Minggu, 16 Desember 2018

Haul Ronggo Prawirodirjo III


Haul Ronggo Prawirodirjo III Ahad,16 Desember 2018 

Haul Ronggo Prawirodirjo III
(17-12-1810 s.d. 17-12-2018)

Kegiatan ini di inisiasi oleh komunitas Pelestari Sejarah Madiun Historia van Madioen / Kompas Madya bersinergi dengan komunitas-komunitas lain yang konsen terhadap pemajuan sejarah dan kebudayaan di Madiun dan sekitarnya, yaitu Wukir Mahendra, Lesbumi NU Kota Madiun, Lesbumi Nu Kab Magetan, ABDI Maospati, KNPI, TPID Kab Magetan, Perwakilan Pemdes Giripurno  juga di hadiri perwkilan Pemkab Madiun bapak Temu Sugina dari Bidang Kebudayaan Kab Madiun. 

Kegiatan diawali oleh pembacaan sejarah Ronggo III, yang diambil dari artikel Sejarahwan Peter Carey dilanjutkan Tahlil bersama yang dipimpin oleh pemuka agama setempat Bapak Kyai Maksudi. Makan nasi tumpeng bersama yang telah disediakan oleh Juru Kunci Bapak Yono beserta istri.

Acara selanjutnya sarasehan, yang diawali pengkisahan sejarah oleh Pak Kyai Maksudi dimana diceritakan Ratu Kadipaten Maospati GKR Maduretno di makamkan di Ngrancang Kencono Gunung bancak. Menurut legenda gunung bancak berasal dari potongan puncak gunung lawu. Konon bata yang digunakan untuk membangun cungkup di bawa dari Kadipaten Maospati dengan cara di gotong jangan sampai jatuh, bata yang jatuh akan menjadikan tanah wingit. Dulu sebelum ditetapkan desa perdikan masyarakat disini masih menganut kepecayaan Budo /wong budo tentunya awalnya terjadi beberapa konflik. 

Kekeramatan dari sarean ratu Maduretno ini juga mendapat  perhatian atau penghormatan  dari instansi Lanud Iswahyudi, Maospati, ini terbukti setiap tahun juga mengadakan acara menghormati leluhur dengan ziarah dan doa di sarean gunung bancak, konon ada mitos bahwa pesawat terbang dilarang keras untuk terbang diatas Sarean gunung Bancak, biasanya menghindari gunung Bancak. 

Pada tahun 1957 makam Ronggo Prawirodirjo III (suami GKR Maduretno), dipindah dari Banyu sumurup untuk disandingkan dengan Kanjeng ratu Madu Retno di Gunung Bancak setelah disemayamkan di Masjid Taman di bawa ke Gunung Bancak, sampai dusun Soca peti di angkat dengan cara berantai sampai ke sarean ratu ngraancang Kencono Gunung Bancak.

Dalam sarasehan yang di pandu oleh Mbak Widya, setelah saling memperkenalkan diri dilanjutkan saling sharing menyamakan visi terkait pentingnya nguri-uri tinggalan para leluhur agar generasi muda tidak kehilangan identitas jati diri sebagai penerus perjuangan  para leluhur bangsa.

Dalam sarasehan ini juga memunculkan keinginan masyarakat Madiun untuk mengusulkan tokoh Ronggo Prawirodirjo III sebagai pahlawan nasional, yang sebelumnya sudah ditetapkan oleh Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pahlawan perintis  Kemerdekaan Republik Indonesia, hal ini juga menindaklanjuti keinginan Bupati Madiun Bapak Muhtarom saat bedah buku Sejarah Madiun tahun 2017. Diawali dari  beberapa komunitas diharapkan hal ini bukan sekedar wacana namun segera di tindaklanjuti dengan kegiatan dan usaha yang bisa mendorong agar pengusulan Ronggo Prawirodirjo III segera terlaksana.


RADEN RONGGO PRAWIRODIRJO III

Putra Raden Mangundirjo (Ronggo II), Cucu Gegedug Sukowati/Panglima setia P. Mangkubumi yaitu Raden Wirosentiko, Diangkat sebagai Bupati Wedono Brangwetan di Madiun, mengepalai 14 bupati bawahan, dijanjikan oleh P. Mangkubumi (Sultan HB I) karena besar jasanya terhadap Kasultanan Jogjakarta  akan menyayangi dan melindungi trah Wirosentiko.

Bupati Ronggo Prawirodirjo III (1797-1810) , menantu HB II, salah satu penasehat Sultan Jogjakarta , saat mbalelo mengangkat dirinya sbg Susuhunan ing Alogo. Taat beragama, berwatak keras, sedikit temperamen, namun berhati lembut, sangat anti pada Belanda.

Saat Ronggo III menjadi bupati Madiun, terjadi perubahan politik, yaitu runtuhnya VOC tahun 1800 berganti Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dan kekalahan Belanda oleh Perancis, hingga Herman Willem Daendels menjadi Gub. Jendral di Hindia Belanda.

Istri tercinta GKR Maduretno, sedo konduran 16 November 1809 di makamkan di Ngrancang Kencono Gunung Bancak, dimana beliau berguru pada Kyai Kaliyah.  Kesedihan yang amat dalam dialami oleh Ronggo Prawirodirjo III, hingga beliau sering tak dapat mengendalikan diri, dan sering memandang puncak Gunung Bancak seolah ingin menemani sang istri tercinta, sehidup dan semati.

Sebuah kejadian yang membuat Ronggo Prawirodirjo III tersudutkan, ketika perjalanan ke Negara Gung Jogjakarta, di wilayah Delanggu, putra Ronggo mengiginkan seekor kambing cantik yang sedang digembala, karena tidak boleh dibeli dengan harga berapapun, Ronggo Prawirodirjo III kilaf si gembala terbunuh, hal ini  menjadi perbincangan hangat di Kraton Jogjakarta dan Surakarta. Juga memperkuat tuduhan bahwa Ronggo Prawirodirjo III mendalangi beberapa perlawanan di wilayah Karesidenan Pekalongan, Semarang, Rembang dan Demak.

Di Madiun juga terjadi kerusuhan saling serang di perbatasan Madiun sebagai wilayah Kesultanan Jogjakarta dan Ponorogo wilayah Kasunanan Surakarta. Diantaranya perseteruan Desa Sekedok dan Ngebel.

Perselisihan antara  Willem Daendels dengan Ronggo Prawirodirjo III meruncing, diawali dari  permintaan tata tertib upacara protokoler yang di tetapkan Daendels, yaitu upacara pisowanan di Kraton Jogjakarta, Residen Belanda dalam menghadap Sultan saat masuk melalui alun-alun utara dengan naik kereta dan di kawal pasukan dengan payung kebesaran dan duduk sejajar dengan Sultan, serta Sultan harus mempersembahkan minuman, karena dianggap sebagai perwakilan Negeri Belanda.

Ronggo Prawirodirjo III sebagai penasehat Sultan marah, terutama kepada Patih Danurejo II yang dipandang sebagai otak kekacauan  yang dilakukan Belanda didalam Kraton Jogjakarta.

Perselisihan yang paling hebat terjadi saat, Daendels menetapkan hutan-hutan di Jawa termasuk wilayah Madiun menjadi milik Pemerintah Belanda, Hutan di wilayah Madiun di tebang dan di angkut ke Surabaya untuk membuat 20 kapal perang Belanda.  

Ronggo Prawirodirjo III ditetapkan bersalah, Gubernur Jendral  W.H. Daendels minta kepada Sultan, agar Bupati Madiun Ronggo Prawirodirjo III beserta kaki tangannya agar diserahkan kepada Belanda untuk mendapat hukuman menurut Undang-Undang negeri Belanda. melalui  Van Broom Belanda menyampaikan 4 tuntutan, yaitu :
1.  Sultan agar menerima upacara protokoler baru yang sudah ditetapkan Daendels.
2.   Mengembalikan Raden Danurejo II sebagai Patih Kerajaan. (semula dipecat karena berpihak pada Belanda)
3. Memberhentikan jabatan Patih Raden Tumenggung Notodiningrat. (karena beliau dianggap membahayakan Belanda)
4.  Memanggil Bupati Ronggo Prawirodirjo III, untuk menghadap ke Bogor supaya  minta ampun kepada Gubernur Jendral.  

Apabila empat tuntutan tersebut tidak dijalankan, Gubernur Jendral beserta tentara  akan datang sendiri ke Jogjakarta untuk menghukum Sultan. Suasana tersebut diatas memang sengaja dibuat oleh Pemerintah Belanda, agar tulang punggung kasultanan Jogjakarta tersebut lumpuh, serta mengambil alih kekuasaan Mancanegara Timur dari tangan Kasultanan Jogjakarta.

Perlawanan Ronggo Prawirodirjo III

12-11-1810 Karena berat memenuhi tuntutan W Daendels, Kraton Jogjakarta dikepung 1500 pasukan Belanda dengan persenjataan lengkap, hingga  tuntutan tersebut berangsur-angsur terpaksa dilaksanakan oleh Sultan Hamengku Buwono II, Patih Danurejo II diangkat kembali menjadi Patih Kerajaan, sedangkan Patih Notodiningrat diturunkan jabatannya menjadi Bupati Dalam.

13-11-1810 mulai dilaksanakan tuntutan untuk merubah upacara Kraton dan memerintah Ronggo Prawirodirjo III untuk datang ke Kraton Gubernur Jendral di Bogor.

Perang bathin Ronggo Prawirodirjo III, jika memenuhi perintah Sultan (ayah mertuanya) untuk menghadap ke Belanda di Bogor, berarti menyerah dan mau dijajah, apalagi Ronggo Prawirodirjo III telah menyadari bahwa Belanda memang menginginkan kematiannya, namun jika tidak memenuhi , Sultan akan menderita karena harus memenuhi keinginan Gubernur Jendral Belanda.

Ronggo Prawirodirjo III memilih meninggalkan Kraton Jogjakarta kembali ke Maospati dan menetapkan keputusannya untuk “Melawan Pemerintah Belanda”

Untuk mengelabuhi Belanda, belau menulis surat kepada Van Broom dan Sultan. Surat kepada Van Broom menyebutkan bahwa beliau akan memenuhi permintaan Belanda untuk menghadap Gubernur Jenderal di Bogor. Adapun surat khusus kepada ayahandanya (Sultan) disampaikan melalui Tumenggung Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat, beliau suatu malam menjelang kepergiannya datang ke rumah Raden Tumenggung Notokusumo, pada malam itu Raden Tumenggung  Notodiningrat dan Sumodiningrat (Putra Tumenggung Notokusumo) berada di tempat tersebut. Ronggo Prawirodirjo III menyatakan bahwa beliau sudah tidak tahan dengan tipu muslihat Patih Danuredjo II, beliau pasti ditangkap dan di buang oleh Belanda. Oleh karena itu kehendaknya hanyalah mengikuti istrinya yang telah meninggal dunia, beliau bersedia mati bersama-sama Belanda.

Ronggo Prawirodirjo III akan mengadakan perang gerilya terhadap Belanda di wilayah Mancanegara Timur. Selanjutnya beliau minta agar Kratonnya dijaga dan jembatan-jembatan yang menuju Kabupaten Madiun agar dirusak. Beliau juga  minta agar rencananya itu di beritahukan kepada Sultan agar mendukung perlawanannya terhadap Belanda.

20-11-1810, Ronggo Prawirodirjo III Memaklumatkan “Perang Melawan Pemerintah Belanda”  mendengar pernyataan tersebut H.W Daendels sangat terkejut.

21-11-1810, Ronggo Prawirodirjo III tiba di Maospati diikuti oleh 300 prajurit Jogjakarta, dalam perjalanan beliau telah mengadakan pengrusakan dan pembakaran di Surakarta, yang dianggap kaki tangan Belanda. Beliau menyerukan ajakan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda kepada semua rakyat Mancanegara Timur dan masyarakat Tionghoa. Beliau menggunakan gelar baru ”Susuhunan Prabhu ing Alogo” dan Patih Madiun Tumenggung Sumonegoro mendapat gelar ”Panembahan Senopatining Perang”  14 Bupati bawahannya mendapat gelar “Pangeran

Tindakan pertama, untuk memperluas medan perang, Ronggo Prawirodirjo III mengirim surat kepada Bupati Mancanegara Barat, Bupati Mancanegara Pesisir Utara, dan Para Bupati diwilayah tersebut, Isi surat itu adalah:
1. Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Jogjakarta dan Surakarta mengakui Ronggo Prawirodirjo III sebagai Sultan Madiun dengan gelar ”Susuhunan Prabhu ing Alogo”
2.    Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Jogjakarta dan Surakarta menyokong perjuangannya melawan penjajah Belanda di Nusantara
3.    Agar orang laki-laki baik Jawa maupun Tionghoa yang militan, bersedia masuk menjadi tenaga sukarela, mengusir penjajah Belanda
4.   Agar penduduk seluruh Nusantara mengetahui, bahwa Belanda berusaha mengamankan posisi mereka di Nusantara atas raja-raja daerah, guna terjaminnya  kelangsungan hak monopoli Belanda yang menyusahkan kehidupan rakyat, maka dari itu untuk mengurangi perluasan kekuasaannya segera dilawan sampai titik darah penghabisan
5.     Agar membinasakan pegawai-pegawai Belanda yang ada terlebih dahulu, perlakuan semena-mena telah dilakukan oleh para pegawai Belanda, mereka mendapat gaji kecil dari Belanda, maka mereka selalu bertindak curang untuk memperkaya diri, akibatnya rakyat sangat menderita.
6.  Agar semua memohon berkah Sultan Jogjakarta dan Tuhan Yang Maha Esa, agar mendapat perlindungan agar menghindarkan Pulau Jawa ini dari kesulitan untuk melawan penjajah Belanda

21-11-1810 pagi hari, Sultan memanggil  semua Pangeran, sentana, para kerabat dan para Bupati untuk berkumpul, membicarakan perlawanan  Bupati Madiun kepada Belanda, untuk membuktikan bahwa Sultan tidak bersalah maka Sultan melaporkan hal ini kepada Pemerintah Belanda di Semarang, sebagai bukti Sultan menyerahkan Notokusumo dan Pangeran Raden Notodiningrat kepada Pemerintah Belanda dengan syarat apabila Ronggo Prawirodirjo III berhasil ditangkap atau dibunuh, agar kedua pangeran tersebut di kembalikan ke Kraton Jogjakarta.

Menurut buku Babad Amangku Buwono, penyerahan  kedua pangeran tersebut mendatangkan suasana duka yang mendalam di Kraton Jogjakarta, mereka ke Semarang diantar oleh Tumenggung Danukusumo, Patih Danuredjo II, dan Residen Jogjakarta, minister Engelhard dan nyonya.

Di Semarang pada waktu itu pula,( 21-11-1810 ) sedang berlangsung rapat rahasia antara Gubernur Jendral H.W Daendels dan Panglima Perang Van Broom, yang disusul oleh Patih Danuredjo II, dan Residen Jogjakarta, minister Engelhard  dengan keputusan bahwa dalam waktu dekat Sultan Hamengku Buwono II akan di copot dan diganti Putra Mahkota, karena Sultan dianggap telah membantu dan melindungi perlawanan Bupati Madiun, kecuali jika ada keputusan sungguh-sungguh dari Sultan Hamengku Buwono II untuk segera membasmi pemberontakan Bupati Madiun.

Berdasar keputusan Semarang tersebut, terpaksa Sri Sultan Hamengku Buwono II segera mengirim pasukan kerajaan yang terdiri dari 1.000 prajurit infanteri dan 12 prajurit kavaleri di bawah pimpinan Panglima Perang Raden Tumenggung Purwodipuro, di bantu 2 ahli tempur Belanda yaitu, Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld untuk menangkap hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo III. Sedang di pihak Bupati Madiun hanya terdiri dari 300 prajurit setia di bawah panglima perang Tumenggung Sumonegoro dan pasukan sukarela yang tak terhitung banyaknya.

Menurut Babad Tanah Jawa, Kabupaten Jipang dan Panolan yang menjadi pusat pertahanan prajurit Kasultanan Jogjakarta, berhasil di hancurkan oleh pasukan Madiun. Dalam ekspedisi ini pasukan Madiun selalu unggul. Tumenggung  Purwodipuro adalah seorang yang penakut, beliau enggan melawan Ronggo Prawirodirjo III, akhirnya pasukan Kasultanan kembali ke Kraton Jogjakarta.

Kegagalan ekspedisi pertama ini membuat Sultan marah, Tumenggung Purwodipuro di pecat dari jabatan Bupati Dalam, diangkat panglima baru yaitu, Pangeran Adinegara di bantu Raden Wirjokusumo, Raden Wirjotaruno, Raden Sosrowidjaya dan Raden Tirtodiwirdjo untuk memimpin ekspedisi yang kedua, ekspedisi kedua pun gagal, wilayah daerah Kabupaten Madiun belum terjamah oleh pasukan kasultanan, medan pertempuran berpusat di perbatasan Ngawi dan perbatasan Magetan.

Ekspedisi ketiga dibawah pimpinan Pangeran Purwokusumo, ini juga menemui kegagalan, barulah pada tanggal 7 Desember 1810 diangkat panglima perang Pangeran Dipokusumo Putra Hamengku Buwono II sendiri dengan dibantu Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld dengan 12 pasukan kavaleri. Pertempuran dahsyat terjadi di pusat-pusat pertahanan Kabupaten Madiun dan mampu dikuasai oleh pasukan Pangeran Dipokusumo, pusat perlawanan tinggal di Kabupaten Madiun. Menurut buku “Overzigt jilid III” bahwa tanggal 7 Desember 1810, pada malam hari,  Kraton Maospati, Madiun berhasil diduduki oleh pasukan Jogjakarta tanpa ada perlawanan. Pangeran Dipokusumo menduduki Kraton Maospati hingga 3 hari tanpa mendapat gangguan dari musuh, hal ini disebabkan pusat pertahanan telah dipindahkan ke Kratonn Raden Ronggo Prawirodirjo III yang di Wonosari, Madiun.

11 Desember 1810, Kraton Wonosari dan sekitarnya berhasil diduduki pasukan Jogjakarta, saat itu keluarga Bupati Madiun terpisah dengan pasukan induk,  pasukan Raden Ronggo Prawirodirjo III mundur ke arah timur, yaitu ke Kabupaten Kertosono.

Oleh karena sebagian keluarga Raden Ronggo Prawirodirjo III terpisah dengan pasukan induk maka, 2 adik, beberapa anak dan ibu Raden Ronggo Prawirodirjo III di tangkap dan di serahkan pada Sultan sebagai tawanan di Jogjakarta.

12 Desember 1810 situasi di Madiun sudah aman, hingga Letnan Paulus leluasa mengadakan pengamatan terhadap situasi daerah Madiun, yang kemudian hari dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Belanda. Maka Letnan Paulus adalah orang Belanda pertama yang mengetahui seluk beluk Kabupaten Madiun.

Sejak 10 Desember 1810, pusat pertahanan Raden Ronggo Prawirodirjo III dipindahkan ke Kertosono, dengan sisa  prajurit 100 orang. Tanggal 13 Desember 1810 Pangeran Dipokusumo memerintahkan  pasukan Jogjakarta  mengejar ke Kertosono di bawah perintah Bupati Wirianagara, Bupati Martolojo, Bupati Judokusumo dan Bupati Sumodiwirjo yang di dampingi sersan Leberfeld.

17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Bojonegoro, jatuh korban tak terhingga di kedua pihak. Akhirnya Raden Ronggo Prawirodirjo III dan Bupati Sumonegoro dapat berhadapan langsung dengan Pasukan Jogjakarta , seluruh prajurit dan para Bupati tidak ada yang berani dengan Raden Ronggo Prawirodirjo.

Demi nama keluarga perlawanan dihentikan, yang dihadapi sekarang bukanlah Belanda, tetapi Pangeran Dipokusumo (masih keluarga). Pendirian Raden Ronggo Prawirodirjo III, lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda. Terjadi konflik batin dalam diri Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pangeran Dipokusumo tidak berdosa, ia hanya menjalankan perintah ayahnya, Sultan Jogjakarta yang ditahan oleh Belanda. Apabila Pangeran Dipokusumo tewas, berarti Belanda amat senang karena duri yang berbahaya akan lenyap, keinginan Belanda menguasai Kraton Jogjakarta segera tercapai.

Dengan pertimbangan yang berat tersebut, Raden Ronggo Prawirodirjo III memilih mati dengan pusakanya sendiri, yaitu tombak sakti ”Kyai Blabar” dengan perang pura-pura/setengah hati melawan Pangeran Dipokusumo.
Menurut buku “Sekitar Jogjakarta, karangan Dr. Soekanto yang mengutip dari buku “Aanteekeningen” diutarakan sebagai berikut :

Dalam Babad keturunan Prawirosentiko tertulis, bahwa Pangeran Dipokusumo diperintahkan oleh Sultan menangkap Bupati Wedono Ronggo Prawirodirjo III hidup atau mati; atas permintaan sendiri beliau dibunuh dengan tombak pusaka Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura antara seorang melawan seorang. Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III menemui ajalnya sebagai korban Daendels, Van Broom dan Danuredjo II.

Daerah yang di lalui Ronggo Prawirodirjo III setelah melarikan diri dari kasultanan Jogjakarta, versi Sejarawan, Peter Carey :
Prambanan
Klaten
Delanggu (21 November 1810)
Kartasura (22 November 1810)
Masaran *
Padas (24 November 1810)
Sragen *
Tarik (25 November 1810)
Jagaraga
Magetan (27 November 1810)
Maospati (28 November 1810) 
Madiun
Sentul (3 Desember 1810)
Caruban (8 Desember 1810)
Tunggur (9 Desember 1810)
Berbek
Pace *
Nganjuk (10 Desember 1810)
Gabar
Kertasana (11 Desember 1810)
Munung (12 Desember 1810)
Pandhantoya
Cabean (14-16 Desember 1810)
Sekaran (16-17 Desember 1810)
* = daerah yang dirusak/bakar pasukan Ronggo Prawirodirjo III
Kraton Maospati yang berbenteng dijarah pasukan Belanda dan kesultanan

Bupati Madiun merangkap Bupati Wedono Mancanegara Timur gugur sebagai kusuma bangsa tanggal 17 Desember 1810 di Desa Sekaran, Bojonegoro. Jenazahnya di bawa ke alun-alun Jogjakarta. Beliau dimakamkan di makam Banyu sumurup yang merupakan makam sentana yang dianggap mbalelo, dekat komplek Makam Imogiri. Atas pertimbangan keluarga pada bulan Februari 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, beliau dipindahkan makamnya ke samping makam isterinya, GKR Maduretno, di Gunung Bancak setelah di semayamkan lebih dahulu di Masjid Taman Madiun.

Untuk mengisi jabatan Bupati Madiun dan Wedono Mancanegara Timur maka diangkat sementara Pangeran Dipokusumo oleh Sultan Hamengku Buwono II yang  berkedudukan di Maospati, Madiun. Pengangkatan ini dengan pertimbangan atas jasa beliau. Sesuai adat dan tradisi kerajaan bahwa ahli waris  Prawirodirjo III, khususnya putra sulung bernama Prawirodiningrat masih belum dewasa dan masih mendapat pendidikan di Jogjakarta, maka kedudukan Bupati Madiun untuk sementara waktu di pegang Pangeran Dipokusumo

Sumber : Buku Sejarah Kab. Madiun 1980
Makam Ronggo Prawirodirjo III

Makam Ratu Maduretno
Haul Ronggo Prawirodirjo III
Haul Ronggo Prawirodirjo III
Haul Ronggo Prawirodirjo III
Haul Ronggo Prawirodirjo III
Selamatan Haul Ronggo Prawirodirjo III
Haul Ronggo Prawirodirjo III
Haul Ronggo Prawirodirjo III
Haul Ronggo Prawirodirjo III
Haul Ronggo Prawirodirjo III



1 komentar:

  1. Terima kasih atas doa yang telah dihantarkan lewat acara haul. Adakah komunitas trahnya?

    BalasHapus