Silaturahmi HvM pada pejuang Mobpel Pak Madijo |
Kunjungan Historia Van Madioen / Kompasmadya ke ndalem Bapak Madijo, ex. Pejuang Mobpel jl. Utama Karya No 7 Margobawero, Kota Madiun. Sabtu, 12 November 2016, dua hari setelah peringatan hari pahlawan 10 November.
Bapak Madijo
mengawali kisah perjuangannya saat beliau masuk sekolah SMP tahun 1946 di
Magetan sebuah kota kecil di lereng Gunung Lawu bagian timur. Beliau masuk SMP
Tahun 1946 yang pada saat itu ada sebuah Instruksi dari Wakil kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang bahwa semua
pelajar Tingkat SMP dan SLTA diwajib kan mengikuti pendidikan kemiliteran secara
fisik selama 3 bulan oleh Depo Militer. Pada saat itu SMP di kabupaten Magetan
hanya satu, yaitu sekolah Ex. HIS Belanda dan baru ada kelas I dan kelas II
sebanyak sepuluh kelas.
Saat perebutan
Kekuasaan Madiun oleh FDR-PKI / Muso, 18 September 1948. Beliau masih sekolah
SMP, menyaksikan sendiri gerobolan-gerobolan PKI menduduki Kota Magetan dengan
ciri membawa senjata arit, golok atau pedang dan berpakaian hitam-hitam. Mereka mencari orang-orang yang tidak mau tunduk pada FDR-PKI/Muso, seperti Tokoh PNI, Pamong,
Tentara, Polisi dan pemuda-pemuda yang tergabung IPI (Ikatan Pelajar Indonesia) termasuk Mas Madijo dan Kawan-kawan hingga melarikan diri kearah
Sarangan.
Setelah adanya
perintah langsung dari Presiden Sukarno untuk merebut kembali Madiun dan
sekitar dari PKI Muso, datang bantuan Pasukan Siliwangi dari arah Sarangan, Mas Madijo
beserta 10 rekannya yang saat itu melarikan diri ke Sarangan bertemu dan ikut
bergabung dengan pasukan Siliwangi.
Saat Agresi
Militer II tahun 1949, Belanda menduduki Madiun dan sekitarnya 26 Desember 1948.
Waktu itu Mas Madijo tergabung dalam PGSS ( Pasukan Gerilya Suprapto Sukowati)
dan bertugas sebagai Spionase dan Kurir namun juga ikut gerilya sebagai
Foretroop. Pusat perjuangan gerilya di Magetan berpusat di 2 sektor yaitu, magetan
selatan di Parang, dan Magetan utara di Panekan.
Dalam
mejalankan tugas mengantar surat, Mas Madijo biasanya menyamar sebagai bakul
Kecap keliling, dengan kode-kode khusus surat disampaikan secara beranting. Selain tugas kurir, juga menjadi penunjuk
medan saat diadakan penyerangan gerilya oleh pejuang pada malam hari, maka biasanya
siang harinya Pasukan Belanda selalu membabi buta melakukan penyisiran dan
membakar rumah-rumah penduduk di sekitarnya, namun rakyat pada waktu itu sangat
mendukung pejuang Republik hingga mereka rela berkorban harta dan bahkan nyawa
demi kemerdekaan Republik Indonesia. Bapak Madijo mengenang hal itu merasa
sangat sedih, namun bersyukur sampai saat ini masih bisa mengemong anak cucu
dan berharap jayanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Banyak
kisah-kisah suka duka dalam perjuangan waktu itu, salah satunya hal yang cukup
menegangkan dan mengharukan yaitu saat beliau
dibujuk ikut Belanda oleh Hong Cun anak Juragan
Permen warga Tionghwa dan sempat diajak ke markas Belanda, dirayu oleh Hong Cun bahwa
kalau mau ikut Belanda bisa makan enak dan minum susu yang akhirnya mas Madijo ditahan. Pada
saat di dalam markas Belanda tersebut Mas Madijo ketemu juru masak Rumah sakit
yang sudah kenal dengan baik sebelumnya. yaitu Yu Sri sang Juru masak ditunjukan
jalan keluar berupa jlurung pembuangan air menuju ke sungai, namun Mas Madijo menginginkan
sambil keluar harus membawa oleh-oleh peluru dari Belanda. Pada malam itu Yu
Sri yang paham tentang seluk beluk markas sengaja memberi semacam obat bius
pada para penjaga, hingga leluasa membuka kamar tahanan yang berisi tujuh orang
dan gudang peluru. Mas Madijo beserta tujuh tawanan yang dibebaskan membawa
tujuh kotak peluru dan senjata lainnya, hingga keesokan harinya Pasukan Belanda marah membabi buta mengejar dan membakar rumah penduduk yang dianggap menyembunyikan atau membantu para pejuang.
Kebetulan Hong
Cun ini punya adik Hong kyon seorang
yang pro Republik dan ikut tentara. Oleh mas Madijo, Hong Cun di
laporkan ke Pak Lurah Jayadi yang juga seorang anggota mobrig, “Pak Lurah, Hong Cun melu landa!”. “kowe kok ngerti! , geg kowe engko sing melu
landa!” bentak Pak Lurah. “kula belehen saiki mawon yen ngapusi pak Lurah!” Mas
Madijo meyakinkan. Kemudian disepakati
untuk menjebak Hong Cun, yaitu diundang ke tempat pak lurah dan diajak
mabuk-mabukan. Setelah mabuk, tubuh Hong Cun di gulung dengan tikar pandan dan
di pikul dari Tambran ke Sukowinangun dan dibawa ke kuburan Desa Sumber dodol.
Pada saat itu dipanggilkan adiknya yang juga pejuang, Hong Kyon untuk
mendapatkan penyelesaian, dan ultimatum dari Komandan S. Sukowati “piye Kyon,
ngkohmu kaya ngono kuwi, mati urip kari kowe, yen ora gelem mateni, kowe sing
tak pateni”. Sebuah keputusan yang sulit, namun demi perjuangan Kemerdekaan
republik , Hong kyon membunuh kakaknya sendiri.
Dikisahkan
juga, beliau sempat menyaksikan saat
eksekusi gembong FDR-PKI/Muso di alun-alun Magetan, yaitu Soetjipto seorang
Onder district Panekan yang akan di angkat Bupati PKI/Muso, dan Sipong Komandan
Laskar FDR-PKI/Muso yang dikenal punya ilmu kebal, hingga harus dicari
pengapesannya, yaitu tali kolor.
Begitulah secuil kisah Mas Madijo, seorang
pemuda pemberani dari Desa Kebonagung Magetan, Putra dari bapak Atmoredjo. Yang
kemudian hari menikah dengan gadis asal Madiun Siti Sulasmini dan akhirnya
meniti karir sebagai guru dan Kepala Sekolah, terakhir beliau menjabat sebagai
Kepala SD Negeri Munggut Madiun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar