Kyai Ageng Reksogati, cikal bakal Kabupaten Madiun
Kyai Ageng Reksogati Cikal
Bakal Berdirinya Pemerintahan Kabupaten Madiun
Kyai Ageng Reksogati adalah
seorang tokoh ulama yang diutus Kesultanan Demak sebagai penyebar agama Islam
dan juga sebagai wakil sultan Demak di wilayah Purabaya, dalam misi
keagamaannya beliau mendirikan sebuah pondok pesantren diwilayah karang
pradesan Purabaya yang sekarang disebut Sogaten, maka tidak salah jika Kyai
Reksogati dianggap sebagai tokoh yang babat desa Sogaten bahkan beliau diakui
oleh masyarakat dan pemerintah Madiun sebagai cikal bakal pemerintahan
Kabupaten Purabaya yang kemudian berganti nama menjadi Madiun sampai sekarang.
Petilasan Kyai Ageng Reksogati berada di Makam umum “Sitinggil”
Kelurahan Sogaten, yaitu berupa Batu-batu umpak yang berjumlah 15 buah dan beberapa sudah dijadikan pondasi gerbang makam, lingga yoni, makam Kyai/Nyai Reksogati berada di Makam umum desa Sidomulyo. Di
sekitar 2 desa ini dulu sering ditemukan artefak berupa gerabah,uang kuno, peralatan rumah tangga, perhiasan emas, perak
dan penemuan-penemuan pubakala lainnya.
Dalam sejarahnya tahun 1478 M dianggap sebagai masa runtuhnya Majapahit dan
awal kejayaan Kesultanan Demak. Berdasarkan buku “Sejarah Kabupaten Madiun”
tahun 1980, diwilayah (red:Madiun selatan) berdiri Kadipaten Gegelang, yang dipimpin oleh Raden
Adipati Gugur yaitu putra/menantu Prabu Brawijaya dari Majapahit. Raden Adipati Gugur
memperistri putri Gelang dan mempunyai putri yang cantik jelita yaitu Raden Ayu
Rara Lembah.
Setelah surutnya Majapahit, Sultan Demak ( red: Raden Patah)
berusaha memperluas kekuasaannya atas bekas wilayah Majapahit di daerah
timur, termasuk Kadipaten Gegelang, dengan dipersuntingnya Raden Ayu Rara Lembah,
putri Gegelang oleh Pangeran Surya Pati Unus , maka misi penyebaran Agama
Islam dan menguasai wilayah Gegelang kiranya sudah tercapai, kemudian Surya
Pati Unus menggantikan tahta Raden
Adipati Gugur (versi tutur) beliau memilih lengser keprabon, menjadi pertapa dan akhirnya
muksa dilereng gunung lawu.
Dibawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana. Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto
Dibawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana. Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto
Dalam upaya menyebarkan agama Islam, Pangeran Surya Pati Unus
mengganti menggeser areal pusat kerajaan ke utara yaitu di wilayah pinggir bengawan Solo
(red:Sogaten) Beliau berkuasa di
Purabaya sampai tahun 1518
Tahun 1518 Pangeran Surya Pati Unus harus kembali ke Demak untuk mewarisi
tahta Kesultanan Demak hingga pada tahun 1521 M, Pangeran Surya Pati Unus gugur
saat memimpin pasukan Demak dalam menyerang Portugis di Malaka, hingga beliau
mendapat julukan Pangeran Sabrang Lor. Saat kembali ke
Demak diutuslah Kyai Ageng Reksogati untuk mengawasi dan menyebarkan Agama Islam di
wilayah Purabaya, selain beliau mendirikan pesantren juga sebagai pemimpin di
wilayah tersebut. maka Kyai Ageng Reksogati inilah yang dianggap sebagai cikal
bakal berdirinya Kabupaten Madiun.
Pangeran Timur putra
bungsu Sultan Trenggono di Demak dilantik menjadi Adipati Purabaya bersamaan
dengan dilantiknya Hadiwijoyo (red: Karebet/Joko Tingkir) oleh para wali
sebagai Sultan Pajang tanggal 18 Juli 1568, pemerintahan berpusat
di Desa Sogaten, Sidomulyo dan sekitarnya. Sejak saat itu secara yuridis formal
Kadipaten Purabaya menjadi suatu wilayah pemerintahan di bawah Kasultanan
Pajang sebagai penerus Demak.
Pada tahun 1575 pusat pemerintahan dipindahkan dari
Sogaten ke Desa Wonorejo (sekarang Kuncen) yang letaknya lebih strategis karena
diapit 2 sungai yaitu Kali Catur dan Nggandong, sampai tahun 1590.
Pada tahun 1586 Kesultanan Pajang Runtuh akibat
adanya konflik internal dan serangan dari Mataram, maka Panembahan Rama
(sebutan lain pangeran Timur) menyatakan bahwa Purabaya adalah kadipaten
bebas yang tidak terikat dengan hierarki Mataram, dengan tidak tunduknya
Purabaya pada Panembahan Senopati, maka Mataram segera mengirim ekspedisi
militer untuk menaklukan Purabaya sebagai
Kadipaten Wedana Mancanegara Timur (Brang wetan), tahun 1586 dan 1587.
Dalam ekspedisi tersebut
prajurit Mataram selalu menderita kekalahan yang cukup berat. Prajurit Purabaya
dan sekutu dipimpin oleh salah seorang
prajurit wanita, yaitu Raden Ayu Retno Djumilah. Panembahan
Rama dan Retno Djumilah memimpin seluruh prajurit gabungan Kadipaten
Mancanegara Timur diantaranya, Kadipaten Surabaya, Pasuruan, Kediri, Panaraga,
Kedu, Brebek, Pakis, Kertosono, Ngrowo, Blitar, Trenggalek, Tulung, Jogorogo
dan Caruban.
Pada tahun 1590, dengan berpura-pura menyatakan
takluk dalam versi lain atas saran Ki Mandaraka (Ki Juru Mertani)
Panembahan Senopati mengutus seorang dayang cantik jelita bernama Nyai Adisara
untuk menyatakan kekalahan dengan membawa surat takluk dan sebagai tanda, Nyai
Adisara membasuh kaki Panembahan Rama yang airnya nanti digunakan untuk siram
jamas Panembahan Senopati, hal ini membuat Pasukan Purabaya dan sekutunya
terlena, maka pasukan sekutu berangsur-angsur pulang ke daerahnya
masing-masing.
Dengan ahli strategi Ki Juru Mertani yang
didukung 4000 prajurit Mataram telah siap di barat Kali Madiun
untuk menyerang pusat istana Kadipaten Purabaya, terjadilah perang hebat,
hingga pada sore hari prajurit Madiun kalah dan banyak yang melarikan diri ke
timur, tinggalah Raden Ayu Retno Djumilah yang ditugaskan untuk mempertahankan
Purabaya, dengan di bekali pusaka Keris Kala Gumarang dan sejumlah kecil
prajurit yang tersisa, Retno Djumilah Madeg Senopati Perang. Perang tanding
terjadi antara Sutawijaya dengan Raden Ayu Retno Djumilah terjadi disekitar sendang di dekat istana Wonorejo
(daerah Kuncen, Demangan)
Pusaka Keris Kala Gumarang berhasil direbut oleh Sutawijaya dan melalui
bujuk rayunya, Raden Ayu Retno Djumilah dipersunting oleh Sutawijaya kemudian
diboyong ke istana Mataram.
Sumber : Buku “Sejarah Kab. Madiun”
tahun 1980 , Buku “Sejarah Kuncen” , Buku “Mitos dan Sejarah Ngurawan”
Makam Kyai Reksogati, di makam umum Desa Sidomulyo
Makam Kyai Reksogati, di makam umum Desa Sidomulyo
Makam Nyai Reksogati, di makam umum Desa Sidomulyo
Sedang memeriksa batu bata kuno ukuran besar
Batu Umpak di sitinggil, makam umum Kel. Sogaten
Batu Umpak : batu penyangga pilar pendopo/rumah/pondok Reksogati
Sitinggil : penyebutan masyarakat Sogaten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar