Minggu, 06 Oktober 2013

Petirtan Dewi Sri (candi Simbatan) dalam Pemugaran BPCB

Petirtan Dewi Sri (candi Simbatan) dalam Pemugaran BPCB
Desa Simbatan Kulon, Kec. Nguntoronadi Kab. Magetan

candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
candi simbatan
kemeriahan bersih desa tiap suro di candi simbatan


PETIRTAAN DEWI SRI
(Candi Simbatan, Sendang Beji)
Desa Simbatan, Kec. Nguntoronadi, Kab. Magetan.

Situs Pertirtaan Dewi Sri secara keseluruhan merupakan suatu bangunan pertirtaan. Hal ini nampak jelas dengan adanya bangunan kolam dan pancuran-pancuran yang ada di bagian-bagian tertentu. Petirtaan Dewi Sri merupakan bangunan kolam yang terletak di bawah permukaan tanah yang sebagian besar komponennya tersusun dari bata. Oleh karena itu, apabila hendak mencapai lantai dasar pertirtaan harus menuruni tangga yang berada di sisi timur.

Pada dinding barat bilik utama terdapat arca pancuran wanita dari bahan batu adesit. Arca wanita inilah yang kemudian oleh masyarakat dianggap sebagai arca Dewi Sri. Di Jawa ada keyakinan bahwa Dewi Sri dianggap sebagai dewi kesuburan dan dihubungkan dengan pertanian. Di pulau Jawa dan Bali Dewi Shri atau Dewi Sri dikenal sebagai dewi bercocok tanam, terutama padi dan sawah, la merupakan representasi dari dunia bawah tanah dan juga bulan, la mengontrol bahan makanan di bumi dan kematian. Oleh karena ia merupakan simbol bagi padi, ia juga dipandang sebagai ibu kehidupan.

Mengenai Dewi Sri, menurut cerita legenda bercorak Hindu Jawa yang berkembang di Indonesia diceritakan bahwa Dewi Sri merupakan istri Bathara Guru. Pada suatu masa, Dewi Sri dikejar-kejar oleh dewa bawahan Bathara Guru karena terpesona akan kecantikannya. Karena kesal, dewa bawahan itu pun kemudian dikutuk oleh Dewi Sri menjadi babi hutan. Namun walaupun telah berubah menjadi babi hutan, dewa bawahan tersebut terus mengejar Dewi Sri. Selanjutnya Dewi Sri pun memohon agar ia berubah menjadi tanaman agar tidak dikejar-kejar babi hutan itu lagi, dan kemudian ia menjelma menjadi tanaman padi di sawah. Namun demikian, ternyata babi hutan tersebut terus mengejar Dewi Sri dengan menjadi hama bagi tanaman padi.

Arca wanita yang terdapat di Pertirtaan Dewi Sri yang diidentifikasi oleh masyarakat sebagai Dewi Sri tersebut memakai mahkota yang bentuknya bertingkat mengecil ke atas, dan berhiaskan simbar/antefik. Arca tersebut memiliki prabha dan stela. Rambut arca digambarkan berombak panjang sampai bahu. Pada lehernya terdapat 3 lapis hara, salah satunya bermotif sulur-suluran. Arca tersebut bertangan dua dengan posisi tangan sedang memegang payudara yang berfungsi sebagai pancuran. Air pancuran ini dialirkan dari belakang stela. Air yang keluar dari payudara dapat diidentikkan dengan air susu. Dalam mitologi agama Hindu/Budha, air susu dianggap melenyapkan mala. Kedua lengan arca memakai gelang polos masing-masing 2 buah dan kelat bahu masing-masing dua buah berhias sulur-suluran. Kain digambarkan hingga ke mata kaki. Di kiri kanan pinggang terdapat uncal dan drapery di perut dan kiri kanan kaki. Gelang kaki digambarkan berbentuk sulur-suluran. Arca berdiri di atas padma ganda yang menempel pada stela. Di kiri kanan kaki arca terdapat hiasan padma sederhana yang seolah-olah keluar dari padma ganda.

Berdasarkan pengamatan, arca ini kemungkinan diidentifikasi sebagai Dewi Laksmi, yang merupakan salah satu perwujudan Durga yang biasanya ditempatkan pada petirtaan. Nama lain Laksmi adalah Padmasambhawa (yang lahir dari teratai mekar) atau padmesthita (yang berdiri di atas padma) (Zimmer, 1962: 91). Padma itu sendiri merupakan lambang kelahiran (Santiko, 1985: 292). Dewi Laksmi sendiri merupakan sakti (istri) dari Dewa Wisnu. Biasanya, Dewa Wisnu digambarkan bersama dua saktinya yaitu Dewi Sri dan Dewi Laksmi. Menurut konsep, Laksmi adalah istri tertua dari Dewa Wisnu. Walaupun demikian, sangat susah dimengerti mengapa Arca Sri dan Arca Laksmi dibedakan karena sebenarnya mereka adalah satu (sama) dalam penggambarannya. Sakti-sakti Wisnu tersebut biasanya ditemui bersama Wisnu. Namun tidak jarang juga kita hanya menemui sakti tersebut saja. Bila demikian, maka kita dapat menyebut arca tersebut sebagai Arca Laksmi atau Arca Sri. (Gupte, hal.56).

Penggambaran Laksmi yang ditemui secara individual menurut konsep ikonografi India adalah bila arca tersebut bertangan empat maka ia memegang atribut cakra, sangkha bersayap, teratai dan cemara. Bila arca tersebut bertangan dua maka ia digambarkan sedang memegang sangkha bersayap dan lotus yang ditemani oleh Vidyadharas di kedua sisi. (Gupte, hal. 56). Namun berbeda dengan gaya ikonografi India, Arca Laksmi di Indonesia digambarkan dalam posisi tangan memegang payudara. Selain di Pertirtaan Dewi Sri, konsep Dewi Laksmi dalam sebuah pertirtaan, dapat di temui juga seperti di Pertirtaan Belahan, Mojokerto. Arca Laksmi tersebut digambarkan dengan posisi berdiri dan kedua tangan memegang payudara yang mengeluarkan air. Arca Laksmi ini diapit oleh dua buah jaladwara yang berbentuk padma di sebelah kanan dan kirinya. Di atas Arca Dewi Laksmi terdapat relief kala yang distilir berbentuk sulur-suluran. Gaya penggambaran kala ini adalah merupakan gaya khas kala dari masa Jawa Timur.

Di samping itu, masih terdapat dua buah kala lagi yang sudah lepas dari tempat aslinya. Saat ini kedua kala tersebut berada di depan pintu masuk bilik utama dan pada dinding utara bilik utara. Kala yang berada di dinding utara bilik utara mempunyai spesifikasi. Wajah kala digambarkan ramah (santa), bukan menyeramkan (ugra). Mempunyai rahang bawah. Kedua tangannya digambarkan lengkap dilipat ke depan seolah-olah dalam posisi tengkurap dengan kesepuluh jari di bawah dagu. Namun secara keseluruhan, bentuk rahang lengkap dan kesepuluh jari bebas dalam arti tidak mengenggam sesuatu. Tipe gaya kala seperti ini sangat menarik karena sangat jarang ditemukan di Indonesia. Satu-satunya yang sedikit banyak mendekati gaya penggambaran kala Pertirtaan Dewi Sri adalah bentuk kala pada Candi Singosari Di Malang, Jawa Timur.

Pada bagian teras, terdapat masing-masing 2 buah jaladwara yang digambarkan dengan bentuk tubuh arca laki-laki dan perempuan dalam posisi duduk bersimpuh mengapit pancuran yang menempel pada dinding sisi utara dan selatan. Kepala-kepala arca tersebut dengan alasan demi keamanan pada sekitar tahun 1994 dibawa ke kantor Balai Pelestarian Peninggalan Jawa Timur di Mojokerto karena daerah tersebut rawan pencurian. Arca-arca tersebut secara ikonografis penggambarannya sangat indah dan sempurna. Bahu digambarkan sangat sempurna, garis-garisnya tegas dan tepat. Gaya Arca Jaladwara ini sangat mirip dengan Arca Jaladwara yang ada di Pertirtaan Belahan. Pada sisi barat di kedua bilik terdapat jaladwara berbentuk makara dengan relief wanita, masing-masing bilik memiliki dua buah jaladwara. Relief wanita yang digambarkan dalam masing-masing jaladwara tersebut memiliki gaya berdiri yang berbeda-beda. Hiasan rambut dan alur-alur rambut yang sangat jelas pada relief wanita tersebut sangat bagus. Gaya relief pada jaladwara di Pertirtaan Dewi Sri ini memiliki kesamaan gaya dengan bentuk hiasan dan gaya pada relief di Pertirtaan Jolotundo, Mojokerto.

Sampai di sini, dari tinggalan arkeologis yang ditemui di pertirtaan Dewi Sri, tampak bahwa beberapa komponen pertirtaan ini memiliki persamaan dengan tinggalan arkeologis yang ada di Pertirtaan Belahan dan Pertirtaan Jolotundo, Mojokerto. Dengan demikian, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa pertirtaan-pertirtaan ini kemungkinan besar memiliki keterkaitan dan dibangun dalam satu masa. Bila Candi Belahan dan Pertirtaan Jolotundo dikaitkan dengan masa pemerintahan Dharmawangsa Tguh-Airlangga pada masa abad XXI Masehi (Kinney 1997: 50-67). maka ada kemungkinan bahwa pertirtaan Dewi Sri berasal dari masa yang sama. Adapun latar belakang keagamaan ketiga tinggalan arkeologis tersebut pun sama-sama beraliran Hindu Waisnawa.

Dugaaan latar belakang sejarah pertirtaan Dewi Sri yang ditarik dari bukti-bukti arkeologisnya tersebut di atas dapat juga didukung dari temuan data-data historis lain yang ditemukan di sekitar wilayah Kabupaten Magetan. Seperti kita ketahui bersama, di wilayah Kabupaten Magetan banyak ditemukan prasasti yang berasal dari sekitar abad X Masehi. Prasasti-prasasti tersebut antara lain prasasti Kawambang Kulwan dari Maospati yang sekarang disimpan di Museum Nasional. Prasasti tersebut berasal dari tahun 913 Saka atau setara dengan tahun 991 Masehi. Selain itu, di sekitar daerah ini ditemukan juga prasasti lainnya, di antaranya seperti Prasasti Taji dari Maospati, Prasasti Kledokan dari Maospati, Bulu Gledek dari Maospati, Prasasti dari masa pemerintahan Raja Jayabhaya dari Parang. Sementara itu, Hariani Santiko dalam penelitiannya di Simbatan menemukan miniatur rumah dengan angka 905 dan 917 pada bagian atapnya. Temuan ini diasumsikan oleh Hariani berangka tahun saka sehingga berasal dari 983 Masehi dan 995 Masehi (Santiko, 1985:296). Sementara itu, masih ada beberapa temuan arkeologis yang berupa miniatur rumah dari Simbatan dan sekitarnya yang berasal dari sekitar abad X Masehi, baik yang masih in situ maupun menjadi koleksi Museum Nasional (Haryosudibyo, 1998). Salah satu miniatur rumah/lumbung padi tersebut pada bagian atapnya terdapat angka 919, dan dibaliknya terdapat relief sangkha bersayap. Angka tersebut dapat diasumsikan sebagai tahun 919 Syang setara dengan 997 M. Terkait dengan latar belakang keagamaan pertirtaan Dewi Sri, sangkha bersayap yang terdapat pada miniatur rumah tersebut dapat menguatkan dugaan bahwa pertirtaan Dewi Sri beraliran Hindu Waisnawa. Hal tersebut dikarenakan sangkha bersayap merupakan salah satu atribut Wisnu. Selain itu, miniatur rumah/lumbung padi yang lain bertuliskan sri pala. Di dalam mitologi agama Hindu, sri pala merupakan salah satu atribut yang dipegang salah satu tangan Dewi Mahalaksmi.

Pemugaran pertama kali dilakukan pada tahun 2007 yang dilakukan selama lima bulan. Berikutnya  Pemugaran tahun 2008 dilakukan tiga bulan, kemudian tahun 2009 selama dua bulan, dan tahun 2010 rencananya pemugaran akan dilakukan selama lima bulan yang dimulai sejak bulan Mei lalu hingga September  2010

Berdasarkan inskripsi yang terdapat pada atap miniatur rumah, tertulis angka tahun 905 Saka (983 Masehi) dan 917 Saka(995 Masehi). Diperkirakan situs ini merupakan jejak peninggalan Kerajaan Mataram Hindu atau Mataram kuno. Sangkha (siput) bersayap pada atap miniatur lumbung merupakan tanda resmi pemerintahan Sindok pada abad 10.

Dari sisi arkeologis, bukti eksistensi sejarah di sekitar Pertirtaan Dewi Sri banyak didukung temuan lain berupa artefak. Antara lain, miniatur lumbung 7 buah, fragmen arca 7 buah, palung batu 1 buah, fragmen yoni 1 buah, sumur kuno 1 buah, fragmen kemuncak 1 buah dan lumbung batu 4 buah.

(Wicaksono Dwi Nugroho, M.Hum dan Ririet Surjandari, M.Hum)
foto : Widodogb sastro, Kompas Madya

Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Majalah Museum Trowulan.


Ritual Bersih desa Di Petirtaan Dewi Sri


Menjelang Isya, Mbah Kadiman sudah duduk bersila di atas rumput, kedua tanggannya pun ditangkupkan di depan seperti posisi menyembah. Tak lama berselang, mulutnya pun berkomat-kamit mengucapkan kata-kata yang terdengar samar-samar. Dihadapannya terdapat sesaji berupa kepala kambing, empat potong kaki kambing, sebungkus rokok, sepincuk kembang beraneka jenis, yang ditata sedemikian rupa di antara sajian lainnya. Kemenyan yang tadi dibakar pun mulai mengeluarkan asap. Mengepul, membumbung cepat tertiup angin ke langit. Seakan-akan mengantarkan serentetan doa-doa yang diucapkannya sedari tadi. Saat itu, suasana berubah
Prosesi yang dilakukan Mbah Kadiman, seorang pria tua yang dipercaya masyarakat sebagai pemangku desa, merupakan bagian dari ritual bersih desa yang rutin dilakukan setiap tahun oleh Masyarakat Desa Uniknya, ritual bersih desa tersebut dilakukan di sebuah pertirtaan kuno yang terletak di desa itu. Menurut keterangan Gito, salah seorang juru pelihara tempat ini, ritual ini sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat desa.


Lokasi Pertirtaan Dewi Sri. pertirtaan kuno ini terletak di Desa Simbatan Wetan, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Magetan. Lokasi ini dapat ditempuh melalui dua jalur. Jalur yang pertama melalui Kota Madiun, sedangkan jalur yang kedua dapat ditempuh melalui Kota Maospati. Dari kedua jalur tersebut, jalur pertama adalah yang tercepat dan termudah bila kita menggunakan kendaraan umum. Dari terminal kota madiun, kita dapat melanjutkan perjalan dengan moda transportasi mobil Angdes (angkutan desa) atau ojek ke arah Magetan yang jumlahnya cukup banyak, sedangkan bila dari terminal Maospati, perjalanan hanya dapat ditempuh dengan ojek saja.


Pemandangan sawah yang asri yang dilengkapi dengan kicauan burung-burung dalam suasana perdesaan yang kental benar-benar menghibur kami.. Tidak lama berselang, kami pun langsung disambut oleh Sugito dan Sumiran, mereka adalah juru pelihara yang ditugaskan oleh BP3 Jatim untuk menjaga situs ini. Kami kemudian diajak menuju rumah mereka yang berjarak tidak jauh dari lokasi. Di sana kami kemudian melepaskan penat sejenak sambil menikmati suguhan kopi hangat.
Menjelang magrib, kami kembali ke lokasi. Di sana kami ketemu Mbah Kadiman yang sedang menyiapkan segala sesuatu untuk kepentingan ritual. Saat itu, ia sedang sibuk meletakkan sesaji di sebidang tanah di sebelah Utara pertirtaan Dewi Sri. Di belakang Mbah Kadiman berdiri seorang pria separuh baya. Tak lama setelah mengatur sesaji, Mbah Kadiman pun duduk bersila di atas tanah, la kemudian terlihat sangat serius berdoa. Seorang pria separuh baya itu pun ikut duduk bersila di belakang. Kami kemudian hanya menyaksikan dari kejauhan, tidak berani mengusik prosesi Ini. Situasi ini berlangsung sekitar 20 menit. Setelah selesai berdoa, kedua pria tadi kemudian menuju ke pertirtaan Dewi Sri. Terlihat Mbah Kadiman kemudian memasukan air yang ada di pertirtaan itu ke dalam satu dirijen yang berukuran 5 liter. Setelah selesai, dirijen tadi kemudian diserahkan ke pria separuh baya tersebut.


Sepertinya prosesi tadi telah selesai. Kami pun mencoba mendekat. Setelah memperkenalkan diri, saya kemudian bertanya ritual apakah yang telah mereka lakukan tadi. Sambil tersenyum Mbah Kadiman kemudian mencoba menjelaskan kepada saya dalam Bahasa Jawa halus yang sangat kental. Ternyata Mbah Kadiman baru saja melakukan sebuah ritual penyembuhan atas permintaan pria separuh baya tadi. Pria separuh baya yang bernama Suharto tadi merupakan penduduk Desa Simbatan yang saat ini telah tinggal di Kalimantan, la meminta Mbah Kadiman untuk melakukan ritual tersebut agar ia dan keluarganya dijauhkan dari kesusahan karena penyakit dan dilapangkan rejekinya. Untuk tujuan tersebut, selain melalui ritual tadi, ia dan keluarganya juga diajurkan untuk meminum air yang berasal dari pertirtaan ini. Tak lama kemudian azan magrib mengumandang. Kami semua pun berjalan keluar dari lokasi. Mbah Kadiman pun mengatakan bahwa ia akan melakukan prosesi bersih desa di pertirtaan Dewi Sri nanti sekitar jam setengah tujuh malam. Kami pun mengangguk mengerti dan tidaksabar menunggu datangnya waktu itu.


Tepat pukul setengah tujuh malam, Mbah Kadiman datang ke lokasi pertirtaan. la membawa sebungkus kantong plastik hitam besar. Isinya ternyata beberapa sesaji untuk kepentingan ritual, di antaranya adalah potongan kepala dan kaki kambing, rokok, bunga, bedak, daun sirih, minyak wangi, ayam dan telur beserta nasi dan lauk pauk lainnya dalam satu pincuk, dan sebotol minuman. Kurang dari setengah jam, Mbah Kadiman terlihat khusuk menjalankan prosesi ini. Setelah selesai, Ia kemudian mengajak kami untuk menuju lokasi Sumur Gumuling yang berjarak kurang lebih 500 meter di sebelah Tenggara pertirtaan Dewi Sri.


Di Sumur Gumuling Mbah Kadiman pun melakukan prosesi yang sama. Menurut keterangan Mbah Kadiman, Sumur Gumuling memiliki hubungan yang erat dengan Pertirtaan Dewi Sri. Kedua lokasi ini saling berhubungan secara batin dan fisik. Menurutnya, air yang ada di Sumur Gumuling ini berasal dari Pertirtaan Dewi Sri. Oleh karena itu, tempat ini juga disakralkan. Proses prosesi yang dilakukan oleh Mbah Kadiman seorang diri itu berjalan kurang dari 30 menit. Setelah selesai, Mbah Kadiman pun kemudian beranjak pulang. Terlihat raut-raut keletihan di mukanya. Sesuk meneh! Ujarnya kepada saya. Saya pun mengangguk. Ritual hari ini telah selesai dan akan dilanjutkan besok pagi dengan melakukan pembersihan secara fisik kedua tempat, yaitu Sumur Gumuling dan Pertirtaan Dewi Sri.


Malam itu ternyata sebagian masyarakat Desa Simbatan Wetan juga melakukan upacara syukuran yang dilaksanakan di pinggir jalan raya. Kami pun segera menuju ke sana. Setelah saya lihat di peta desa, lokasi itu ternyata berada di tengah-tengah desa. Acara syukuran tersebut dipimpin oleh wakil kepala desa. Tidak terlihat Mbah Kadiman di sana. Apakah Mbah Kadiman kelelahan ataukah memang beda ritual?pertanyaan itu langsung terbesit di benak saya. Berbeda dengan ritual yang dilakukan oleh Mbah Kadiman, acara syukuran ini dilangsungkan dalam suasana keislaman. Pancatan doa-doa dalam bahasa arab diucapkan oleh tokoh agama setempat. Isinya berkisar ucapan doa pujian dan syukur kepada Allah atas karunianya dan juga doa-doa pengharapan diberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat di waktu yang akan datang. Setelah selesai memanjatkan doa, acara dilanjutkan dengan makan bersama. Makanan yang jumlahnya cukup banyak tersebut dibawa oleh masing-masing keluarga dan dikumpulkan jadi satu. Suasana keakraban dan suka cita masyarakat desa sangat terasa sekali. Selesai makan bersama, para ibu, remaja putri dan anak kecil kemudian pulang ke rumah, sedangkan para bapak dan remaja pria melanjutkan acara tersebut dengan bernyanyi bersama mengikuti lagu yang ditanyangkan melalui TV dan VCD tersebut. Acara melekan ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Simbatan saja, masyarakat desa-desa di sekitarnya juga melakukan hal yang sama.


Udara pagi yang segar dan dingin membangunkan kami. Sambil menghirup segelas kopi, kami menikmati suasana desa yang asri. Hamparan sawah dengan kicauan burung yang bermain-main di antara tanaman padi sangat menghibur kami. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama karena harus menyiapkan diri meliput upacara bersih desa yang dilakukan pagi ini.
Pagi itu, beberapa ibu sibuk menyiapkan makanan, sedangkan beberapa bapak dan pemuda sudah membawa beberapa perlengkapan kerja bakti dan berkumpul di pertirtaan Dewi Sri. Sebelum kegiatan kerja bakti itu dimulai, iring-iringan makanan berbagai jenis yang diangkat oleh para pemuda ini dibawa ke lokasi. Tidak membutuhkan waktu lama, mereka kemudian melahap habis semua hidangan tersebut.


Kegiatan bersih desa dimulai di Sumur Gumuling. Para bapak dan pemuda menguras dan membersihkan tempat ini. Kegiatan ini yang dilakukan dengan gelak canda dan tawa ini berlangsung sekitar satu jam. Setelah dianggap selesai, mereka kemudian berjalan menuju ke petirtaan tersebut dengan bernyanyi bersama mengikuti lagu yang ditanyangkan melalui TV dan VCD tersebut. Acara melekan ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Simbatan saja, masyarakat desa-desa di sekitarnya juga melakukan hal yang sama.


Udara pagi yang segar dan dingin membangunkan kami. Sambil menghirup segelas kopi, kami menikmati suasana desa yang asri. Hamparan sawah dengan kicauan burung yang bermain-main di antara tanaman padi sangat menghibur kami. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama karena harus menyiapkan diri meliput upacara bersih desa yang dilakukan pagi ini.
Pagi itu, beberapa ibu sibuk menyiapkan makanan, sedangkan beberapa bapak dan pemuda sudah membawa beberapa perlengkapan kerja bakti dan berkumpul di pertirtaan Dewi Sri. Sebelum kegiatan kerja bakti itu dimulai, iring-iringan makanan berbagai jenis yang diangkat oleh para pemuda ini dibawa ke lokasi. Tidak membutuhkan waktu lama, mereka kemudian melahap habis semua hidangan tersebut.


Kegiatan bersih desa dimulai di Sumur Gumuling. Para bapak dan pemuda menguras dan membersihkan tempat ini. Kegiatan ini yang dilakukan dengan gelak canda dan tawa ini berlangsung sekitar satu jam. Setelah dianggap selesai, mereka kemudian berjalan menuju yang dilakukan di situs pertirtaan Dewi Sri dibuka dengan tarian dan nyanyian dari para para ledek/tandak. Puncak kegiatan acara ini adalah tarian tayup yang diiringi oleh tiga penari lakHaki asal Dusun Simbatan yang menarikan ikan-ikan yang ada di Situs Petirtaan Dewi Sri. Kegiatan tersebut kemudian diakhiri dengan melakukan pelepasan kembali ikan-ikan tersebut ke dalam pertirtaan yang diiringi oleh penaburan beras kuning yang dilakukan oleh para wanita desa. Penaburan beras kuning tersebut dilakukan karena dipercaya agar masyarakat sekitar terhindar dari marabahaya. Acara yang sangat meriah ini baru berakhir pada pukul lima sore Walau acara telah berakhir, banyak para pengunjung yang masih tetap bertahan di lokasi. Menikmati pertirtaan Dewi Sri dalam suasana sunset yang ternyata memunculkan kesan romantisme. Benar-benar sangat indah.


Dalam masyarakat Desa Simbatan, Pertirtaan Dewi Sri masih dianggap keramat. Masyarakat percaya bahwa di pertirtaan ini terdapat mahluk halus yang menjaga masyarakat dan desa mereka. Mereka percaya bahwa penghuni gaib Pertirtaan Dewi Sri dapat mengabulkan segala hajat mereka asalkan dilakukan sesuai dengan persyaratan yang benar. Berbagai hajat masyarakat tersebut di antaranya terkait dengan beberapa aspek kehidupan di antaranya seperti rejeki, kesuksesan kerja, keberhasilan panen, dan kesehatan.
yang dilakukan di situs pertirtaan Dewi Sri dibuka dengan tarian dan nyanyian dari para para gledek/tandak. Puncak kegiatan acara ini adalah tarian tayup yang diiringi oleh tiga penari lakHaki asal Dusun Simbatan yang menarikan ikan-ikan yang ada di Situs Petirtaan Dewi Sri. Kegiatan tersebut kemudian diakhiri dengan melakukan pelepasan kembali ikan-ikan tersebut ke dalam pertirtaan yang diiringi oleh penaburan beras kuning yang dilakukan oleh para wanita desa. Penaburan beras kuning tersebut dilakukan karena dipercaya agar masyarakat sekitar terhindar dari marabahaya. Acara yang sangat meriah ini baru berakhir pada pukul lima sore Walau acara telah berakhir, banyak para pengunjung yang masih tetap bertahan di lokasi. Menikmati pertirtaan Dewi Sri dalam suasana sunset yang ternyata memunculkan kesan romantisme. Benar-benar sangat indah.
Manifestasi dari kepercayaan masyarakat Desa Simbatan tersebut terhadap pertirtaan Dewi Sri diwujudkan dengan kegiatan bersih desa yang dilakukan di situs ini pada hari Jumat pertama di Bulan Suro menurut kalender Jawa. Tujuan dari kegiatan tersebut menurut keterangan masyarakat adalah untuk menyenangkan hati mahluk gaib penunggu pertirtaan Dewi Sri. Bila diamati secara cermat, tradisi yang menurut masyarakat telah berlangsung cukup lama ini merupakan salah satu wujud pengkultusan masyarakat terhadap Dewi Sri. Dapat dipahami bahwa tradisi ini terus dijunjung oleh masyarakat Desa Simbatan mengingat hingga kini sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. PRASETYO MUKTI WIBOWO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar