31 Desember 1888 adalah malam Tahun Baru pertama yang dialami istriku di Tanah Jawa yaitu ketika kami tinggal di Ngawi. Kuda-kuda yang kubeli agak keras kepala dan liar sehingga aku tidak berani menggunakannya untuk mengantar kami ke sociëteit yang jauhnya sekitar 2 km dari rumah. Kami berjalan kaki dan tiba sekitar jam 21:15 dan sudah berkumpul semua orang penting di sana. Para pria bermain kartu L’hombre-Tafel sedangkan para wanita bermain kartu Whist sambil bercengkerama. Sociëteit menyediakan Likör dan kopi tanpa pungutan biaya. Pukul 12 malam tiap orang bersulang dengan gelas Rheinwein, Brandy, soda, atau Bordeauxwein diawali dengan sulangan dari asisten residen.
Tahun baru harus diawali dengan berdansa. Dalam urutan ketat menurut pangkat dan kedudukan, pasangan dansa memasuki ruangan dengan langkah pelan, memutari ruang dansa 2 kali. Musik berganti dan dansa Walz mengawali dansa Reigen. Beberapa pria meninggalkan ruang dansa karena lebih memilih untuk bermain kartu atau secara umum dansa itu terlalu gerah untuk cuaca seperti ini. Beberapa pria yang melarikan diri ke beranda dan bermain kartupun akhirnya harus berdansa dan akupun juga harus menuju ke ruang dansa ketika istri komandan miiter dan istri asisten residen mengajak berdansa Lanciers. Akhirnya aku terbebas dari kewajiban sosialku itu namun ketika baru setengah jam bermain kartu dan sibuk dengan Spadille, Manille, Basta, Ponto, terdengar seruan Quadrille! Dengan tatapan penuh takut kulihat ke arah pintu ruang dansa dan di sana berdiri 2 wanita, istri dua orang paling berpangaruh dan di belakang mereka berdiri istriku yang tersenyum mengolok. Akupun harus kembali ke ruang dansa. Setelah dansa Quadrille yang melelahkan aku dan istriku meninggalkan sociëteit sekitar jam 3 pagi sementara yang lainnya tetap berdansa atau bermain kartu hingga matahari terbit
Aku menerima undangan dari dokter pribadi Susuhunan Solo untuk menghadiri perayaan Tahun Baru 1 Januari yang diadakan oleh residen. Kereta api yang berangkat dari Madiun jam 6:15 pagi tiba di Paron jam 7:15, jadi kami harus berangkat dari rumah jam 6 pagi. Kami memanfaatkan waktu yang singkat itu untuk tidur hingga jam 5 pagi. Kereta kuda dengan 2 kuda jenis Sandelwood siap pada jam yang ditentukan. Dua kudaku melaju dengan cepat melewati jalanan kota yang panjang menuju Paron. Dua kudaku tiba-tiba berhenti ketika berada di Paal 4, kemudian kudengar bahwa ada harimau mati tergeletak di semak-semak. Menurut statistik tahun 1893, kecelakaan yang menyebabkan kematian akibat melintasnya binatang di Hindia Belanda sebenarnya tidak besar yaitu 43 karena harimau, 39 karena buaya, 38 karena ular. Segala upaya telah dilakukan tetapi kuda-kuda tidak mau beranjak dari Paal 4. Akhirnya aku, istriku, dan seorang babu turun dari kereta kuda dan berjalan kaki sembari si kusir terus berusaha menghentikan mogoknya dua kuda itu namun hingga mencapai Paal 5 kami tidak melihat maupun mendengar kereta kuda kami. Masih ada 1 Paal (1 Paal= 1,5 km) lagi hingga ke stasiun Paron ketika kami mendengar bunyi tiupan lokomotif di kejauhan. Kereta api sudah berangkat dari Geneng, stasiun sebelum Paron. Dengan langkah cepat aku dan istriku bergegas dan tidak menyadari bahwa babu kami tertinggal di belakang dengan tas bawaan. Istriku juga tidak sanggup lagi melanjutkan berjalan cepat menempuh 100 langkah terakhir. Aku tahu bahwa di stasiun terdapat sado, dan aku sendirian berlari menuju ke stasiun dan tiba bersamaan dengan datangnya kereta api. Segera aku mengirim 1 sado untuk menjemput istriku, babu dan tasku dan aku mencari kepala stasiun dan memintanya untuk menunggu 2 menit hingga istriku tiba.
Setelah 3 jam perjalanan kami tiba di Solo lalu makan Rijsttafel dan kami dipinjami baju tidur oleh nyonya rumah dan segera tidur siang, hal yang kami butuhkan setelah hari yang melelahkan. Sayangnya kami tidak bisa tidur siang terlalu lama karena tamu-tamu orang Eropa diharapkan hadir jam 5 sore oleh residen. Pakaian yang kami kenakan dalam perjalanan siang hari kami pakai lagi, kemudian kami minum teh dan menuju ke rumah residen. Dalam perjalanan kami diberitahu bahwa orang-orang pribumi sudah sejak jam 6 pagi mengucapkan selamat kepada residen dan mereka menerima hadiah kecil berupa uang maupun pakaian. Dengan diiringi musik hal itu berlangsung hingga jam 10 ketika para pemusik pengawal Susuhunan, agen polisi, pemusik Pangeran Mangkunegara, pawang gajah, dst menyampaikan ucapan itu. Sekitar jam 10 musik terdengar lebih pelan dan tampak semua pegawai pemerintah Eropa, para perwira, Pangeran Mangkunegara dan pejabat masyarakat datang untuk mengucapkan selamat Tahun Baru kepada residen.
lalu duduk di kursi tahta dan di sisi kirinya putra mahkota dan beberapa pangeran sedangkan di sisi kanan para tamu orang Eropa. Kemudian 4 orang gadis yaitu putri-putri bangsawan menarikan Srimpi. Setelah 2 jam berlalu, musik militer eropa terdengar memainkan musik untuk dansa Polonaise. Residen menggandeng Susuhunan, asisten residen menggandeng putra mahkota, Platz-Commandant menggandeng istri residen, dan yang lain mengikuti memutari ruang dansa 2 kali. Selebihnya Polonaise ditujukan untuk orang eropa yang berdansa berbentuk lingkaran sementara Susuhunan menuju ke Whisttafel di ruangan lain dimana di sana orang terpandang dan tuan tanah terkaya ikut bermain kartu. Perjamuan makan malam adalah penutup untuk acara perayaan Tahun Baru. Residen menuju ke ruang bermain sekitar jam 23:30 untuk mengingatkan Susuhunan tentang jam perjamuan makan.
Di malam sebelumnya istriku hanya tidur 3 jam dan perjalanan ke stasiun sangat melelahkan sekaligus kekurangan pakaian, hingga jam 2 pagi istriku mengenakan pakaian yang sama sehingga istriku merasa tidak enak badan. Aku menuju ke salah seorang pengatur seremoni untuk menyampaikan bahwa kami tidak bisa ikut dalam jamuan makan itu. Orang itu hanya berkata singkat: mustahil! Dan dia bergegas pergi untuk mempersiapkan hal lainnya. Karena rasa tidak enak badan istriku semakin bertambah maka aku membawanya pulang dan setelah aku memeriksa dan mengetahui penyebab rasa tidak enak badan istriku yaitu karena kelehan berlebihan maka aku tidak begitu kuatir. Lalu aku kembali ke ruang dansa dan menyampaikan berita itu kepada pengatur seremoni dan meminta penjelasan atas jawaban ‚mustahil‘ darinya. Katanya, „Meja perjamuan terdiri dari 2 meja besar dengan bentuk T. Di meja horisontal duduk Susuhunan dan di sebelah kanannya Platz-Commandant, di sisi kiri residen dan di sampingnya duduk para pejabat Eropa sesuai tingkatan pangkatnya. Di meja vertikal duduk para bangsawan yang jumlahnya tetap. Tetapi para tamu Eropa selalu dinamis jumlah dan kepangkatannya sehingga setiap kali dilaksanakan perjamuan makan ada pengaturan tempat duduk baru. Anda dan istri anda adalah orang termuda dan berada dalam pangkat paling rendah boleh duduk bersama dalam meja itu sementara para tamu Eropa lainnya duduk di meja lainnya tanpa harus ada pengaturan tempat duduk karena urutan pangkat. Jika anda membatalkannya, dengan siapa saya harus menggantikan tempat duduk itu?“
Teks disarikan dari: Breitenstein, H. 1900. 21 Jahre in Indien. Aus dem Tagebuche eines Militärarztes, 2. Theil: Java. Leipzig. Th. Grieben's Verlag (L. Fernan)
Foto : Beranda depan Societeit Ngawi dan lokasi Societeit di pertemuan Bengawan Solo dan Sungai Madiun. Koleksi KITLV
Sumber : Artikel FB : Eva Mentari Christoph
Tidak ada komentar:
Posting Komentar