PRAHARA BLITAR TAHUN 1950, TRIP VS BRIGADE II
Personel TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar)/TP (Tentara Pelajar)/TGP (Tentara Genie Pelajar) adalah pelajar setingkat SMP-SLTA plus sebagian kecil mahasiswa, lalu peran apa yang mereka jalankan selama Revolusi Fisik? Berawal dari rasa terpanggil membela tanah air mereka masuk dalam kelasykaran rakyat, hingga Markas Tentara melirik kiprah mereka dan dimiliterisasi melalui Kebijakan Restrukturisasi dan Rasionalisasi tentara oleh Kabinet Hatta tanggal 25 Maret 1948, yang merangkul dan ‘mensortir’ personil militer agar tercipta tentara berjumlah lebih sedikit namun professional dan mampu dibiayai oleh republik serta tunduk terhaddap otoritas sipil.
Merujuk kepada kebijakan tersebut pasukan republik diberikan tiga status, yaitu Pasukan Mobile, Pasukan Teritorial, Pasukan Kesatuan Reserve Umum. TRIP Jawa Timur dimasukan ke dalam satuan Komando Reserve Umum Brigade W (KRU-W) yang dilaksanakan pada tanggal 15 Mei 1948. Penggolongan status pasukan tersebut merupakan usaha untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi tentara. Pasukan mobilebisa dijabarkan sebagai pasukan garis pertama, yang merupakan pasukan tempur riil, dengan rasio senjata dan pasukan yang memadai yakni 1:1, sedangkan pasukan teritorial merupakan elemen pendukung dan cadangan dengan rasio perbandingan senjatanya 1:3-5, yang berfungsi sebagai penjamin supply logistik dan SDM bagi pasukan tempur dan merupakan elemen partisan yang bertempur bagi keamanan wilayah dan warga .
Pada praktik pelaksanaan di lapangan penggolongan pasukan tersebut juga merupakan sebuah masalah tersendiri. Sebagian besar pasukan lebih memilih sebagai pasukan mobile, dan enggan dijadikan pasukan teritorial. Mereka (pasukan teritorial) enggan menyerahkan persenjataan untuk melengkapi pasukan mobile.
Para komandan lapangan menampakan keengganan untuk menyusun unit teritorial, karena kebanyakan dari mereka memilih untuk menjadi pasukan mobilewalaupun kenyataan tidak sejalan dengan hal itu. Kebutuhan pasukan teritorial paling banyak hanya tersedia 50% dari total kebutuhan, acap kali struktur tersebut hanya gambaran di atas kertas saja. Untuk mengisi kekosongan tersebut dipenuhi dari dari para pelajar pejuang bersenjata.
TRIP Detasemen I Jatim menjadikan Blitar Utara sebagai basis gerakan, bermarkas di Desa Gabru (sekarang Tegalasri) memanfaatkan ruang kosong yang ditinggalkan oleh Batalyon 20, saat batalyon tersebut naik status dan menjadi pasukan mobil yang berpindah-pindah. Selain mengambil oper teritorial Batalyon Branjangan, TRIP Jatim di Blitar dilimpahi wewenang mengelola administrasi Komando Distrik Militer (KDM; sekarang KODIM) dikomandani oleh Mayor Isman. Per Januari 1949 resmi Komandan TRIP Jatim menjabat sebagai Komandan KDM Blitar.
Kebijakan pemerintahan militer sebelum dilimpahkan kepada TRIP Jatim di Blitar ialah pembagian keuntungan hasil pengelolaan perkebunan tersebut 40 persen untuk angkatan perang, 40 persen untuk pemerintah, 10 persen personel dan operasional perkebunan, 10 persen untuk rakyat. Kebijakan yang ditempuh Mayor Isman dalam menjalankan produksi di perkebunan tersebut ialah melaksanakan perubahan yang radikal, semua perkebunan di Blitar diserahkan kepada pengelola semula yakni masyarakat di sekitar perkebunan, kecuali Perkebunan Bendoredjo yang oleh STM (Sub Territorium Militer) Kediri dikembalikan pada HVA (Handels Vereneging Amsterdam) serta langsung berada di bawah pengawasan STC Kediri .
Kebijakan baru yang dilaksanakan oleh pimpinan TRIP Jatim di Blitar adalah masalah pembagian keuntungan antara KDM Blitar dengan rakyat, 60 persen keuntungan adalah bagian rakyat sedangkan TRIP menerima 40 persen hasil perkebunan. Dari perkebunan yang berada dalam penguasaan TRIP bisa dihasilkan 300 ton kopi per musim panen. Kuat dugaan motivasi perubahan kebijakan pengelolaan perkebunan tersebut digunakan untuk operasional pemerintahan militer dan upaya secara bertahap mengembalikan anggota TRIP ke bangku sekolah yang digagas oleh Mayor Isman semenjak selesainya Konperensi Meja Bundar tanggal 2 November 1949 .
Tindakan itulah yang dilihat sebagai ‘memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan’ oleh ‘orang kuat’ Kediri yakni Letkol. Surachmad, komandan Brigade II. Komandan Brigade meminta wilayah Blitar dikembalikan kepada penguasa lama, namun ditolak oleh Mayor Isman, karena menganggap TRIP tidak berada dalam jajaran Brigade II Kediri. Secara umum keberadaan unit pelajar pejuang bersenjata di Jawa langsung berada di bawah Kementerian Pertahanan/Markas Besar Tentara.
Pada perkembangan selanjutnya, dengan adanya program ReRa maka dibentuklah MBKD (Markas Komando Djawa), sehingga unit pelajar pejuang bersenjata tersebut di B/P (Bawah Perintah) masing-masing divisi dan daerah tempat unit pelajar pejuang tersebut bertugas namun dengan otonomi bertindak yang luwes, sehingga Brigade XVII Detasemen I/TRIP Jawa Timur berada di bawah komando taktis serta langsung melapor kepada Komandan Divisi I Kolonel Soengkono .
Pihak Brigade II melihat TRIP sebagai ‘adik’ yang membangkang dan perlu diberi pelajaran, berpegang perintah atasan haram tidak ditaati. Pada lain pihak Mayor Isman berpegang teguh bahwa mereka tidak salah, MBKD tidak mengeluarkan perintah, Gubernur Militer juga tidak berkirim delegasi/surat, itu dianggap hanya ‘akal-akalan’ Surachmad saja untuk mengeruk keuntungan dari perkebunan. Tentu saja Mayor Isman juga punya alasan lain, bahwa kebun tersebut adalah sumber pendanaan bagi persekolahan untuk anggota TRIP serta ‘jaminan pensiun’ ketika didemobilisasi dari tentara.
TRIP menanggapi keras tuntutan Komandan Brigade II tersebut, jalan akses masuk ke Blitar dipasangi barikade dan terhitung tanggal 20 Februari 1950 berlaku jam malam di wilayah Blitar. Menurut pandangan Letkol. Surachmad tindakan tersebut merupakan sebuah pembangkangan atau tindakan indisipliner dan sikap bermusuhan terhadap perintah atasan.
Pada tanggal 22 Februari Brigade II sudah menggerakan satu kompi pasukan ke arah Blitar, namun pasukan-pasukan yang hendak memasuki Blitar tersebut di hadang oleh pos penjagaan TRIP di Srengat. Pasukan menggunakan 4 truk militer, 2 jeep dan sebuah sedan. Unit Brigade II melakukan pengawasan terhadap semua kendaraan bermotor yang menuju wilayah Blitar di Ngujang, Kabupaten Kediri, mereka menahan sebuah bus dan satu unit jeep polisi No. 406.
Pasukan Batalyon Sriti pada tanggal 23 Februari diketahui pada pukul 05.30 berada di sekitar pos penjagaan TRIP di Srengat dan menunjukan sikap memusuhi, kemudian personel yang berjaga segera menyerang, perintah yang diberikan oleh Letkol. Surachmad kepada para komandan batalyonnya ialah snel oppruken (serangan cepat) selesai dalam 3 hari. Disebabkan karena jumlah personel yang tidak berimbang, serangan personel TRIP segera dipatahkan dan 14 orang ditawan oleh Batalyon Sriti, semua senjata yang mereka sandang dilucuti serta sisa pasukan mengundurkan diri ke Kalipucung. Bersamaan dengan kontak tembak di Srengat, pasukan lain dari Brigade II memasuki Blitar dari berbagai arah, personel ODM (Onder Distrik Militer) Ponggok melaporkan terdapat 10 truk yang mengangkut Batalyon Branjangan mendekati wilayah Kota Blitar. Sisa Batalyon Branjangan dingkut 17 truk melintasi Nglegok. Gubernur Militer segera turun tangan dan memerintahkan penghentian tembak menembak antara TRIP dan unit Brigade S .
Pada pukul 06.30 tanggal 24 Pebruari 1950 tembakan senapan mesin berat 12,7 mm terdengar dari arah unit Branjangan menyerang, Blitar di kepung dari tiga poros, yakni arah utara, timur, dan barat. Selama hampir 7 jam Kompi IV TRIP mempertahankan Blitar dengan mengandalkan 75 personel yang mereka miliki, dibantu pasukan dari Kompi III yang berasrama di Lodoyo mulai memasuki Kota Blitar pukul 13.00 dipimpin oleh Kapten Soebiyantoro. Pos penjagaan TRIP di Desa Tawangsari direbut oleh pasukan Branjangan pada pukul 17.00, 4 orang personel ditawan dan senjatanya dilucuti. Hari itu juga Garum, Krisik dan Ngantang berhasil direbut. Kepala Polisi Sadikun berusaha mendamaikan kedua belah pihak namun di tolak oleh TRIP .
Serangan Brigade S yang bertubi-tubi memaksa sisa pasukan TRIP yang bertahan di tengah kota untuk mundur ke Plosokerep dan selanjutnya berjalan kaki ke timur ke jurusan Kanigoro pada tanggal 25 Februari petang hari karena kehabisan amunisi dan ransum. Komandan operasi Batalyon Branjangan, Kapten Soepangkat, mengirimkan surat melalui kurir ditujukan kepada Kapten Ismail Kartasasmita berisi ultimatum dan perintah untuk menyerah, namun TRIP menolak untuk menyerah. Walaupun TRIP telah mengundurkan diri dari dalam kota namun setiap malam personel TRIP masih tetap leluasa bergerak di dalam kota secara diam-diam .
Berdasarkan data yang dihimpun dari Surat Perdana Menteri RI , kontak tembak selama 10 hari tersebut mengakibatkan 4 orang personel Brigade S gugur, 4 orang anggota TRIP luka-luka dan 19 orang warga sipil luka-luka dan meninggal. Unit Brigade S menawan 109 orang anggota TRIP, mereka ditahan di Kediri, bersamaan dengan penawanan anggota TRIP tersebut juga turut ditahan 12 orang warga etnis Tionghoa di Blitar.
Penulis: Hasumi Aditya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar