Awal
tahun 2018 oleh walikota Bapak Sugeng Rismiyanto, Sebuah upaya kongkrit dalam mengembalikan
jatidiri masyarakat madiun. Pemerintah kota madiun telah mencanangkan Kota
Madiun sebagai kota yang ramah budaya melalui city branding dengan jargon
MADIUN KARISMATIK. Kata karismatik dipilih untuk mewakili sejarah dan budaya wilayah
Madiun yang cukup di segani sejak era kerajaan Glang-glang i Bhumi Ngurawan sampai
era kemerdekaan, wilayah Madiun telah
banyak melahir kan atau turut mewarnai banyak aspek kehidupan Berbangsa
Indonesia. Pada kesempatan ini juga telah di giarkan sebuah pakaian khas gaya
Madiunan, yaitu dengan pakaian Jawa gaya pemuda pemudi tempo dulu yang terinspirasi pakaian seragam siswa-siswa OSVIA Madioen yaitu, dengan menggunakan beskap landung dan jarik parang
klithik dilengkapi blangkon bagi pria dan kebaya khas bagi wanita, juga 2 buah
tarian tradisional kreasi baru ditampilkan secara massal oleh ratusan pelajar kota
madiun yaitu tari Kembang Setaman dan Tari Solah Madiunan yang menggambarkan
sebuah kehidupan majemuk kota madiun dengan gerak tari yang terinspirasi pencak
silat khas Madiun dan keperwiraan para ksatria-ksatria madiun, seperti Retno
Djumilah, Ronggo Prawirodirdjo, Sentot Ali Basyah Prawirodirjo, Bupati Brotodiningrat,
Eyang Surodiwirdjo, Ki Hajar Hardjo Oetomo Tentara pelajar TRIP / TGP, Mulyadi
dan masih banyak lagi.
Namun
masih disayangkan ada salah satu kesenian tutur asli kota madiun yang luput
dari perhatian pemerintah Kota Madiun, yaitu Penthul Tembem yang berlatar
belakang sejarah perjalanan Raden Ngabehi Ronggowarsito dikala masih muda,
dengan nama Bagus Burhan. Kesenian di ini telah beberapakali ditampilkan dalam
berbagai ajang seni budaya, oleh Kelompok Kesenian Wisma Melati Jl. Pandu Kota
Madiun, dan mendapatkan penghargaan dari Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta, sekarang BPNB (Balai Pelestarian Nilai Budaya) dan di
perkenalkan kembali oleh KIM Citra Taruna Kenanga winongo dalam Lomba Cerdas
Cermat Kelurahan di Pasuruan dan mendapatkan juara 2 tingkat Provinsi Jawa
Timur. Walaupun beberapa kali telah menorehkan prestasi namun kesenian ini masih sulit mendapatkan
perhatian dari masyarakat, karena seni Penthul Tembem yang hanya memperagakan
topeng hitam dan putih di anggap tidak mempunyai daya tarik dan sulit untuk
dikembangkan, mengingat diwilayah madiun sudah lebih dulu populer seni tradisi
Reog Ponorogo dan dongkrek Caruban. Menurut sahabat yang tergabung dalam Lesbumi
NU Kota Madiun dan Historia van Madioen bahwa Seni Penthul Tembem masih punya
potensi untuk di populerkan sebagai kesenian khas kota Madiun, mengingat latar
belakang sejarah dari seni ini peristiwanya tepat dan persis di alun-alun
Kabupaten Madiun di tahun 1761 saka atau 1839 M atau persis di alun-alun kota
Madiun sekarang ini. Memang jika kita menilik seni Penthul Tembem telah ada dan
mungkin telah dikembangkan di daerah lain dengan bentuk topeng yang sama, namun
latarbelakang sejarahnya sangat berbeda, seperti Penthul Tembem yang ada di
wilayah Pati dan Malang mengambil kisah cerita Panji, yaitu paraga Panji Doyok
dan Bancak.
Penthul
Tembem Madiun berlatar Belakang sejarah perjalanan Bagus Burhan waktu nyantri di
Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari Ponorogo. Pada sekitar tahun 1760 S /1830
M, Tumenggung Yosodipuro dari Kasunanan Surakarta mengirim putranya Bagus
Burhan untuk nyantri pada Kyai Ageng Kasan Besari, diiringi pengikutnya
Onggoleya. Setelah hampir setahun nyatri ternyata tidak ada perubahan pada
Bagus Burhan, bahkan sering membuat
resah para santri lainnya dengan mengajak sabung ayam dan
bersenang-senang lainnya. Mengetahui hal itu Kyai Kasan Besari segera memanggil
Onggoleya untuk membawa pergi Bagus Burhan dari Pesantren Tegalsari.
Karena
takut pulang ke Surakarta, Bagus Burhan pergi berkelana ke wilayah Madiun,
untuk kebutuhan sehari-hari Bagus Burhan jualan palen (baju dan perhiasan) di
pasar besar Madiun. Raden Ajeng Gombak
putri Bupati Madiun yang waktu itu sedang belanja di pasar melihat Bagus Burhan
dan tertarik pada cincin yang di pakai Bagus Burhan, serta bermaksud
membelinya, oleh Bagus Burhan cincin itu diberikan dan dibeli dengan harga yang
cukup murah.
Sesampai
di ndalem Kabupaten, Raden Ajeng Gombak menunjukan cincin tersebut kepada
ibundanya, hingga kanjeng bupati kaget dan heran, karena cincin tersebut adalah
cincin keraton dan bukan sembarangan orang yang memakainnya. Kanjeng Bupati kemudian
mengutus seorang opas untuk memanggil si penjual cincin, hingga Bagus Burhan
menghadap kanjeng bupati dan mengaku bahwa dia putra Tumenggung Yasadipura,
dari Surakarta. Kanjeng Bupati mengatakan bahwa Tumenggung Yasadipura adalah
masih saudara misan, saat ditanya mengapa cincin diberikan pada Raden Ajeng
Gombak, Bagus Burhan menjawab bahwa itu sesuai dari pesan eyangnya yaitu
apabila dikehendaki oleh seorang wanita harus diberikan.namun saat mau diajak
bersama oleh Kanjeng Bupati Ke Surakarta, Bagus Burhan menolak dengan alsan
masih harus melaksanakan kewajibannya yang belum tercapai.
Sementara
itu sepeninggal Bagus Burhan, keadaan Desa Tegalsari mengalami kekacauan
terkena wabah penyakit. Kyai Ageng Kasan Besari sangat masghul dan prihatin,
dalam hatinya telah berbuat kelalaian dengan mengusir Bagus Burhan, mungkin
itulah sebab dari kekacauan desa ini.
Selanjutnya
diutuslah Kromoleya, untuk mencari keberadaan Bagus Burhan. Kromoleya langsung
menuju ke utara, dengan memakai topeng berwarna Hitam sebagai penyamaran dan
Mbarang atau Ngamen untuk mendapatkan bekal dijalan. Kromoleya yang memakai
Topeng Hitam kemudian disebut TEMBEM.
Ketika
Bagus Burhan dan Onggoleya pulang mencari ikan singgah di Masjid Agung dekat
alun-alun, sementara Bagus Burhan di dalam Masjid onggoleya ke alun-alun karena
melihat ada rame-rame dan orang menari, setelah diamati yang sedang ngamen
adalah Kromoleya, temannya saat nyantri di Tegalsari. Agar tidak mencurigakan
maka Onggoleya sekalian ikut nari sebagai pasangannya dengan menggunakan Topeng
warna Putih, yang kemudian disebut PENTHUL.
Kromoleya
dan Onggoleya terus menari sambil bertanya tentang keadaan dan keperluannya.
Setelah selesai mereka menemui Bagus Burhan, Kromoleya mengatakan bahwa dia
diutus oleh Kyai Ageng untuk mengajak kembali ke Tegalsari sowan pada Kyai Kasan Besari, karena masih
ragu, kromoleya menjamin jika nanti dimarahi nanti Kromoleya yang mau
bertanggung jawab.
Akhirnya
Bagus Burhan menghadap Kyai Kasan Besari, Bagus Burhan disuruh berpuasa selama
40 hari, saat berbuka hanya boleh makan pisang yang tumbuh di barat pondok,
sehari hanya satu biji. Dalam berpuasa
Bagus Burhan tidak makan tidak minum kecuali sebiji pisang tiap berbuka dan
duduk diatas sungai dengan berpijak pada sebatang bambu selama 40 hari. Setelah
pada malam yang terakhir, Onggoleya disuruh menanak nasi disebuah kendil,
setelah hampir masak tiba-tiba ada sinar dari arah barat seperti Ndaru atau
pulung masuk kedalam kendil, tercium bau harum menjelang pagi hari kendil
dibuka dan alangkah terkejutnya didalamnya ada seekor ikan Badher yang telah
masak sebagai lauknya.
Setelah
kurang lebih 2 tahun di pesantren Tegalsari, bagus Burhan diantar kembali ke
Surakarta oleh Kyai Ageng sendiri beserta Onggoleya dan Kromoleya.
Kemudian
Bagus Burhan dinikahkan dengan Raden Ajeng Gombak, serta diabdikan kepada
Ingkang Sinuwun Paku Buwono. Karena ke pandaianya dalam Sastra dan
kewaskitaanya maka Bagus Burhan diangkat menjadi Pujangga Keraton Kasusuhunanan
dengan Gelar Raden Ngabehi Ronggowarsito, yang namanya harum di seluruh
nusantara.
Peristiwa
dimana Kromoleya dan Onggoleya bertemu dialun-alun Kota Madiun sambil menari
menggunakan Topeng Hitam dan Putih, menjadi sebuah bentuk kesenian PENTHUL
TEMBEM.
Dirangkum
dari :
Sinopsis
Kesenian Penthul Tembem oleh: R Uripto Rahardjo dan Dra. Ny. Ngt. Sri Wijati
Rahardjo
“Wisma
Melati” Event Organizer Jl. Pandu 23 Kota Madiun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar