Rabu, 22 April 2020

Wilujeng nindakake jejibahan pasa Ramadhan



Asal kata Puasa

Sebelum agama Islam masuk ke negara kita, dulu nenek moyang kita juga sudah melakukan puasa lho guys..

Seperti kita ketahui bahwa dulu mayoritas penduduk nusantara adalah beragama Hindu Budha.

Dalam ajaran agama Hindu Budha ada sebuah ritual yang dilakukan dgn tujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Ritual agama tsb bernama UPAVASA.
Upavasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu 'Upa' yang artinya 'Dekat', dan 'Vasa' yang berarti 'Tuhan'.

Dalam terminologi bahasa maksud dari Upavasa adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dalam agama Hindu Budha dgn melakukan Upavasa diyakini sebagai cara untuk mendekatkan diri dgn Tuhan, karena menurut keyakinan tsb segala nafsu dunia yang ada didalam diri seseorang bisa menjauhkannya dari zat yang diyakininya sebagai pemilik kehidupan.

Kata Upavasa pada masyarakat Jawa mengalami perubahan konsonisasi menjadi 'Pasa' yang akhirnya sekarang dalam bahasa Indonesia berubah menjadi 'Puasa'

Ritual Upavasa dalam agama Hindu Budha juga seperti halnya ibadah puasa dalam agama Islam, yaitu ada yang wajib juga ada yang tidak wajib(sunah dalam ajaran Islam).

Ritual Upavasa wajib dalam keyakinan Veda ada yang lebih ekstrim,yaitu dilakukan selama sehari penuh tanpa makan minum dan menghindari hal hal yang menjadi pantangannya.

Sedangkan puasa dalam sudut pandang Kêjawen / Islam Jawa, jangan salah dengan menyatakan Kêjawen merupakan ajaran asli Jawa.

Puasa sejatinya merupakan satu bentuk lelaku bathin demi untuk melatih mengendalikan ‘Napsu Patang Prakara’ (Nafsu Empat Macam) yang perinciannya sebagai berikut :

1.Pertama mengendalikan Napsu Aluwamah (Nafs Lawwamah) yang memiliki kecenderungan bermalas-malasan serta suka mencecap kenikmatan makan minum. Dengan berpuasa, kita berlatih untuk mengendalikan diri dari godaan bermalas-malasan sekaligus berlatih mengendalikan diri menghindari makan serta minum dalam jangka waktu tertentu.

2. Kedua mengendalikan Napsu Supiyah (Nafs Sufiyyah) yang memiliki kecenderungan suka memanjakan diri dengan segala macam keindahan duniawi, baik keindahan yang tertangkap mata, tercium hidung, terdengar telinga juga keindahan dan kenikmatan inderawi yang bisa dicecap oleh badan fisik, termasuk kenikmatan senggama. Dengan berpuasa, kita mencoba mengendalikan diri mengurangi memanjakan panca indera serta mencegah melakukan aktifitas seksual dalam jangka waktu tertentu.

3. Ketiga mengendalikan Napsu Amarah (Nafs Amarrah) yang memiliki kecenderungan iri, dengki, marah, angkara, hasut, benci serta segala bentuk kekerasan baik verbal maupun fisik. Dengan berpuasa, kita mencoba mengendalikan diri untuk mengesampingkan iri, dengki, amarah, berkata-kata kasar sekaligus mencegah melakukan perbuatan kasar secara fisik kepada makhluk lain.

4. Keempat mengendalikan Napsu Mutmainah (Nafsu Muthmainnah) yang memiliki kecenderungan berlebih-lebihan dalam melakukan kegiatan baik, semacam berlebih-lebihan dalam beribadah hanya sekedar ingin dipuji oleh orang lain.

Ketika seseorang memiliki niatan untuk mengendalikan empat macam nafsu seperti tersebut di atas, maka dikatakan orang tersebut tengah menjalani puasa. Yang perlu digaris bawahi, puasa adalah bentuk dari lelaku bathin untuk mengendalikan diri sendiri, bukan mengendalikan sesuatu yang ada di luar diri.

Ketika seseorang tengah menjalani puasa namun malah sibuk meributkan sesuatu yang ada di luar diri, ribut menutup warung, ribut berteriak-teriak sambil memecahi perabotan warung yang masih buka, marah melihat paha yang tidak ditutupi, marah melihat orang lain sedang makan minum di depan mereka yang berpuasa, maka perilaku semacam ini akan mendatangkan satu pertanyaan besar, puasa macam apakah yang tengah dilakukan? Pengendalian diri macam apakah yang tengah dijalani? Mengapa malah ribut dan sibuk menunjuk-nunjuk keluar? Bukankah seharusnya sibuk menunjuk-nunjuk diri sendiri, sibuk mengendalikan diri sendiri demi untuk melunakkan kecenderungan liar dari empat nafsu kita sendiri?

Jika orang yang tengah berpuasa malah menuntut agar semua obyek yang bisa menggoda pengendalian dirinya disingkirkan, dihilangkan, dibuang, maka puasa macam apa yang tengah dilakoni? Bukankah semua obyek yang merangsang dan menggoda bagi orang yang tengah menjalani puasa merupakan godaan dan ujian demi untuk mendadar, mengukur, menggembleng, mencobai seberapa kuat dalam mengendalikan empat nafsu itu sendiri? Jika semua godaan itu dihilangkan, ditiadakan, dihancurkan, dibuang, lantas ujiannya datang dari mana?

Selamat berpuasa bagi saudara muslim semuanya.

Kapethik saking google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar