Rabu, 20 Februari 2019

Subasita (sopan santun)

Yang tidak tahu subasita ( sopan santun ) dikatakan sebagai orang yang “degsura” atau kurang ajar alias tidak pernah mendapatkan pembelajaran ataupun mempunyai guru. Pada umumnya orang Madiun pun dianggap sopan-santunnya tinggi, karena masih memiliki garis mataram. Sampai ada istilah lucu, dalam kebingungan bilamana dirumahnya ada tamu yang datang tiba tiba di rumah seseorang, dan sang empu pemilik rumah hanya memakai celana pendek serta kaos oblongpun pasti secepat kilat berganti pakaian untuk menghormati tamunya sambil mengucap “nuwun sewu”.

Mengenai “Subasita” pernah saya baca di “Serat Subasita” yang dikarang oleh Ki Padmasusastra Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, terbitan Pangecapan (Percetakan) Budi Utama di Surakarta pada tahun 1914. Isinya adalah kumpulan tatakrama Jawa yang dalam pendahuluan disebutkan oleh Ki Padmasusastra sebagai berikut: Sêrat Subasita punika kalêmpaking tatakrama Jawi sawatawis campuripun kalihan tatakrama Walandi supados kenging kapirit ingkang taksih pantês kalêstantunakên utawi botên, awit kêncênging tatakramanipun tiyang Jawi kêndho dening pasrawungan kalihan tatakramanipun tiyang Walandi, punika ingkang murba misesa panggêsanganipun têtiyang Jawi, wajib dipun lampahi.

Pengertiannya kurang-lebih adalah tatakrama Jawa bagaimanapun terpengaruh oleh tatakrama Belanda. Mengingat orang Jawa (saat itu tahun 1914) kehidupannya dikuasai Belanda, maka tatakrama Belanda juga perlu diikuti. Bagaimanapun harus dipilah tatakrama Jawa yang masih bisa dilestarikan karena sebagian telah luntur akibat pergaulan dengan orang Belanda.

Menurut pendapat saya memang ada beberapa bagian dalam Serat Subasita yang sudah tidak bisa dipakai pada abad 21 ini. Misalnya dalam hal menghormat orang yang lebih tinggi kapan kita harus berdiri, kapan kita harus jongkok. Rasanya sekarang sudah tidak ada lagi orang Jongkok. Jaman dulu mungkin pembantu di rumah selalu bersimpuh di lantai kalau dipanggil Ibu. Sekarang mana ada pembantu jongkok di lantai.

Demikian pula ada beberapa hal yang harus disesuaikan, misalnya mengenai pakaian. Kapan kita berpakaian a la Belanda, kapan kita berpakaian a la Jawa. Dua-duanya bagus. Berpakaian seperti Belanda kelihatan “bregas” (gagah) sedangkan berpakaian Jawa dikatakan “merak ati” (manis, menarik). Urusan tatakrama batuk, bersin, buang ingus dan meludah, dulu sudah menjadi perhatian. Dikaitkan dengan sopan santun dan kesehatan. Hal tersebut masih menjadi masalah pada masa ini. Kita mungkin susah payah memberika penyuluhan etika batuk dan bersin yang benar.

Hal lain yang menarik adalah budaya Jawa sebenarnya menghormati wanita. Salah satunya adalah: Dilarang merokok di dekat wanita. Alasannya sederhana saja, tidak sopan dan membuat sesak napas. Pada masa itu (tahun 1914). Subasita Jawa juga bersifat akomodatif. Maksudnya, kalau ada orang dengan budaya lain maka harus kita hormati.

Mengantuk dan menguap adalah penyakit harian yang pasti kita alami dimana saja dan kapan saja. Bila abad 21 kita sebut sebagai abad rapat dan seminar maka di tempat itu lah akan kita jumpai orang mengantuk, menguap bahkan tidur. Karena abad 21 juga abad informatika maka foto orang ngantuk apalagi kalau yang ngantuk itu orang penting cepat sekali beredar kemana-mana.

Manusia setampan atau secantik apapun kalau sedang menguap tampak jelek sekali. Cobalah sekali-sekali kalau sedang mengikuti pertemuan minta ke salah satu teman untuk memotret kalau kebetulan kita menguap. Wah, kita akan terkagum-kagum sendiri melihat wajah kita. Tetapi sepertinya penyakit mengantuk termasuk penyakit yang tidak bisa dicegah.

MENGANTUK

Menurut “subasita” Jawa mengantuk saat hadir dalam “pasamuwan” (pertemuan) dikatakan “saru”. Kalau kita kehilangan kemampuan komunikasi dalam pertemuan karena ngantuk sebaiknya pulang saja, tidur! Lebih celaka lagi kalau dalam pertemuan kita tak pernah lepas dari kantuk, tetapi tatkala hidangan keluar kantuk pun hilang. Kita makan, bahkan dalam porsi besar seolah mata dan mulut berdiri sendiri-sendiri. Selesai makan, kantuk hilang diganti tidur. Kenapa kita tidak kasihan kepada diri kita sendiri?

MENGUAP

Dalam bahasa Jawa menguap disebut “Angob”. Menguap terkait erat dengan kantuk. Tidak ada kuap tanpa kantuk demikian pula tidak ada kantuk tanpa kuap. Menguap juga merupakan perilaku tidak sadar orang yang bosan.

Oleh sebab itu kalau kita sedang menerima tamu baik di rumah maupun di kantor jangan sekali-sekali menguap. Hal ini sama saja mengusir secara halus. Tentu saja yang bisa merasakan hanya tamu yang “tanggap ing sasmita” dari bahasa tubuh tuan rumah. Bila kita sebagai tuan rumah merasa akan “angob” carilah trik supaya tidak ketahuan tamu kita. Apakah berdiri, pura-pura mengambil sesuatu di tempat lain atau cara lain yang pas.

Tamu juga jangan sampai menguap di depan tuan rumah. Orang Jawa mengatakan “degsura” atau kurang ajar.

CATATAN

Sumber tulisan ini adalah “Serat Subasita” karangan Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta. Apakah jaman memang sudah berubah sehingga pada abad 21 ini banyak orang tidak malu “angob” dan “ngantuk” di muka umum? Termasuk melihat wajah jelek kita kalau sedang “angob?” Sumangga.

#DwijaTanaya. dirangkum dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar