Jalur Kereta Api Madiun Slahung adalah jalur kereta api yang menghubungkan Stasiun Madiun Kabupaten Madiun dan Stasiun Slahung di Kabupaten Ponorogo. Jalur ini melewati Kota Ponorogo, kemudian bercabang ke daerah Sumoroto hingga Badegan Kabupaten Magetan dan cabang satunya lurus ke selatan hingga Stasiun Slahung di perbatasan dengan Kabupaten Pacitan. Jalur ke Badegan dibongkar oleh Pemerintah Jepang pada awal tahun 1940-an sehingga praktis saat ini tidak ada sisa-sisa yang dapat ditemui dari jalur tersebut.
Jalur ini juga melewati beberapa pabrik gula, yaitu PG. Kanigoro dan PG. Pagotan, PG. Pagotan saat ini bahkan masih beroperasi, walaupun Stasiun Pagotan-nya sendiri sudah tidak aktif. Dibangun pada tahun 1907 oleh StaatsSpoorwegen dan berjaya hingga ditutup operasionalnya tahun 1984. Sisa prasarana perkeretaapian berupa rel yang timbul-tenggelam di sepanjang jalur Madiun-Ponorogo masih bisa ditemui di lapangan. Selain itu juga terdapat sisa tiang sinyal, tiang telegraf, jembatan rel dan wesel percabangan yang masih dapat ditemui. Beberapa stasiun bangunannya masih utuh, diantara Stasiun Jetis, Balong, Kanigoro, Ponorogo, Pagotan, dan Slahung.
https://goo.gl/maps/knUyZatUzh664LjY7
https://www.indonesiarailwaymap.com/2015/03/jalur-kereta-api-ss-madiun-slahung.html?m=1
Foto lawas:Rob Dickinson
Stasiun Slahung dengan kode (SLH) adalah stasiun kereta api nonaktif yang terletak di Slahung, Slahung, Ponorogo pada ketinggian +154 meter, terletak paling selatan di Wilayah Aset VII Madiun lintas jalur kereta api Ponorogo–Slahung.
Stasiun Slahung (SLH) adalah stasiun kereta api nonaktif yang terletak di Slahung, Slahung, Ponorogo pada ketinggian +154 meter, terletak paling selatan di Wilayah Aset VII Madiun lintas jalur kereta api Ponorogo–Slahung. Dibuka pda thn 1922 dan ditutup 1983.
Pada sejarahya sebelumnya stasiun Balong adalah titik terminus saat itu,seiring meningkatnya angkutan kebutuhan batu gamping di Slahung maka dilanjutkan pembangunan jalur menuju slahung & hingga jalur tersebut dibuka pada 1 Agustus 1922.
Alhasil jalur Ponorogo ke Slahung sejauh 25,5km selesai diangun dan akhirnya stasiun ini dinonaktifkan bersamaan penutupan jalur kereta api mnuju Ponorogo pda thn 1983.dan sekarang bekas stasiun dijadikan gudang jahe.kejayaan stasiun Slahung masih menjadi kenangan cerita masa lalu bagi warga skitar saat naik kereta api.

Stasiun Kanigoro, Madiun
Stasiun Pagotan, Madiun
SEPUR LEMPUNG
Sebuah lokomotif uap hitam tua berseri C 2606 berdiri tegak di sisi barat Stasiun Madiun, Jawa Timur. Diproduksi perusahaan Jerman, Henschel, tahun 1921 atas pesanan Kediri Stoomtram Maatschappij, lokomotif ini pernah jadi urat nadi transportasi. Kini, penanda zaman itu juga menjadi cermin perkeretaapian Republik ini. Cermin? Iya. Simak saja kelamnya perjalanan hidup lokomotif uap C 2606, berjuluk ”sepur lempung”, yang dulu biasa dipakai mengangkut gerabah berbahan lempung ini.
Tiba di Pelabuhan Semarang pada tahun 1921, tadinya lokomotif ini berdinas di lintas Pare-Kediri-Jombang. Namun, karena perusahaan kereta Kediri Stoomtram Maatschappij akhirnya bangkrut, C 2606 dimutasi ke Madiun. Dari Madiun, ”sepur lempung” yang kemudian dioperasikan perusahaan kereta Staatsspoorwegen (SS) itu ditugaskan melaju di lintas cabang Madiun-Ponorogo-Slahung (45 km). Di sana, lokomotif yang dioperasikan SS itu sempat berjaya. Sayangnya, tanpa pembelaan, ”sepur lempur” itu akhirnya kalah bersaing dengan bus umum sehingga dibekukan tahun 1988
Kekalahan. Itulah kesan yang mengental pada ”sepur lempung” tadi. Belum lagi, tak hanya lintas Madiun-Slahung yang ditutup, tetapi juga Ponorogo-Badegan (17 km) dan Jombang-Babar (71 km). Artinya, setelah lebih dari seratus tahun berlalu sejak dibukanya Kertosono-Nganjuk-Madiun tahun 1881-1882, sistem angkutan kereta kita malah mundur.
Tadinya, ada bangunan asli Stasiun Madiun yang didirikan tahun 1897 oleh arsitek Belanda, Frans Johan Louwrens, yang juga mengarsiteki Stasiun Jakarta Kota (Beos) yang indah itu. Kini, bangunan asli tak berbekas sama sekali, digantikan bangunan baru yang tanpa ”jiwa”.
Miris hati ini melihat lokomotif uap tua itu dan melihat Stasiun Madiun lama yang hilang begitu saja. Padahal, kereta adalah napas Madiun. Beberapa ratus meter dari Stasiun Madiun, misalnya, sampai ada pasar yang dinamakan Pasar Sepur. Pasar itu tentu saja tidak menjual kereta api. Pasar itu, layaknya pasar tradisional, hanya menjual bahan pangan dan barang kelontong. Menurut Wagiyem (70), salah satu penjual sayur, istilah Pasar Sepur muncul karena kedekatan pasar ini dengan Stasiun Madiun yang menjadi lalu lalang sepur (Bahasa Belanda, spoor: kereta api). ”Sejak saya masih anak-anak, pasar ini sudah ada,” katanya. Berimpit di sisi utara stasiun, berbagi rel yang sama, juga terdapat pabrik PT Industri Kereta Api (INKA). Ini adalah pabrik INKA satu-satunya di Indonesia, bahkan mungkin di Asia Tenggara. Didirikan tahun 1981, ratusan kereta telah diproduksi untuk PT Kereta Api (persero), juga untuk operator kereta mancanegara, sebut saja perusahaan kereta Malaysia dan Thailand. INKA juga mengerjakan diversifikasi bisnis, misalnya dengan membuat trem listrik. Trem ini rencananya bakal diperasikan di Superblok Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta. INKA juga membangun railbus, semacam kereta komuter yang telah digunakan di Palembang. Railbus efektif untuk jarak dekat dan biaya pembangunan prasarananya tak mahal sehingga harga tiket bisa relatif murah. Buah karya terbaru PT INKA yang diluncurkan pada Lebaran 2010 adalah kereta ekonomi berpendingin ruangan. Itulah KA Ekonomi Bogowonto, jurusan Jakarta-Kutoarjo, yang pertama kalinya dipesan pemerintah. Sebagaimana Stasiun Madiun yang memajang lokomotif uap tua, PT INKA malah memajang tram tua B 1602. Tram itu buatan pabrik Hohenzollern, Jeman, tahun 1897.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Madiun, Harapan Kebangkitan Kereta", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2010/09/08/03305331/madiun.harapan.kebangkitan.kereta?newnavbar=1.