Selasa, 12 Mei 2020

Pak Har (Alm) dan RRI Madiun Pioner Acara Pengantar Makan Sahur


*Pendengarnya Hingga Brunei Darussalam*

Oleh: Putut Wijayanto

Coba Anda perhatikan acara televisi ketika bulan Ramadhan, khususnya ketika waktu makan sahur, pasti semua saluran televisi punya acara yang hampir mirip. Kalau tidak ustadz berceramah diselingi tanya jawab interaktif, ya diselingi lawak, ada juga kuis, atau sinetron bernuansa dakwah, dan tidak lupa berderet iklan yang melebihi durasi acara utamanya. Namun itu semua sebenarnya diawali dari kota kecil di kawasan tengah Pulau Jawa, Madiun tepatnya.

Lewat Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Madiun tercetus acara Pengantar Makan Sahur untuk menemani orang yang menunaikan ibadah makan sahur. Ide brilian saat itu. Pada saat hari masih senyap, orang harus bangun tidur dinihari bahkan tengah malam, serasa berat jika tidak ada suara yang menemani. Acara tersebut bahkan juga berfungsi untuk membangunkan orang. Karena siaran radio itu dipancarkan lagi oleh hampir semua masjid, langgar, atau rumah kepala desa yang dipasangi pengeras suara setinggi pohon bambu.

Ya, saat itu memang teknologi komunikasi yang paling yahud dan murah hanya radio. Maklum fenomena itu memang terjadi era 70-80an, televisi memang sudah ada, namun bagi kebanyakan orang masih merupakan barang mahal. Siaran televisi (TVRI) saat itu juga masih terbatas 8 jam saja (16.00 – 24.00 WIB). Maka yang menjadi andalan orang untuk mendapatkan informasi dan hiburan ya radio. Peluang itu ditangkap RRI Madiun dengan jitu. Saat ibu-ibu bangun tengah malam menyiapkan makan sahur, saat orang tertatih-tatih dan berat membuka mata untuk makan sahur, RRI Madiun membuat siaran yang menemani orang-orang yang akan menunaikan ibadah puasa.

Isi acaranya berupa ceramah agama singkat, disambung tanya jawab tentang segala permasalahan yang terkait agama via surat atau kartu pos (ini yang durasinya lama, bisa 2 jam). Memang teleponpun sudah ada, namun sekali lagi barang itu masih langka dan mahal. Interaksi pendengar dan pengisi acara (presenter dan narasumbernya) ya memang harus memanfaatkan jasa Pak Pos. Dan ketika jeda, pengisi acaranya juga makan sahur, maka sebagai hiburan diputarlah lagu-lagu bernuansa Islami. Seminggu sekali juga dibuka sayembara dengan pertanyaan sekitar masalah agama, satu dua (tidak banyak) ada juga iklan sponsor acara. Persis kebanyakan acara-acara di televisi swasta ketika Ramadhan saat ini (ada ceramah, ada interaksi, ada hiburan nyanyi plus lawak, dan ada kuis dengan bejibun iklannya). Jadi dengan mantap harus dikatakan RRI Madiunlah pioner acara pengantar makan sahur. Boleh dibilang ini juga sebagai acara live talkshow (meski via radio) acara keagamaan pertama di Indonesia.

Lalu siapa yang menjadi tokoh sentral acara itu? Orang akrab menyapanya Pak Har (alm), nama lengkapnya Haryadi. Pria kelahiran Takeran Magetan 26 Agustus 1926 yang telah meninggal 24 Agustus 1997 lalu, jejaknya masih terkenang bagi masyarakat sekitar Madiun khususnya dan pendengar seantero negeri (yang menjadi penggemarnya) pada umumnya. Seantero negeri? Ya seantero negeri. Karena pendengar Pengantar Makan Sahur tidak hanya orang sekitar Madiun, namun hingga luar Jawa Timur bahkan mereka yang di seberang lautan, bahkan hingga Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Saat itu memang frekwensi AM RRI Madiun bisa ditangkap di negeri-negeri jiran tersebut.

Para penggemar itu akhirnya tidak sekadar berkirim surat dalam hubungan pekerjaan (tanya jawab masalah agama). Banyak pula surat penggemar yang bersifat pribadi menumpuk di kediamannya. Selain ditujukan ke alamat RRI Madiun, banyak pula surat yang ditujukan ke alamat rumah Pak Har.

Pak Har bukan pegawai RRI, dia pengisi acara lepas. Dia mampu menjadi narasumber yang mumpuni, namun rendah hati. Wawasan agamanya cukup dalam, karena dasarnya dia adalah guru agama di salah satu sekolah Islam, dia juga takmir Masjid Besar Madiun (rumahnya di gang Suronatan nomer 14, memang tak jauh dari situ). Segala pertanyaan dari pendengar dia jawab berdasarkan dalil naqli Al-Qur’an dan hadist, serta dari kitab-kitab fiqh dan kitab-kitab agama Islam lainnya. Pertanyaan yang lebih condong ke hal-hal sosial kemasyarakatan yang lebih dekat kepada dalil aqli juga dijawabnya dengan cerdas. Hebatnya ketika dia belum menemukan jawaban, dia dengan ikhlas dan rendah hati meminta maaf kepada penanya untuk mencari jawabannya. Setelah menemukan jawabannya, maka dia sampaikan jawaban itu keesokan harinya.

*Pak Har Tokoh Multitalenta*
Masa kecil Pak Har bisa dikatakan kurang bahagia, karena ketika berumur tiga tahun sudah ditinggalkan ayahnya, kemudian menyusul ibunya yang meninggal ketika melahirkan adiknya. Lalu Haryadi kecil diasuh Kiai Imam Mursyid pendiri Pesantren Sabilil Mutaqien (PSM) yang sangat terkenal di Takeran Magetan. “Itulah yang diceritakan kepada saya. Dia itu sejak kecil tidak tahu siapa bapak ibunya,” ujar Dra Hj Asngati Haryadi/Bu Har (74), istri Pak Har.

Lewat Bu Har inilah banyak kisah pribadi Pak Har bisa digali, sementara kisah sepak terjang Pak Har di RRI kurang maksimal. Karena meski dalam hubungan suami istri, mereka punya kesibukan sendiri-sendiri, Bu Har juga bekerja sebagai guru. Hanya sekilas-sekilas saja data mengenai aktivitas Pak Har di RRI yang bisa digali dari Bu Har. Sementara rekan-rekan siaran seangkatannya sudah banyak yang tiada. Ada satu dua pensiunan RRI yang bisa bercerita mengenai Pak Har namun juga kurang lengkap, karena orang yang dianggap senior itupun juga masih “adik kelas jauh” Pak Har.

Imam Soeprapto, salah satunya, pensiunan RRI Madiun yang dulu sering siaran bareng Pak Har (terakhir menjabat Kepala Bagian Siaran) yang sekaligus menjadi salah satu sahabatnya, juga tak tahu persis kapan Pak Har mulai siaran di RRI Madiun. “Saya termasuk senior dan dekat dengan Pak Har, namun kapan pastinya beliau mulai siaran saya tak tahu,” ujarnya.

Kisah pribadi yang dituturkan Bu Har, bahwa Pak Har itu seorang yang multitalenta. Selain kedalaman ilmu agamanya, Pak Har muda pernah menjadi tentara. Bahkan ketika meletus peristiwa Madiun 1948, dalam salah satu pertempuran Pak Har terkena granat pada lengannya. “Tangan kanannya itu terputus, karena terkena ledakan granatnya sendiri,” kenangnya.

Selain itu menurut Bu Har, suaminya dulu juga pernah kursus kewartawanan. Maka tak heran jejak-jejak ilmu komunikasinya sangat terasa ketika dia menjadi komunikator saat siaran. Dan satu lagi, sebenarnya Pak Har adalah seniman ulung (yang akan diulas pada sub judul selanjutnya).

Namun dari berbagai talenta yang dimilikinya itu dua hal yang sangat menonjol, yakni dunia dakwah dan seni (yang pada akhirnya dua hal tersebut dapat berpadu). Sebagai guru agama, apalagi masa kecil dan remajanya dihabiskan di pondok pesantren tentu ilmu dan wawasan keagamaan Pak Har sangat mendalam. Selain mengisi ceramah dan talkshow keagamaan di RRI, Pak Har juga sibuk berkeliling seantero Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk berdakwah dari masjid ke masjid, dari kampung ke kampung, dari satu acara peringatan keagamaan ke acara keagamaan Islam lainnya. "Selain siaran, ya dia itu juga berceramah ke berbagai tempat. Kalau ceramah ya bisa sampai Jepara Jawa Tengah. Saya pernah diajak ke Cepu. Kalendernya itu penuh jadwal berceramah. Apalagi kalau bulan Ramadhan, setiap hari pulangnya jam 1 pagi. Istirahat sebentar, jam 2 sudah harus berangkat lagi ke RRI,” ujar ibu depalan anak yang juga nenek 26 cucu ini.

Hebatnya pula sebagian besar uang transportnya berkeliling dakwah itu tidak dinikmatinya sendiri. Demikian pula uang saku sebagai takmir masjid malah tidak pernah dibawa pulang. Ada orang-orang yang menurut Bu Har lebih berhak menikmatinya. “Ya kalau dapat dari ceramah itu biasanya dikasihkan ke sopirnya. Uang dari Masjid Besar itu juga dikasihkannya kepada anak-anak remaja masjid,” sambungnya.

Kesibukan Pak Har yang luar biasa itu, terutama saat Ramadhan, akhirnya dibatasi juga oleh Bu Har. Usia menjadi alasan utamanya. “Akhirnya jika bulan puasa saya anjurkan tidak berceramah keliling lagi. Khusus hanya siaran di RRI saja,” katanya.

Pada sisi lain, tidak ada orang yang mampu bertahan lama menggantikan siaran Pengantar Makan Sahur. “Tidak ada yang mampu datang tepat waktu. Pak Har itu selalu on time, bahkan setengah jam sebelumnya beliau sudah siap di tempat siaran,” tambah Imam Soeprapto. Totalitas dakwah Pak Har terutama di RRI dia buktikan hingga akhir hayatnya. Dikisahkan Bu Har, malam itu Pak Har masih mengisi acara ceramah agama di RRI (bukan bulan Ramadhan), dan pagi harinya sempat menjadi imam di Masjid Besar. “Jadi Pak Har itu ketika meninggal tidak mengalami sakit parah,” kenang buyut 4 orang cicit ini.

*Bermula dari Dongeng*
Inilah bakat luar biasa Pak Har, mendongeng! Seingat Bu Har, awal siaran Pak Har di RRI Madiun mengisi acara Dongeng Anak sekitar tahun 1957an. Saat itu RRI Madiun masih berada di Jalan Pahlawan (RRI lalu pindah di dua alamat lagi, Jalan Kalimantan dan terakhir di Jalan Mayjend Panjaitan). Bahkan dari mendongeng inilah RRI Madiun sangat terkesan dengan Pak Har, lantas menawarinya untuk mengisi acara ceramah dan pengantar makan sahur. “Ya, seingat saya anak saya nomer dua lahir, Pak Har sudah mendongeng di RRI. Kami menikah tahun 1951,” kenang Bu Har.

Dongeng yang dibawakannya berisi kisah-kisah para nabi, kisah-kisah para pejuang Islam, dan kisah para aulia, dan kehidupan sehari-hari yang dia kaitkan dengan ajaran agama Islam. Juga dongeng-dongeng tradisional umumnya (legenda, fabel, dan sebagainya) yang dia padukan dengan petuah-petuah ajaran Islam. Dia bawakan dalam bahasa Jawa yang halus, yang terkadang dia padukan dengan bahasa Indonesia yang tertata rapi. Tak heran jika hari Jumat sore anak-anak sudah siap di depan pesawat radionya.

Materi dongeng itu dia ambil dari Al-Qur’an, hadist, buku-buku agama lain, kisah-kisah kehidupan sehari-hari, serta dari dongeng tradisional yang terkenal pada umumnya. Namun tak ada yang bisa bercerita bagaimana proses kreatif Pak Har dalam mendongeng. Tak juga Bu Har dan Imam sendiri, tak tahu persis bagaimana Pak Har menyusun dongengnya itu. Tidak ada yang tahu persis juga bagaimana awalnya Pak Har belajar mendongeng. Dugaannya, bahwa Pak Har belajar mendongeng secara otodidak. “Yang jelas Pak Har itu selalu mengaitkan dongeng-dongengnya dengan ajaran agama yang diambilnya dari Al-Qur’an. Juga dongengnya sangat menekankan pendidikan budi pekerti,” ujar Imam.

Kepiawaian Pak Har dalam mendongeng sangat diakui oleh Imam. Penguasaan materi, penghayatan kata-kata, penjiwaan, transfer emosi kepada pendengarnya, tata bahasa yang rapi (baik bahasa Jawa maupun bahasa Indonesianya) sangat mengena. “Belum ada yang menandinginya dalam hal mendongeng. Jika yang disampaikannya itu suasana sedih, pendengar juga ikut sedih. Suasana gembira, takut, merasa bersalah, santai, atau tegang mencekam semuanya dapat dirasakan oleh yang mendengarnya,” kenang Imam setengah memuji.

Bisa dikatakan selain sebagai pendakwah, Pak Har adalah seorang maestro seni. Sayang prestasinya itu sudah terlupakan. Tak banyak yang mengingatnya lagi, apalagi sekadar penghargaan atau apresiasi dari pihak-pihak yang seharusnya berwenang. Dan sayang seribu sayang materi dongengnya juga tak ada yang sempat membukukan. Tak kurang pernyataan ini juga yang sempat mampir ke Bu Har dari seorang cucunya. Rekamannya di RRI pun juga masih tanda-tanya, masihkah tersimpan dengan baik?

Biarlah dokumen itu tersimpan dalam benak dan ingatan orang-orang yang pernah mengenal dan mendengarnya. Dan apresiasi serta penghargaan itu biarlah Allah SWT yang mengurusnya di surga. Amin ya rabbal alamin.

_*(diterbitkan Majalah Visi – BPMTP Kemdikbud – edisi 9 tahun 2012)*_ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar