. Ia adalah menantu Raden Mas Arja Hadiwinoto. Setelah menjabat bupati Magetan, ia menjabat Su Cho Kan Bojonegoro pada tahun 1943.
RM Suryo membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir Jendral Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus pertempuran tiga hari di Surabaya 28-30 Oktober yang membuat Inggris terdesak. Presiden Sukarno memutuskan datang ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak.
Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepebuhnya oleh para pejuang pribumi. Tetap saja terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby. Hal ini menyulut kemarahan pasukan Inggris. Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya supaya menyerahkan semua senjata paling tanggal 9 November 1945, atau keesokan harinya Surabaya akan dihancurkan.
Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan di tangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. Gubernur Suryo dengan tegas berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah penghabisan.
Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa Timur melawan Inggris di Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945. Selama tiga minggu pertempuran terjadi di mana Surabaya akhirnya menjadi kota mati. Gubernur Suryo termasuk golongan yang terakhir meninggalkan Surabaya untuk kemudian membangun pemerintahan darurat di Mojokerto.
Tanggal 10 September 1948, mobil RM Suryo dicegat pemberontak anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di di tengah hutan Peleng, Kedunggalar, Ngawi. Dua perwira polisi yang lewat dengan mobil ikut ditangkap. Ke 3 orang lalu ditelanjangi, diseret ke dalam hutan dan dibunuh. Mayat ke 3 orang ditemukan keesokan harinya oleh seorang pencari kayu bakar.
R. M. T. Soerjo dimakamkan di makam Sasono Mulyo, Sawahan, Kabupaten Magetan. Sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang jasa-jasanya terletak di Kecamatan Kedunggalar kabupaten Ngawi.
Bupati Magetan Berikutnya :
14. Raden Mas Arja Tjokrodiprojo (1943 – 1945)
15. Dokter Sajidiman(1945 – 1946)
16. Sudibjo (1946 – 1949) Sudibjo adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1945 hingga tahun 1949, pada masa perjuangan kemerdekaan. Pada masa pemerintahan beliau, terjadi Madiun Affair dimana bupati dan banyak tokoh masyarakat Magetan ditangkap dan dipenjara oleh pemberontak PKI.Selama seminggu PKI berkuasa di Magetan.Kemudian pada akhir bulan September 1948, Pasukan Siliwangi dipimpin Letkol Sadikin dan Mayor Acmad Wiranatakusumah memasuki wilayah Magetan dan memulai operasi pembersihan dan penangkapan pemberontak di wilayah Magetan – Madiun.
17. Raden Kodrat Samadikoen(1949 – 1950) Raden Kodrat Samadikoen adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1949 hingga tahun 1950, pada masa perjuangan kemerdekaan dan berkecamuknya agresi militer Belanda tahun 1949. Pada pertengahan Februari 1949, bupati Raden Kodrat Samadikoen beserta beberapa pejabat pemerintah kabupaten lainnya ditangkap oleh Belanda di Desa Sambirobyong, Kecamatan Magetan. Karena penangkapan ini, pemerintahan resmi kabupaten vakum.Dan akhirnya terbentuk pemerintahan darurat sipil oleh Sub Teritorium Militer di Madiun.
18. Mas Soehardjo (1950) Mas Soehardjo adalah Bupati Magetan yang menjabat tahun 1950,dan sebelumnya menjabat sebagai patih Kabupaten Magetan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah RI Pusat membentuk secara resmi daerah-daerah kabupaten yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.Dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tanggal 8 Agustus 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Timur, di propinsi ini ditetapkan 29 kabupaten termasuk Kabupaten Magetan. Setelah jabatan bupati di Magetan berakhir, Mas Soehardjo kemudian diangkat sebagai Bupati Sampang, Madura.
19. Mas Siraturahmi (1950 – 1952)
Mas Siraturahmi adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1950 hingga tahun 1952.Pada masa jabatan beliau, pembangunan fisik di wilayah Magetan di antaranya adalah perbaikan jembatan dan gedung penting yang dibumihanguskan pada saat Agresi Militer Belanda.Pada tahun 1951, pasar kota Magetan selesai dibangun. Juga beberapa gedung kantor pemerintahan daerah.
20. M. Machmud Notonindito (1952 – 1960)
M. Machmud Notonindito adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1952 hingga tahun 1960, menggantikan bupati sebelumnya Mas Siraturahmi yang diangkat sebagai residen di Bondowoso. M. Machmud Notonindito sebelumnya adalah Sekretaris Karesidenan Madiun dan dilantik sebagai Bupati Magetan pada tanggal 1 Agustus 1952.
Berdasarkan hasil Pemilu 1955, jumlah anggota DPRD Magetan (berdasarkan UU No. 19 tahun 1956) adalah 35 orang, terdiri dari wakil Partai Komunis Indonesia (PKI) 18 orang,wakil PNI 9 orang, wakil NU 4 orang, wakil Masyumi 3 orang dan 1 orang dari wakil perseorangan yaitu Dachlan. Anggota DPRD ini dilantik pada 21 Desember 1957 oleh Residen Madiun bertempat di Balai Pemerintah Daerah.
21. Soebandi Sastrosoetomo (1960 – 1965)
Soebandi Sastrosoetomo adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1960 hingga tahun 1965. Soebandi Sastrosoetomo merupakan Bupati yang berasal dari PKI, dan sebelumnya adalah Kepala Dinas Pembangunan Usaha Tani (DPUT) Madiun. Dilantik sebagai bupati pada 5 Februari 1960. Dengan adanya peristiwa Gerakan 30 September di Jakarta, masa jabatan bupati ini ikut berakhir.
22. Raden Mochamad Dirjowinoto(1965 – 1968)
Raden Mochamad Dirjowinoto adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1965 hingga tahun 1968, menandai dimulainya masuknya militer Indonesia di pemerintahan sipil daerah setelah Gerakan 30 September.
23. Boediman (1968 – 1973)
24. Djajadi(1973 – 1978)
Djajadi adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1973 hingga tahun 1978. Dilantik pada 1 Mei 1973 dan sebelumnya menjabat sebagai Komandan Wing III KOPASGAT KODAU IV Surabaya dengan pangkat Letkol PAS. Pada 13 Mei 1978 Djajadi mengakhiri masa jabatannya dan kemudian ditunjuk menjadi Bupati Madiun.
25. Drs. Bambang Koesbandono (1978 – 1983)
Drs. Bambang Koesbandono adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1978 hingga tahun 1983. Bambang Koesbandono sebelumnya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Wilayah Daerah Kabupaten Tuban.
26. Drg. H.M. Sihabudin (1983 – 1988)
Drg. H.M. Sihabudin adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1983 hingga tahun 1988. Mohammad Sihabudin dilantik sebagai bupati pada 13 Mei 1983, sebelumnya berkarier sebagai dokter militer di Rumah Sakit Angkatan Udara di Bandara Iswahyudi.
27. Drs. Soedharmono (1988 – 1998)
28. Soenarto
29. Saleh Mulyono
30. KRT. Sumantri
31. Drs. Suprawoto, SH.,M.Si (2018-2023)
Dirangkum dari berbagai sumber di internet , dan penelusuran oleh Tim Blusukan Kompas Madya Komunitas Pelestari Sejarah Madiun Raya)
Kadipaten Purwodadi
Sayekti wis padha ngawruhi, sagung manungsa ora bisa gawe papesthen kang bakal tinemu ing awake. Budi akale manungsa ora bisa nulak marang papesthen kang bakal tinemu. Mangkono uga iya akeh wong kang tempa kabegjan miwah kasusahan kang marga saka panggawene dhewe.
Ing sadurunge taun 1869, paresidhenan Madiun kaperang dadi pitung kabupaten, yawiku:
1. Madiun,
2. Ngawi,
3. Magetan,
4. Panaraga,
5. Pacitan,
6. Kabupaten Sumoroto, bakale milu aphdheling Pranaraga.
7. Kabupaten Purwodadi, bakale milu aphdheling Magetan.
Kabupaten Purwodadi ambawahake rong dhistrik:
1. Dhistrik Purwadadi, priyayine wadana manggon sacedhake pabrik, kanthi mantri dhistrik loro, panggonane omah nunggal padha cedhak kawedanan.
2. Dhistrik Keniten, manggon ing desa Tebon, kanthi mantri dhistrik loro, panggonane omah padha cedhak ing kawedanan.
Ing nalika sasi Oktober taun 1869 Kangjeng Bupati Madiun “Raden Mas Tumenggung Harijo Notodiningrat” seda, lajeng saderekipun kang asmane “Raden Mas Tumenggung Adipati Sosronagoro” kang dadi Kangjeng Bupati ing Purwodadi kapindhah ing Madiun, ngganteake dadi Bupati Madiun kaping XXI.
Saklajenge ing kabupaten Purwodadi ora diadegi Bupati. Purwodadi bawahe dadi rong dhistrik kaerehake ing Kabupaten Magetan. Jawatan Wedana Dhistrik Purwodadi kang ngganteni Bupati sakdurunge, lajeng Mantri Dhistrik Purwodadi kang ngganteake Patih Purwodadi sakdurunge.
Saka karsane nagara, Wadana Dhistrik Purwodadi kadhawuhan ngalih manggon ing tilas dalem kabupaten, lan mantri dhistrik siji kang milu ngalih kapareng manggon omah ana saprapate tilas alun-alun kang sisih lor wetan. Kari mantri dhistrik siji kang isih omah ana sacedhake pabrik gulo Purwodadi.
Bebasan kang kasebut ing dhuwur iku, kanyataan iku kandhane Swargi Eyang R.M. Arya Surya Adikusuma, Wedana pensiun ing Sumoroto, Pranaraga...
Lokasi: Desa Purwodadi, Kecamatan Barat, Kabupaten Magetan
Keadaan Umum: Sisa-sisa bangunan dan tinggalan Kadipaten Purwodadi hingga kini masih dapat dijumpai di Desa Purwodadi, Kecamatan Barat. Tinggalan-tinggalan tersebut berupa Gapura Kadipaten Purwodadi, Kebon Jero, arca nandi, batu candi, nama lokasi, struktur gapura dan pagar, serta yoni.
Tinggalan berupa arca, batu candi, dan yoni terletak di pekarangan warga, kondisinya telah aus dan rusak.
Struktur gapura dan pagar berada di lahan pribadi milik salah seorang warga. Lokasi ini dikenal dengan sebutan “kebon Jero”. Kebon berarti kebun, jero berarti dalam. Disebut “kebon jero” karena lahan di dalam area pagar tersebut dimanfaatkan sebagai kebun.
Tinggalan berupa nama lokasi dapat dijumpai dari nama lingkungan-lingkungan di sekitar desa. Misalnya saja lingkungan “kepatihan”.
Sejarah: Kadipaten Purwodadi merupakan hasil pemekaran Kabupaten Magetan setelah Magetan dan wilayah Mancanegari lainnya di Jawa Timur jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1830. Adipati pertamanya adalah R.Ngabei Mangunprawiro atau dikenal sebagai R. Tumenggung Mangunnagara. Dalam catatan sejarah babad Gajah Surengpaten pernah disebutkan bahwa di Th.1825 R. Tumenggung Mangunnagara Bupati Purwodadi dan R. Tumenggung Kartodirjo Bupati Krejo bersama para kraman dan prajurit-prajurit yang gagah berani mengalami kekalahan tatkala berperang melawan pasukan Wedana Prajurit Madiun, meskipun Wedana Prajurit Madiun gugur dimedan pertempuran, namun sampai berakhirnya perang Diponegaran yang saya sebut sebagai perang saudara, kerusuhan dan peperangan tidak sampai terjadi didalam wilayah pusat Madiun. Berturut-turut yang menjabat Bupati di Purwodadi adalah :
R. Ng. Mangunprawiro alias R. Tumenggung Mangunnagara
R. Tumenggung Ranadirja
R. Tumenggung Sumodilaga
R. Tumenggung Surakusumo
R. Mas Tumenggung Sasranegara
Pada tahun 1870 Kadipaten Purwodadi dihapuskan, karena pada tahun 1869 sang Bupati R. Mas Tumenggung Sasranegara diangkat sebagai Bupati di Madiun ke XXI.
(Tinulis : Brahmantia)
Sumber : Serat Sastra Yayasan Sastra Indonesia, Sejarah Magetan Worpress, Blog-blog Sejarah Magetan (sebelum Th. 2012), Sejarah Bupati-bupati Madiun.
BONJERO
Cerita dibalik “BONJERO”
Fb. Satrioning Metaram
Wilayah Kadipaten Purwodadi dibentuk pada masa Orloog op Java / Perang Jawa pada tahun 1825-1830 yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Dengan maksud dan tujuan untuk benteng pertahanan Perang Diponegoro dan dijadikan Kadipaten Purwodadi yang berdiri megah yang akhirnya pada tahun 1830 jatuh ditangan Belanda.
Wilayah tersebut pada akhirnya dilebur menjadi wilayah Regent van Magettan / Kabupaten Magetan pada tahun 1870 dimana Adipati terakhirnya pada waktu itu adalah R.M.T Sasranegara. Peninggalan Kadipaten Purwodadi saat ini berupa benteng baluwarti, kompleks makam kuno, bekas petirtaan, serta wilayah-wilayah yang dahulunya berfungsi sebagai pendukung sebuah wilayah pemerintahan (Alun-Alun, Kauman/Pengulon, Pandean, Kepatihan, Kademangan, Katemenggungan dll)
Pada saat Mbah Gong berhasil menggagalkan niat dari R.M Papak untuk tinggal di Ndalem Kadipaten, waktu itu beliau melapor kepada Wedono Maospati agar disampaikan kepada Gusti Ridder. Setelah Gusti Ridder mengetahui dan mengecek langsung di Ndalem Kadipaten, saat itu juga Mbah Gong diberi hadiah berupa 8 keris pusaka, 2 meja rias, 1 kursi tempat duduk dan 10 tanduk rusa yang salah satunya dibawa bapak Harmoko (mantan Ketua MPR-RI pada masa pemerintahan B.J Habibie). ( R. Sugiarto / R. Dipo Danu Derdjo )
sejarah 6 Pintu gerbang Kadipaten Poerwodadie
Ada satu mitos yang berkembang di masyarakat sekitar tentang Ndalem Kadipaten ini, yaitu tentang kepemilikan tanah didalam tembok bekas Kadipaten ini. Dimana mitos yang beredar di masyarakat adalah pemilik dari tanah bekas Kadipaten Purwodadi ini harus masih trah/keturunan dari Mbah Gong yang garis laki-laki. Hal ini dikarenakan Mbah Gong adalah cucu buyut laki-laki dari Pangeran Diponegoro yang diberi amanah untuk memegang alih tanah bekas Kadipaten Purwodadi. Mbah Gong dulu berpesan kepada anak-anaknya bahwa tanah ini tidak boleh jatuh ke darah keluarga lain karena ini sudah amanah dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada saat beliau membayar tanah ini kepada Keraton. Dikawatirkan orang yang bukan trahnya nanti tidak kuat untuk memiliki tanah bekas Kadipaten ini. Saat itu Ngarsa Dalem juga besrpesan kepada Mbah Gong bahwa tanah ini jangan dulu didirikan bangunan pendopo didalamnya selama masih ada keributan terjadi, hal ini untuk menjaga keutuhan didalamnya dan selama itu tanah ini harus ditanami tanaman yang hasilnya bisa dimakan oleh masyrakat apapun itu hasilnya (R. Suro Lasimin). Dari situ bekas Kadipaten ini disebut dengan nama “Bonjero” atau bahasa halusnya “Kebon Dalem”, kebon berarti kebun dan jero berarti dalam.
Tidak hanya itu, pada saat zaman penjajahan Jepang, Jepang memiliki akal tidak baik dan ingin memanfaatkan batu bata bekas kadipaten ini untuk dibuat bangunan Bandara di Surabaya. Karena waktu itu yang memegang alih bekas Kadipaten ini adalah R.M Kromoredjo/Mbah Gong, penjajah Jepang meminta ijin kepada Mbah Gong. Dengan rasa berat hati, beliau memberi ijin penjajah Jepang untuk membawa batu bata pagar dari bekas Kadipaten Purwodadi ini karena saat itu Jepang memintanya dengan paksaan. Namun setelah dibawa oleh penjajah Jepang, dalam perjalanannya menurut cerita dari para pekerja yang ikut penjajah Jepang ada beberapa hal keanehan yang terjadi. Sesampainya batu bata di Surabaya, banyak dari pekerja dan penjajah Jepang yang meninggal misterius. Mereka banyak yang meninggal dengan keadaan perut buncit dan akhirnya meledak. Bahkan banyak dari warga sekitar, para pekerja Jepang dan penjajah Jepang yang mengalami kerasukan makhluk halus pada saat itu. ( R. Hardjo Wiyono parmin )
Banyak dari mereka yang bermimpi aneh yang menyuruh untuk mengembalikan batu bata itu ke tanah asalnya. Dalam mimpi mereka konon jika batu bata ini tidak dikembalikan ke asalnya di desa Purwodadi, maka tempat yang dibangun dengan menggunakan batu bata ini akan menjadi tempat yang angker dan memakan banyak korban sampai meninggal dunia. Pagar sebelah utara yang sudah dibongkar oleh Jepang akhirnya dikembalikan dan diserahkan kembali kepada R.M Kromoredjo/Mbah Gong kemudian ditata kembali oleh keluarga keturunannya yang dibantu masyrarakat Purwodadi atas perintah dari beliau. Masyarakat Purwodadi dengan penuh semangat dan kebersamaan menata kembali pagar bekas Kadipaten ini. Pada waktu itu penjajah Jepang maupun para pekerjanya merasa ketakutan akan hal ini dan mereka tidak mau mengambil resiko yang lebih parah karena saat itu sudah memakan banyak korban nyawa maupun korban dari masyarakat yang banyak mengalami kerasukan makhluk halus.
sejarah7
Bonjero dahulu merupakan pusat pemerinatahan yang sangat ramai, ini juga ditandai dengan beberapa tempat dan daerah sebagai bukti otentik yang menunjukan bahwa di Desa Purwodadi dahulu adalah pusat pemerintahan yang benar-benar berlangsung di daerah ini. Selain pagar dari Kadipaten Purwodadi yang masih berdiri kokoh di desa ini juga terdapat peninggalan-peninggalan bersejarah lainnya maupun nama daerah yang menjadi ciri khas daerah pusat pemerintahan, seperti terdapat Dukuh Beteng (Kelurahan Mangge), Desa Kauman, Desa Patihan dan Desa Temenggungan disekitar daerah ini.
Secara geografis letak Desa Purwodadi berdampingan dengan Desa Kauman dan Desa Patihan. Ini salah satu tanda bahwa dimana ada pusat pemerintahan disitu ada alun-alun, pasar, daerah Beteng, daerah Kauman, daerah Kepatihan, daerah Katemenggungan, tempat pande besi dll. Begitupun juga dengan Desa Purwodadi yang memiliki ciri-ciri seperti tersebut. Lapangan Desa Purwodadi yang dahulu adalah sebuah alun-alun dan berdampingan dengan pasar, ditambah sebelah barat alun-alun (sekarang lapangan sepak bola Desa Purwodadi) terdapat masjid yang sekarang dijadikan makam keluarga dari R. Abdoel Moestofa yang dahulu merupakan seorang penghulu saat Kadipaten Purwodadi masih aktif. Beliau juga pernah menjabat sebagai A.W atau Asistan Wedono Karangmojo. Masjid tersebut sekarang berada didalam tembok makam keluarga yang banyak terdapat makam orang-orang hebat negeri ini didalamnya.
sejarah8
Sebelah barat alun-alun bernama Desa Kauman yang dimaksutkan bahwa ada pendekatan secara agama di daerah ini pada waktu itu. Oleh sebab itu masjid agung yang sekarang menjadi pemakaman keluarga berada di Desa Kauman, Kecamatan Karangrejo. Dimana di desa ini merupakan industri gamelan jawa yang terkenal di Magetan maupun daerah-daerah lain sampai saat ini. Disamping Desa Kauman, juga terdapat Desa Patihan yang berdampingan dengan Desa Purwodadi. Desa ini dahulu merupakan untuk kediaman para patih dari Kadipaten Purwodadi.
Adapun ciri lain adalah terdapat daerah untuk tempat pande besi waktu itu yang diwariskan secara turun-temurun namun sekarang sudah tidak diteruskan lagi oleh keluarganya. Tempat tersebut berada disebelah barat alun-alun juga. Beberapa tempat pande besi ini untuk mengolah dan membuat alat-alat dari besi yang digunakan untuk kebutuhan masyrakat pada waktu itu seperti bercocok tanam dan lain sebagainya
Disekitaran Kadipaten Purwodadi juga terdapat beberapa rumah yang masih trah/keturunan untuk tetap menjaga bentuk dan struktur bangunan jawa yang kita kenal dengan sebutan rumah joglo dimana terdapat pendopo didalam rumahnya. Sebagai contoh rumah dari R.M Kromoredjo/Mbah Gong dan rumah anaknya R. Ngt Klumpuk yang masih terjaga bentuk khas adat Jawanya. Bahkan didalam rumah R. Ngt Klumpuk masih tersimpan gamelan Jawa yang Gong besarnya asli dari Keraton. Gong besar tersebut diberi nama Kyai Mbelem, gong besar ini sebelum dipakai untuk acara ada tradisi khusus yang dilakukan seperti di Keraton zaman dahulu yang tetap dijaga sampai sekarang untuk melestarikan tradisi dan budaya Keraton. Selain itu untuk memindahkan gong Kyai Mbelem tersebut tidak boleh dinaikan kendaraan melainkan harus digotong sejauh apapun itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar