Jumat, 15 Januari 2021

Perang Diponegoro di Madiun dan Peran Kerabat Madiun

Perang Diponegoro di Madiun 

dan Peran Kerabat Madiun 

Copas fb . Achmad Baidhowi /Mamak Sewulan


Semalam Pangeran Diponegoro di Khouli oleh PB NU dan Dzurriyahnya disiarkan secara langsung pada channel you tube maupun medsos lainnya. 

 Dintara sekian banyak dari sejarah perjuangan P Diponegoro beserta para pengikutnya yang sudah ditulis oleh para sejarawan, maupun oleh Pangeran Diponegoro sendiri tentunya masih banyak yang belum terdata dan belum tercatat. Mungkin termasuk saat P Diponegoro berada di wilayah Madiun Raya. Catatan ini kami rangkum dari berbagai sumber terkait perjuangan beliau, dan sangat mungkin disini banyak kesalahan dan kekurangannya,  untuk itu kami mohon maaf dan mohon dibetulkan.  Mengingat sejarah itu bersifat dinamis dan akan terus terupdate berdasarkan temuan temuan baru baik yang berupa catatan/ manuskrip maupun cerita tutur dari keturunan para prajurit Diponegaran yang saat itu terlibat  langsung dalam Perang Jawa tersebut.


Berdasar seratan sejarah Bupati Madiun Eyang Kanjeng Pangeran Raden Ronggo Ario Prawirodiningrat bin Kanjeng Pangeran Raden Ronggo Prawirodirjo III, pada awal th.1827/ 1728 Patih Sosrodirjo Patih Madiun sumare di Sewulan,  berikut semua bawahan Bupati berkumpul di Pendapa Kabupaten Madiun, yang mana sebelumnya sang Bupati bermimpi bertemu Ibunda Kanjeng Ratu Kidul bahwasanya beliau diberi pusaka (Pistol, Kendi dan....satunya saya lupa), makna mimpi sang Bupati oleh  Patih Sosrodirjo diartikan bahwa Madiun harus mendukung perjuangan Sentot Ali Basah (Adiknya sang Bupati), jadi waktu itu tidak ada istilah pembesar Madiun harus mendukung P.Diponegoro, karena Madiun sendiri sangat berhati-hati dengan kejadian pada waktu itu dan tidak gegabah dalam mengikuti arus yang nantinya bisa membuat kerugian Madiun sendiri.., Banyak diantara bawahan Bupati yang hadir sepakat dengan usulan Patih Sosrodirjo, namun ada juga dari keluarga Bupati dan yang lain juga tidak sepakat seperti adik ipar sang Bupati karena takut apabila nanti Negara (Kraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman) marah pada Madiun. Akhirnya diputuskan yang sepakat berperang, keesokannya yang sepakat berangkat ke arah Ngawi menyusul R.T. Sosrodilogo yang waktu itu sudah berada di perbatasan Bojonegoro dan Ngawi, dan yang tidak sepakat berperang disarankan untuk menjaga Madiun seperti halnya R.Panji Sumoprawiro, semuanya akan diberi ganjaran oleh sang Bupati apabila kelak Negara sudah aman.

Dalam perkembangan berikutnya R.T. Sosrodilogo putra Bupati Rajegwesi ( Kanjeng R.Tumenggung Sosrodiningrat), yang terluka dalam perang bersembunyi ke Pacalan Magetan lalu ke Ponorogo bersama pengikutnya beliau akhirnya dijemput  Patih Sosrodirjo lalu disembunyikan ke Dukuh Nguter (kemungkinan adalah Uteran Geger Kab Madiun sekarang wilayah Distrik Uteran),  Patih Sosrodirjo memanggil R.T. Sosrodilogo dengan sebutan sang Paman karena Bapak mertua  Patih R. Sosrodirjo yaitu  R. Ayu Citrokusumo adalah kakak kandungnya R.T.Sosrodilogo yang waktu itu baru diangkat sebagai Bupati Bojonegoro.  Patih Sosrodirjo mempersembahkan obat luka, obat candu dan beberapa bahan utk merokok.

Hanya semalam di Dukuh Nguter selanjutnya sang Bupati Bojonegoro melanjutkan perjalanan bersembunyi di area Madiun saja. Dan saat P Diponegoro berada di Madiun beliau membuat pesanggrahan sekaligus markas perjuangannya di lereng Gunung Wilis tepatnya di Desa Segulung Dagangan yang sekarang dikenal dengan Wisata Pesanggrahan Segulung. Ketika di Madiun Pangeran Diponegoro juga bertempur dengan belanda yang di kenal dengan Perang Nguter dan Perang Glatik.  Perang tersebut terjadi saat beliau sebelum melanjutkan gerilyanya  menuju Ponorogo,  Pacitan dan ke Gunung Kidul. Berkembangnya waktu keadaan berubah setelah  Sentot menggunakan taktik menyerah kepada Belanda sang Bupati Madiun pun turut berhenti dalam  berperang, tidak lama juga R.T.Sosrodilogo juga tertangkap, Patih Sosrodirjo juga demikian bahkan dalam korespondensi antara sang Bupati Madiun dengan Residen Belanda di Yogyakarta disebutkan apabila Patih Sosridirjo telah ketahuan waktu itu membantu Pamannya bersembunyi, dan membantu Sentot sebagai pendukung Diponegoro, maka  diusulkan untuk dibuang ke luar Jawa dan sebagai gantinya nanti akan diminta Bupati Purwodadi Grobogan untuk diangkat sebagai Bupati di Gorang-Gareng sekaligus membantu sang Bupati Madiun.  Keadaan Madiun kembali seperti pada mulanya Sang Bupati Madiun tetap memerintah sedang Sang Adik / Senthot dikirim ke Sumatra Barat guna melawan Kaum Padri.

Dan untuk digaris bawahi pada waktu itu pertempuran bersifat kedaerahan belum bersifat Nasional, walau pada saat itu hampir semua Kadipaten dan para ulama, santri, bangsawan se Jawa banyak yang terlibat.  terutama para mursyid thariqot  Sathariyah beserta santrinya terlibat langsung didalamnya,  jadi dimana bumi dipijak maka langit harus dijunjung, waktu itu P.Diponegoro disebut oleh Penguasa  Kraton dan Balanda sebagai Kraman (pemberontak Kraton dan pemerintahan Belanda), dan sejak Indonesia Merdeka keadaan menjadi terbalik, hanya orang orang yang paham sejarah saja yang bijak dalam membacanya...

Ada banyak pengikut P Diponegoro yang setelah Perang Jawa tetap dicari cari dan dikejar kejar keberadaannya oleh Belanda  Di Madiun ada Kyai Jayadi Ketandan Madiun ( Leluhurnya Bu Risma MENSOS saat ini)  Kyai Basyir Gotak Klorogan Geger Madiun,  Kyai Thohir Selopuro Balerejo Kebonsari, termasuk P Joyo Kusumo dll. Beliau beliau itu kebanyakan  berasal dari Begelen Jateng.  

Pengejaran terhadap Pangeran Joyo Kusumo berkaitan erat dengan peristiwa Perang Jawa yang legendaris itu. Sebab beliau turut terlibat mengatur siasat membantu Pangeran Diponegoro melawan VoC. Ketika VOC/ Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro, maka tidak ayal Pangeran Joyo Kusumo pun terkena imbasnya.

Alkisah. Pakubuwono V wafat pada 1823. Pangeran Joyo Kusumo yang sedang berada di Sumedang pun dipanggil pulang ke Solo guna menjadi penasihat Pakubuwono VI—anak dari sahabatnya itu. Setiba di Solo, ia merasakan akan ada perubahan besar di bumi Jawa. Ia pun memutuskan bertapa sebentar di Danau Cengklik, di tepian Kota Solo.

Di danau itu beliau mendapatkan wangsit bahwa ‘Jawa akan menuju ke tubir jurangnya, tapi kelak akan bersinar cerah selaik matahari pagi.’

Masa suram inilah yang membuat Pangeran Joyo Kusumo sadar bahwa perang akan diiringi wabah kelaparan. Ia membaca bahwa ‘sebentar lagi ada perang besar’ yang bisa menjadikan kemungkinan Raja Jawa kembali menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Semarang dan Tuban, serta menguasai Surabaya. Kalau pesisir timur bisa ditaklukkan, maka impian Sultan Agung akan tercapai dan Mataram kembali mewujud. Tapi apakah keadaan itu bisa terlaksana?

Suatu hari pada 1824, Pangeran Diponegoro menonjok wajah Patih Danurejo di Kepatihan, karena persoalan patok jalan yang digunakan Belanda untuk membangun jalan dari Semarang-Yogya. Patok jalan itu rencananya akan jadi jalan penghubung ke pusat kota di Banaran, yang dijadikan tangsi terakhir Belanda sebelum masuk Yogyakarta.

Pangeran Diponegoro menolak tanahnya dicaplok Belanda tanpa izin. Itulah penyulut perkelahiannya dengan Pangeran Danurejo yang sangat berpihak ke Belanda. Perseteruan ini pun berkembang jadi perlawanan massa. Sehabis menonjok Patih Danurejo, Pangeran Diponegoro langsung menemui pamannya, Pangeran Mangkubumi. Sang paman pun memberi wejangan dengan amat hati-hati:


“Emosimu akan menjadikan Jawa sebagai lautan darah. Tapi kamu akan jadi pahlawan di hati rakyat. Bila kamu memulai perang, hubungi banyak ulama, karena ulamalah yang akan membelamu.”

Pangeran Mangkubumi merujuk agar Pangeran Diponegoro menemui Kyai Abdani dan Kyai Anom—ulama paling berpengaruh di Tembayat, Klaten, juga menemui Kyai Mojo, kamitua ulama di Surakarta. Pada Mei 1824, Pangeran Diponegoro mulai membangun jaringan ulama dan bangsawan.


Di Banyumas, beliau mendapat dukungan para Kenthol Banyumasan dan bangsawan ningrat. Di pesisir timur juga beroleh dukungan dari Pangeran Condronegoro II yang menguasai Tuban, Sidoardjo, Mojokerto. Sementara di Solo, beliau disuruh bertemu dengan Pakubuwono VI.


Pertemuan Pangeran Diponegoro dengan Pakubuwono VI adalah pemantik Perang Jawa yang meletus pada 1825-1830. Sebab dari jaminan Pakubuwono VI inilah, Pangeran Diponegoro percaya diri melawan Belanda dan antekanteknya di Keraton Yogya.


Pertemuan ini berawal dari kunjungan diam-diam Pangeran Diponegoro ke Kyai Mojo, yang kemudian mengantarkannya ke rumah Raden Mas Prawirodigdoyo, penguasa Boyolali—bangsawan paling radikal di zamannya. RM Prawirodigdoyo langsung menjamin akan menyediakan pasukan sejumlah 6.000 orang yang bisa mendukung Pangeran Diponegoro, dengan berkata, “Dukungan ini bisa Aku lakukan asal ada perintah dari Sinuwun Pakubuwono VI.”


RM Prawirodigdoyo menyarankan agar Pangeran Diponegoro menemui langsung Sinuwun Pakubuwono VI, yang diperantarai Pangeran Mangkubumi—pamannya yang terkenal memiliki jaringan pergaulan luas. Pangeran Mangkubumi lantas menghubungi sahabat lamanya, Pangeran Joyo Kusumo, dan meminta Sinuwun agar berkehendak menjumpai Pangeran Diponegoro.


Pangeran Mangkubumi lalu datang ke Solo dan bertandang ke rumah Pangeran Joyokusumo. Di sana telah hadir Pangeran Jungut Mandurorejo yang juga paman Pakubuwono VI. Di sinilah Pangeran Mangkubumi menjelaskan seluruh duduk persoalan kenapa Pangeran Diponegoro bermusuhan dengan pihak Kepatihan.


Pangeran Joyo Kusumo dan Pangeran Jungut memperhatikan dengan saksama cerita Pangeran Mangkubumi, lalu setelah cerita dipungkasi, Pangeran Jungut berkata:


Akan ada pencaplokan tanah besar besaran oleh Belanda untuk kepentingan kekayaan mereka. Sekarang masalahnya berani atau tidak bangsa Jawa melawan orang Hollanda itu?” kata Pangeran Jungut.

Pangeran Joyo Kusumo yang hanya memejamkan mata dan mengheningkan jiwanya, lantas sumahur.


“Banjir darah akan merebak di Jawa, dan ada gelombang kelaparan. Tapi setelah itu Jawa akan berjaya, seperti Majapahit. Aku mendukung Adimas Pangeran Diponegoro, sebagai pemimpin melawan Belanda, tapi kita harus bermain strategi. Kalau keponakanku Pakubuwono VI ketahuan mendukung Pangeran Diponegoro, maka Solo akan dihantam habis, dibikin crah, dibuat huru-hara. Itu malah memperlemah barisan perlawanan. Ada baiknya perjanjian dukungan dengan Pangeran Diponegoro dibuat secara tersembunyi.”


