Jumat, 02 Mei 2014

Mengenal Seni Teater Tradisional Indonesia


Mengenal Seni Teater Tradisional Indonesia

1. Wayang
Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Kesenian wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang/simbol. Kesenian wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, kesenian wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.

Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Medang Kahuripan (1009-1042 M), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya dengan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160 M).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa­yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah per­tunjukan wayang.

Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewa­yangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak (alat musik petik sederhana pada iringan Bedaya). Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita-­cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kesultanan Mataram Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.

Dalang-dalang wayang kulit yang mencapai puncak kejayaan dan melegenda antara lain almarhum Ki Tristuti Rachmadi (Solo), almarhum Ki Narto Sabdo (Semarang, gaya Solo), almarhum Ki Surono (Banjarnegara, gaya Banyumas), Ki Timbul Hadi Prayitno (Yogya), almarhum Ki Hadi Sugito (Kulonprogo, Jogjakarta), Ki Soeparman (gaya Yogya), Ki Anom Suroto, Ki Bayu Aji (gaya Solo), Ki Manteb Sudarsono (gaya Solo), Ki Enthus Susmono (gaya pesisiran), Ki Joko Edan (semarang) Ki Warseno Slenk, Ki Purbo Asmara (solo) Ki Sujiwotejo. Ki Surwedi (gaya Jawatimuran) Sedangkan Pesinden yang legendaris adalah almarhumah Nyi Tjondrolukito.Selama ini wayang yang kita kenal mungkin hanya wayang kulit, golek dan wayang orang, meski sebenarnya ternyata ada bermacam-macam jenis wayang, diantaranya yaitu: 
  1. Wayang purwa / kulit : wayang yang terbuat dari kulit binatang. Bercerita tentang kisah Mahabaratha dan Ramayana. Ada beberapa gaya yaitu : gaya Jawa Timuran, Surakarta, Jogjakarta, Cirebon, dan Pesisiran (banyumasan)
  2. Wayang wong / orang : wayang yang tokoh-tokohnya dimainkan oleh orang / manusia. Kisahnya tentang Mahabarata dan Ramayana.
  3. Wayang golek ”pasundan” : wayang yang terbuat dari kayu. Alur cerita Mahabaratha dan Ramayana.
  4. Wayang golek ”Brebes Tegal” : wayang yang terbuat dari kayu menyerupai manusia. Alur cerita mengenai Babad (seperti ketoprak)
  5. Wayang suluh : wayang yang terbuat dari kulit binatang menyerupai manusia. Alur cerita mengenai kehidupan manusia.(berupa nasihat-nasihat/penyuluhan) 
  6. Wayang beber : wayang yang berwujud gambar jejeran, terbuat dari kertas tebal/mori. Selain Mahabarata juga bercerita tentang Raden Panji inu kertapati dan Dewi sekartaji, masih dipertunjukan pada acara tertentu di Pacitan dan Gunung Kidul
  7. Wayang wahyu : wayang terbuat dari kulit binatang, menyerupai manusia. Alur cerita tentang penerangan agama (katholik) 
  8. Wayang menak : wayang terbuat dari kayu, dibuat menyerupai manusia. Cerita tentang wong agung, umarmaya, umarmadi (dakwah agama islam)
  9. Wayang krucil : wayang terbuat dari kulit berukuran kecil dengan satu yang bisa digerakkan, satu tangan lagi permanen bertolak pinggang (tidak bisa digerakkan). Cerita : Babad.
  10. Wayang madya : wayang terbuat dari kulit binatang, sewaktu jaman kerajaan Demak. cerita : Mahabarata.
  11. Wayang potehi : wayang berwujud boneka kecil. Cerita tentang Jaman kerajaan Tartar (babad china)
  12. Wayang jemblung : wayang terbuat dari kayu, menyerupai manusia, tersebar di daerah pesisir utara pulau jawa, blora, cepu. Cerita tentang babad (ketoprak)
  13. Wayang klithik : terbuat dari kayu pipih, cerita panji, damarwulan , Jawa timur, Jawa tengah
  14. Wayang thengul: asli dari daerah Bojonegoro, cerita panji, cerita menak
  15. Wayang Jekdong : wayang kulit gaya Jawa Timuran
  16. Wayang Bali : cerita-cerita Mahabarata dan Ramayana 
  17. Wayang Sasak (suku sasak) Lombok
2. Makyong
Makyong adalah seni theater tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang masih digemari dan sering dipertunjukkan sebagai dramatari dalam forum internasional. Makyong dipengaruhi oleh budaya Hindu-Buddha Thai dan Hindu-Jawa. Nama makyong berasal dari mak hyang, nama lain untuk dewi sri, dewi padi. Makyong adalah theater tradisional yang berasal dari Pulau Bintan, Riau. Makyong berasal dari kesenian istana sekitar abad ke-19 sampai tahun 1930-an. Makyong dilakukan pada siang hari atau malam hari. Lama pementasan ± tiga jam

3. Drama Gong
Drama Gong adalah sebuah bentuk seni pertunjukan Bali yang masih relatif muda usianya yang diciptakan dengan jalan memadukan unsur-unsur drama modern (non tradisional Bali) dengan unsur-unsur kesenian tradisional Bali. Dalam banyak hal Drama Gong merupakan pencampuran dari unsur-unsur theater modern (Barat) dengan theater tradisional (Bali). Karena dominasi dan pengaruh kesenian klasik atau tradisional Bali masih begitu kuat, maka semula Drama Gong disebut "drama klasik". Nama Drama Gong diberikan kepada kesenian ini oleh karena dalam pementasannya setiap gerak pemain serta peralihan suasana dramatik diiringi oleh gamelan Gong (Gong Kebyar). Drama Gong diciptakan sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung Gede Raka Payadnya dari desa Abianbase (Gianyar).
Drama Gong mulai berkembang di Bali sekitar tahun 1967 dan puncak kejayaannya adalah tahun1970. Namun semenjak pertengahan tahun 1980 kesenian ini mulai menurun popularitasnya, sekarang ini ada sekitar 6 buah Drama Gong yang masih aktif.

4. Randai
Randai adalah kesenian (theater) khas masyarakat Minangkabau, Sumatra Barat yang dimainkan oleh beberapa orang (berkelompok atau beregu). Randai dapat diartikan sebagai “bersenang-senang sambil membentuk lingkaran” karena memang pemainnya berdiri dalam sebuah lingkaran besar bergaris tengah yang panjangnya lima sampai delapan meter. Cerita dalam randai, selalu mengangkat cerita rakyat Minangkabau, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Konon kabarnya, randai pertama kali dimainkan oleh masyarakat Pariangan, Padang Panjang, ketika mereka berhasil menangkap rusa yang keluar dari laut. Kesenian randai sudah dipentaskan di beberapa tempat di Indonesia dan bahkan dunia. Bahkan randai dalam versi bahasa Inggris sudah pernah dipentaskan oleh sekelompok mahasiswa di University of Hawaii, Amerika Serikat. Kesenian randai yang kaya dengan nilai etika dan estetika adat Minangkabau ini, merupakan hasil penggabungan dari beberapa macam seni, seperti: drama (theater), seni musik, tari dan pencak silat.

5. Mamanda
Mamanda adalah seni theater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup. Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri). Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan. Asal muasal Mamanda adalah kesenian Badamuluk yang dibawa rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka tahun 1897. Dulunya di Kalimantan Selatan bernama Komedi Indra Bangsawan. Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk. Kesenian ini hingga saat ini lebih dikenal dengan sebutan mamanda. Bermula dari kedatangan rombongan bangsawan Malaka (1897 M) yang dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa di Tanah Banjar, kesenian ini dipopulerkan dan disambut hangat oleh masyarakat Banjar. Setelah beradaptasi, theater ini melahirkan sebuah theater baru bernama "Mamanda".
Seni drama tradisional Mamanda ini sangat populer di kalangan masyarakat kalimantan pada umumnya 

6. Longser
Longser merupakan salah satu bentuk theater tradisional masyarakat sunda, Jawa barat. Longser berasal dari akronim kata melong (melihat dengan kekaguman) dan seredet (tergugah) yang artinya barang siapa yang melihat pertunjukan longser, maka hatinya akan tergugah. Longser yang penekanannya pada tarian disebut ogel atau doger. Sebelum longser lahir dan berkembang, terdapat bentuk theater tradisional yang disebut lengger. Busana yang dipakai untuk kesenian ini sederhana tapi mencolok dari segi warnanya terutama busana yang dipakai oleh ronggeng. Biasanya seorang ronggeng memakai kebaya dan kain samping batik. Sementara, untuk lelaki memakai baju kampret dengan celana sontog dan ikat kepala.

7. Ketoprak
Ketoprak merupakan theater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian yang sangat merakyat. Kata ‘kethoprak’ berasal dari nama alat yaitu Tiprak. Kata Tiprak ini bermula dari prak. Karena bunyi tiprak adalah prak, prak, prak. Serat Pustaka Raja Purwa jilid II tulisan pujangga R. Ng. Rangga Warsita dalam bukunya Kolfbunning tahun 1923 menyatakan “… Tetabuhan ingkang nama kethoprak tegesipun kothekan” ini berarti kethoprak berasal dari bunyi prak, walaupun awalnya bermula dari alat bernama tiprak. Kethoprak juga berasal dari kothekan atau gejogan. Alat bunyi-bunyian yang berupa lesung oleh pencipta kethoprak ditambah kendang dan seruling. Ketoprak merupakan salah satu bentuk theater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggahungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu: Bahasa Jawa biasa (sehari-hari), Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi), Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi). Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kethoprak adalah seni pertunjukan theater atau drama yang sederhana yang meliputi unsur tradisi jawa, baik struktur lakon, dialog, busana rias, maupun bunyi-bunyian musik tradisional yang dipertunjukan oleh rakyat. Lakon-lakon ketoprak yang populer adalah serial Kamandaka, Anglingdarma, Syekh Jangkung, Manggalayudha Sudiro, Damarwulan, Maesa jenar, Harya Penangsang leno, lakon bernafaskan Agama serial syeh Jangkung dll. Sedangkan paguyuban ketoprak yang melegenda adalah ketoprak Mataram Sapta Mandala, Siswo Budoyo dari Tulungagung.

8. Ludruk
Ludruk merupakan salah satu kesenian Jawa Timuran yang cukup terkenal, yakni seni panggung yang umumnya seluruh pemainnya adalah laki-laki. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari (cerita wong cilik), cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik. Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski kadang-kadang ada bintang tamu dari daerah lain seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan non intelek (tukang becak, peronda, sopir angkutan umum, dll). Pemain-pemain Ludruk yang populer diantaranya, Cak Kartolo, Cak Sapari, Cak Sidik, Cak Kancil, Cak Agus Kuprit, Cak Markeso dll. Lakon ludruk yang populer diantaranya Sarip Tambakyoso, Sakerah, Suminten edan, Joko berek, Sawung galing, Branjang Kawat, Trunojoyo dll. 

9. Lenong
Lenong adalah seni pertunjukan theater tradisional masyarakat Betawi, Jakarta. Lenong berasal dari nama salah seorang Saudagar China yang bernama Lien Ong. Konon, dahulu Lien Ong lah yang sering memanggil dan menggelar pertunjukan theater yang kini disebut Lenong untuk menghibur masyarakat dan khususnya dirinya beserta keluarganya. Pada zaman dahulu (zaman penjajahan), lenong biasa dimainkan oleh masyarakat sebagai bentuk apresiasi penentangan terhadap tirani penjajah. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti "komedi bangsawan" dan "theater stambul" yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses theaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.
Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.

10. Janger, Banyuwangi
Keunikannya di seni janger banyuwangi ini adalah perpaduan seni Bali, Osing, dan Jawa. Dari musik yang mengiringinya adalah Musik Bali (gamelan Bali), sedangkan dalam pementasannya di selingi dengan lagu-lagu dan cerita, serta tarian dari bali dan banyuwangi. Dari segi musik pengiring dalam pementasan, terdapat kolaborasi yang sangat indah dan unik sekali. Dalm pagelarannya kadang tiba-tiba musik Bali itu di sisipi dengan warna musik banyuwangi.Namun dalam alur cerita selalu di iringi dengan Gamelan bali,.Saat menyanyi di iringi musik banyuwangi. Dalam cerita, janger membawakan cerita babad, legenda, mahabarata, bahkan cerita karangan sendiri. Unik memang, karena kalau ditelusuri ada beberapa unsur yang terkandung di dalamnya. Yaitu, unsur Banyuwangi, unsur Bali, Unsur Surabaya/ludruk, Unsur Jawa Tengah/ketoprak. Begitu lengkapnya kesenian ini.

10. Wayang Orang
Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut. Wayang orang diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731. Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali pemain wayang orang ini diubah/dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan. Pertunjukan wayang orang yang masih ada saat ini, salah satunya adalah wayang orang Barata (di kawasan Pasar Senen, Jakarta), Taman Mini Indonesia Indah, Taman Sriwedari Solo, Taman Budaya Raden Saleh Semarang.

dirangkum dari berbagai sumber



Tidak ada komentar:

Posting Komentar