Selasa, 06 Juli 2010

Perdikan Kuncen, Seni Dongkrek dan Rumah Palang Caruban, Madiun


Masjid Kyai Ageng Anom Besari (Kyai Ageng Grabahan), Makam Kuncen, Caruban

 Sejarah berdirinya Tanah Perdikan Kuncen, Caruban
Istilah Caruban , berasal dari kata carub yang berarti campur, dahulu ada suatu tempat berkumpulnya para pejabat,bangsawan, rakyat jelata, dan para priyayi untuk keperluan adu jago, tempat ini kemudian disebut caruban. Majalah Altona menerangkan , bahwa pada masa kekuasaan Hindu Jawa yang berpusat di Ngurawan (Dolopo sekarang), ada sederet perkampungan untuk menempatkan para penjahat, pemberontak dan para tahanan politik di pisahkan dari tempat tinggal dan lingkungannya, orang-orang ini di beri tugas menanam pohon jati. Tetapi hipotesa ini kurang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Yang jelas Desa-desa di Caruban merupakan desa-desa tua, karena itu sudah sepantasnya Caruban pernah menjadi ibukota kabupaten pada masa Kerajaan Mataram Islam. Dan bahkan sekarang mulai dirintis menjadi ibukota Pemerintah Kabupaten Madiun, setelah adanya perluasan wilayah Pemerintah Kota Madiun.

Pada masa perang Trunojoyo, Caruban untuk pertama kalinya di lalui pasukan kompeni Belanda  bersama prajurit Mataram di bawah  Jendral Anthoni Hurd dengan 214 tentara Belanda dan 1.000 prajurit Mataram. Pada 05 Oktober 1678 mereka melintasi Caruban dari penyerangan di Desa Kajang, Kec. Sawahan, menuju wilayah Kediri untuk mengejar pasukan Trunojoyo.

Pada masa perang Suropati pada tahun 1684 dan masa perebutan tahta kerajaan Mataram, Kartasura antara Sunan Mas dengan Pangeran Puger pamannya, rakyat Caruban besar andilnya  dalam ikut berjuang melawan tentara Kompeni (VOC) salah satunya di bawah pimpinan Demang Tampingan yang bergabung dengan Pangeran Mangkunegoro IV Wedono Bupati Mancanegara Timur, Madiun.

Desa Krajan merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Caruban, Kemungkinan Bupati pertama dijabat oleh Raden Cokrokusumo I atau disebut Tumenggung Alap-alap. Ia semula pejabat tinggi di Demak, Beliau adalah putra sulung Raden Pecat Tondo II,  Raden Pecat Tondo I adalah Adipati Terung, ini merupakan wilayah bekas Kerajaan Majapahit yang terakhir. Bupati kedua adalah Raden Cokrokusumo II sering disebut Tumenggung Emprit Gantil, kemudian bertahta Raden Tumenggung Notosari. Raden Tumenggung Notosari adalah putra dari Bupati Jipang yang bergelar Raden Tumenggung Purwowijoyo. Beliau adalah putra Paku Buwono I dari selir, jadi Bupati Notosari  adalah cucu raja besar Mataram.

Dari perintah Bupati Notosari inilah kemudian salah satu desa di Caruban yaitu Desa Kuncen yang terletak di selatan Desa Sidodadi menjadi Desa Perdikan sebagai tempat makam Bupati Caruban beserta kerabatnya. Bupati Notosari sebelum bertahta di Caruban merupakan salah satu bangsawan di istana Kartasura. Setelah wafat , beliau di makamkan di makam Kuncen Caruban, dengan biaya pemakaman dari Kartasura. Selain Bupati Notosari, di Kuncen Caruban juga dimakamkan para kerabat dan pengikut-pengikut setianya.

Sebagai Desa Perdikan, Desa Kuncen, Caruban dibebaskan dari pajak dan diberi otonomi seluasnya, dengan tanggungjawab merawat makam para Bupati Caruban, beserta kerabatnya. Piagam tentang kemerdekaan desa ini masih ada, yang menunjukkan tahun Wawu 1627 saka atau tahun 1705 Masehi, oleh Sunan Paku Buwono I.

Bupati berikutnya adalah Raden Tumenggung Wignyosubroto, putra bupati sebelumnya, memindahkan ibukota Caruban ke pusat Kota Caruban sekarang atau disebut Desa Tompowijayan atau Bangunsari sekarang.

Bupati terakhir adalah Raden Tumenggung Djayengrono, putra Bupati Ponorogo yang bernama Pangeran Pedaten. Beliau kawin dengan putri Bupati Mangkudipuro yang dipindahkan oleh Hamengku Buwono I dari Wedono Bupati di Madiun menjadi Bupati kecil di Caruban, karena dianggap tidak tunduk pada perjanjian pemerintahan Jogjakarta setelah adanya perjanjian Gianti. Wedono Bupati di Madiun di berikan kepada panglima perang Kesultanan Jogjakarta, yaitu Ronggo Prawirosentiko setelah menjadi bupati bergelar Ronggo Prawirodirjo I.

Jadi Desa Kuncen Caruban ditetapkan sebagai tanah perdikan karena merupakan tempat peristirahatan terakhir para bangsawan dari Kasunanan Mataram Kartasura. Para Bupati Caruban dan kerabatnya yang dimakamkan di pemakamam Kuncen Caruban, antara lain, Pangeran Mangkudipuro Bupati Madiun ke 13, Raden Cokorokusumo I, Raden Cokorokusumo II, Raden Tumenggung Notosari, Raden Tumenggung Wignyosubroto, dan Raden Tumenggung Djayengrono.

Sumber : Buku Sejarah Kabupaten Madiun, 1980
Foto : Kompas Madya
Pintu Gerbang Makam Kuncen, Caruban
Masuk Pendopo Makam Kuncen, Caruban
Makam Kuncen, Caruban
Prasasti yang sengaja ditanam di salah satu cungkup (cungkup prajurit2 Mataram) Makam Kuncen, Caruban

 inskripsi pada nisan: R.Ng. Mangkudipura pensiun Wadana Bulu, Magetan seda ing dinten Setu Pon 25 jumadilawal, Be, 1824 utawi 24 Nov 1894 /yuswa 88


Masjid Kyai Anom Besari sebelum direhab 


RUMAH PALANG , CIKAL BAKAL SENI DONGKREK

Rumah Ndoro Palang Mejayan, sebagai cagar budaya

Palang mempunyai makna persimpangan atau juga penghalang. Jabatan ini sama halnya dengan kebayan sebagai perantara antara Lurah dengan rakyatnya. Jabatan palang muncul ketika sejak era mancanegara sampai masa culturstelsel /tanam paksa berlangsung sebagai perantara lurah dengan para priyayi dan penguasa Belanda, palang pada umumnya adalah seorang lurah yang memiliki pengaruh dikalangan lurah-lurah lainnya, namun juga memiliki hubungan kekerabatan dengan bupati atau priyayi lainnya. Selain memiliki tanah bengkok di desanya sendiri, juga memiliki tanah di desa lain, dimana ia berpengaruh dan di akui.
Belanda umumnya tidak menyukai keberadaan palang, karena dianggap melemahkan kedudukan lurah, bahkan penduduk sering melihat palang sebagai orang penting hingga berurusan langsung tanpa melewati lurah. Sampai taraf tertentu palang mengendalikan politik pedesaan dan wilayah lainnya.
Palang berfungsi dengan baik di madiun pada era mancanegara dan posisi ini tetap dipertahankan pada masa kolonialisme. Pada 1870 dengan berakhirnya sistem tanam paksa, belanda mulai menciptakan hierarki baru dan secara resmi menghapus fungsi "palang" secara halus kepada semua pejabat untuk mengkosongkan jabatan ini. (Madiun dalam kemelut sejarah)


Dongkrek. Nama kesenian ini tentunya tak asing bagi penduduk asli Madiun dan sekitarnya. Ini adalah perpaduan antara seni musik dan gerak tari asli produk Kabupaten Madiun. "Derajat"-nya sebenarnya sama dengan Reog di Ponorogo. Tapi karena kurang publikasi dan pembinaan, kesenian ini terkesan tenggelam dan "kalah pangkat" dari kesenian tetangga selatan, Ponorogo.

Sebenarnya bagaimanakah dongkrek lahir, seperti apa jejak sejarahnya, dan bagaimana perkembangannya?

Seni dongkrek lahir sekitar tahun 1867 di wilayah Caruban, yang saat ini namanya berganti menjadi Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun. Kesenian itu lahir di masa kepemimpinan Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro yang menjadi Demang (jabatan setingkat kepala Desa) yang membawahi lima Desa.

Dongkrek dipopulerkan tahun 1910 oleh Raden Bei Lo Prawirodipura, seorang palang di daerah Caruban. Seni musik tradisional ini punya banyak versi, dari Madiun selatan, dari Takeran (Kabupaten Magetan), sampai dari Ngawi juga ada. Semua versi itu untuk kebaikan, filosofinya untuk tolak bala dan mengandung pesan bahwa kebaikan mengalahkan kebathilan .

Soal filosofi seni Dongkrek ini, dulu rakyat Mejayan terkena wabah penyakit. Ketika siang sakit, sore hari meninggal, atau pagi sakit malam hari meninggal dunia. Raden Prawirodipuro sebagai pemimpin Caruban mencoba merenungkan metode atau solusi penyelesaian atas wabah penyakit yang menimpa rakyatnya.

Setelah melalui renungan, meditasi, dan bertapa di gunung kidul Caruban, dia mendapatkan wangsit untuk membuat semacam tarian atau kesenian yang bisa mengusir bala tersebut.

Dalam cerita tersebut, wangsit menggambarkan para punggawa kerajaan roh halus atau pasukan genderuwo menyerang penduduk Caruban dapat diusir dengan menggiring mereka keluar dari wilayah Caruban. Maka dibuatlah semacam kesenian yang melukiskan fragmentasi pengusiran roh halus, yang membawa pagebluk tersebut. Demikian riwayat singkat perjalanan dari kesenian Dongkrek sendiri.

Dongkrek hanya mengalami masa kejayaan antara 1867 - 1902. Setelah itu, perkembangannya mengalami pasang surut seiring pergantian kondisi politik di Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda, Dongkrek sempat dilarang oleh pemerintahan Belanda untuk dipertontonkan dan dijadikan pertunjukan kesenian rakyat. Saat masa kejayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, kesenian ini dikesankan sebagai kesenian "genjer-genjer" yang dikembangkan PKI untuk memperdaya masyarakat umum. Sehingga kesenian Dongkrek mengalami masa pasang surut akibat imbas politik.

Tahun 1973, Dongkrek digali dan dikembangkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun dan Propinsi Jawa Timur. Tahun 1980 diadakan garap tari oleh Suwondo, Kepala Seksi Kebudayaan Dinas P dan K Kabupaten Madiun. Tapi semakin lama Dongkrek ini semakin tenggelam, jadi tak terkenal. Pada tahun 1996 Pemerintah Kabupaten Madiun pernah melaksanakan Festival Dongkrek di tingkat Kabupaten dengan hasil yang menggembirakan, dan baru tahun 2002 Dongkrek mengikuti festival-festival ke luar Madiun, termasuk ke Festival Cak Durasim, Surabaya. Bahkan sampai tampil di Istana Negara.

Nah, dengan mempertimbangkan peran dan posisi Dongkrek ini, sepertinya kita semua perlu, bahkan wajib, untuk ikut mendongkraknya, sejajar dengan Reog di Ponorogo. (iwo)
sumber artikel: www.adakita.com

peninggalan purbakala yg tersimpan di rumah palang
batu batu purbakala



Sumber Foto : Kompas Madya

3 komentar:

  1. salam mas, saya warga madiun dari desa Purowrejo kecamatan geger, kalau boleh tahu piagam perdikan Kuncen dman nggeh sekarang posisinya?

    BalasHapus
  2. Dulu di dukuh bangkal desa tulungrejo kab.Madiun ada makam mbah lurah palang tapi sekarang hilang tertumpuk makam2 baru.

    BalasHapus
  3. selamat pagi . saya cicit dari Raden Tumenggung Notosari. apakah disini ada yg merasa bagian keluarga atau trah dari Raden Tumenggung Notosari ? jika ya bisa email ke denny_hadian_firmanto@yahoo.com

    salam
    denny

    BalasHapus