Kepada Pangeran Mangkubumi, pangeran bermata tajam dan kumis baplang ini pun berpesan.


“Tunggu saya di Desa Paras, Boyolali. Karena saya dan Pangeran Jungut akan mengajak Sinuwun Pakubuwono VI bertapa tiga hari di Gunung Merbabu. Setelah bertemu Pakubuwono VI, saya dan Pangeran Jungut Mandurorejo akan meminta beliau agar mendukung Pangeran Diponegoro.”


Maka terjadilah kesepakatan rahasia antara Pembesar Yogyakarta dan Pembesar Surakarta untuk melawan Belanda. Setelah kesepakatan Paras, Boyolali, Pakubuwono VI, Pangeran Joyo Kusumo, dan Pangeran Jungut Mandurorejo serta serombongan pengawal, menuju alas Krendowahono di sekitar Karanganyar.


Di sinilah mereka berjumpa dengan Pangeran Diponegoro yang sudah ditemani Kyai Mojo dan Raden Prawirodigdoyo. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan saling tidak mengganggu antara pihak Solo dengan konflik di Yogyakarta, dan apabila Solo diminta membantu Belanda dalam perang nanti, maka Solo akan memberi datadata intelijen kepada Pangeran Diponegoro serta melakukan ‘perang sandiwara.’


Saat itu, juga hadir seorang sastrawan muda bernama Ronggowarsito. Kelak dua dasawarsa kemudian, Ronggowarsito merekam peristiwa ini sebagai bentuk rasa kebangkitan harga diri bangsa Jawa.

Ketika Perang Jawa berkobar, dan Lasem berhasil direbut Pangeran Diponegoro, ada pertemuan lanjutan yang membahas penghadangan pasukan di Semarang dan sabotase yang membutuhkan bantuan pihak Solo.


Suatu malam, Pangeran Diponegoro datang ke Keraton Surakarta. Rencana ini bocor karena ada pengkhianat yang melaporkan kepada Belanda akan ada tamu dari Yogya yang datang tengah malam.

Pasukan Belanda datang mengepung Keraton dan mencari tamu itu, namun tidak ketemu. Rupanya kereta kuda Pangeran Diponegoro telah dipendam oleh prajurit Keraton, dan ia meloncati tembok alun alun, lalu berlari ke arah Pasar Kliwon. Bersembunyi di sana sampai lima hari.


Singkat cerita, pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro memenuhi undangan panglima tertinggi Kerajaan Belanda, Jenderal de Kock yang berada di Magelang. Karena peperangan berlarut-larut, De Kock meminta Diponegoro berunding. Dalam perundingan yang dijaga ketat pasukan Belanda, De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro.


Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga P Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. Perang Jawa pun usai dengan kekalahan banyak pihak.


Berakhirnya Perang Jawa merupakan pungkasan perlawanan bangsawan Jawa. Perang ini banyak memakan korban dan biaya. Di pihak VoC, De Steurs mencatat korban dari barisan serdadu sebesar 12.749 orang meninggal di rumah sakit, serta 15.000 orang tewas dan hilang dalam pertempuran. Sekitar 8000 di antaranya adalah tentara yang langsung didatangkan dari Belanda.


Total biaya yang telah mereka kuras, 20 juta gulden. Sementara di pihak pribumi, ada 200.000 orang Jawa yang meregang nyawa. Banyak pedesaan yang mendadak sepi ditinggal penduduknya. Sebagian besar demi mencari penghidupan baru lantaran kepala keluarga mereka telah tumpas di medan perang.


Sunan Pakubuwono VI ditangkap karena terbongkar rahasianya oleh Residen Semarang yang menemukan banyak data dukungan Solo kepada Yogya. Pangeran Joyo Kusumo juga dicurigai terlibat oleh Belanda, namun ia berhasil melarikan diri ke Bagelen, lalu ke Cilacap.


Di kota pesisir ini ini pun ia masih dikepung banyak pendukung Belanda, dan dengan menyamar sebagai petani, ia berhasil sampai ke Sukabumi, tepatnya ke Desa Cidahu. Di tempat persembunyiannya ia menyamar sebagai petani cabe dan padi.


P. Diponegoro adalah merupakan GELAR KEBANGSAWANAN dari Trah Mataram. Mulai Mataram awal sudah ada gelar P Diponegoro. P Diponegoro yang khusus  mendapat gelar Pahlawan Nasional beliu adalah putranya Sultan  Hamengkubuwono III Yogyakarta.

Akan banyak kita temui makam makam P Diponegoro dimana mana baik yang Sulawesi,  di Sumenep Madura,  di kaki Gunung Lawu,  di Komplek Makam Patok Negoro Sleman Yogjakarta.  Makam makam tsb walau sama gelar kebangsawanannya namun berbeda masa hidupnya, bin nya dan nama kecilnya. 

Terkait khusus P Diponegoro yang makamnya di Sumenep madura ada 2 fersi sejarah yaitu :


Versi 1,  berdasar data resmi sejarah tokoh2 yang diasingkan pihak penjajah dan lokasi pengasingannya, itu adalah 


KPH. Diponegoro II bin BPH. Diponegoro I bin S. HB III.


Versi 2, Berdasar keluarga Sumenep.. itu makamnya eyang BPH. Diponegoro I bin S. HB. III.. 


Namun yang dipegang secara umum oleh keluarga Diponegoro versi 1..

Anak BPH. (Bendoro Pangeran Haryo) Diponegoro bin Sultan  HB III yang nunggak semi juga bergelar P. Diponegoro. Kalau P Diponegoro bin HB III beliau ganti gelar menjadi Sultan Abdul Hamid Herucokro Amiiril Mukminin Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ing Tanah Jawi. Jadi harus dibedakan beliau beliau yang bergelar P Diponegoro seperti :

1. KPH (Kangjeng Pangeran Hario) Diponegoro II / P. Abdul Majid ..

2. KPA (Kangjeng Pangeran Adipati) Diponegoro / Diponingrat / Kangjeng Pangeran Adipati Anom.

Dllnya.  

Diponegoro II diasingkan ke Sumenep terdata di tahun 1834 M.

BPH. Diponegoro bin S. HB III Sang Pahlawan Nasional..saat ditangkap oleh belanda dari Magelang,  dariMagelang dibawa ke Batavia/ Jakarta, sempat di Menado tiba di Manado 12 Juni 1830. Beliau berada di Benteng Manado atau Fort Nieuw Amsterdam sejak Juni 1830 hingga Juni 1833. Selanjutnya, pada tahun 1833, P Diponegoro dipindahkan ke Makassar secara diam-diam dan ditempatkan di Benteng Fort Rotterdam selama sebelas tahun. Diponegoro menolak upaya Hindia Belanda untuk memindahkannya ke tempat pengasingan baru dan ingin menghabiskan akhir

hayatnya di Makassar.

"Kalau" di Menado ada yang dinyatakan sebagai Makam beliau.. maka bisa jadi itu adalah Makam asli beliau atau mungkin juga hanya Petilasan saja .


Sedangkan yang bergelar P. Diponegoro dan diasingkan ke Sumenep Madura itu adalah putranya beliau Sang Pahlawan Nasional.

Sedangkan putra lainnya yang KPA. Diponegoro / Diponingrat.. diasingkan dan wafat di Ambon.


Jadi yang perlu mendapat perhatian khusus yaitu bahwa :

Yang bergelar P. Diponegoro / Dipanegara ada banyak dan di berbagai Kerajaan / Kesultanan.. termasuk di Kesultanan Banten juga ada yang bergelar tsb.


Yang namanya gelar Pangeran mesti terkait dengan Kerajaan.Kalau misalnya Diponegoro bin Abdullah.. maka harus jelas dulu keberadaan beliau itu.... dari jalur kerajaan mana...... dan siapa aliasnya Abdullah ini..  .. 

Bisa jadi pada tokoh lain yang namanya sama..

Karena masalah kesamaan nama kerap tertukar.. bahkan antara ayah dan anak.. apalagi dengan orang lain.

 P. Diponegoro Sang Pahlawan Nasional.. ada juga versi sedikit diplencengkan bukan ayahnya Sultan Hamengkubuwono III Yogyakarta.... ini tentunya punya tujuan terselubung supaya bisa dapat rekontruksi Versi Sayyid  Sayyid,  versi katanya oknum Habaib yg ada kepentingan kepentingan 

(Misalnya digosipkan P. Diponegoro yang Pahlawan Nasional berfam antara lain bin Yahya, Ba'abud, Assegaf dll).


Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar