Simbol MOBPEL (Mobilisasi Pelajar) |
Sejarah Perjuangan Mobpel (Mobilisasi Pelajar)
Mobilisasi Pelajar (MOBPEL),
sebuah nama dan singkatan yang cukup asing bagi masyarakat pada umumnya ,
bahkan di kalangan mahasiswa sejarah dan pengamat sejarah. Nama Mobilisasi Pelajar
sangat jarang dikenang atau diabadikan, bahkan tidak ada monumen khusus
seabagai penanda perjuangannya. Hingga apa
yang dimaksud dengan Mobilisasi Pelajar pun tampaknya masih banyak yang tidak
mengetahuinya. Seperti sebuah jalan di wilayah Kota Madiun, dan satu-satunya
nama jalan yang menggunakan nama kesatuan pejuang yang cukup asing ini, yaitu Jl.
Mobilisasi Pelajar. Sebuah jalan kecil
disamping SMA Negeri 5 Madiun dan SMK Negeri 4 Madiun, tampak disini cukup
membuat nama Mobilisasi Pelajar menjadi sumir, dengan kawasan sekolah yang
berada disekitarnya.
Mobilisasi Pelajar
adalah sebuah kesatuan pelajar yang ikut
berjuang membela Negara di era revolusi fisik pasca proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia, basis perjuangan anggota MOBPEL kebanyakan tersebar di K.O.D.M,
K.D.M seluruh wilayah territorial masing-masing dan berjuan bersama-sama dengan
penduduk setempat membantu Tentara dalam perjuangannya melawan pasukan penjajah
Belanda.
Jl. Mobilisasi Pelajar Madiun |
Diwilayah Madiun
selain terbentuk TRIP (tentara Republik Indonesia Pelajar) yang punya sejarah
perjuangan sangat heroik dengan tokoh Mulyadi salah satu anggotanya yang gugur
di depan sekolah SMP Pertahanan (red. SMP 2 Madiun) sebuah aksi heroik “student army”. Selain itu TGP (tentara Genie
Pelajar) yang lahir di ST (red. SMP 12 Madiun) dengan tokoh
heroiknya Mas Bagio Saparno, 2 pelajar
pemberani yang gugur karena bom yang digunakan untuk menghadang konvoi Belanda
meledak sebelum waktunya.
Mobilisasi Pelajar dibentuk
dalam upaya mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dari usaha Belanda
untuk menguasai kembali wilayah Hindia Belanda. Secara resmi instruksi
pembentukan MOBPEL pada 8 Mei 1949 berdasarkan Perintah Harian Panglima Komando Djawa tentang
pembentukan Mobilisasi Pelajar dalam tubuh TNI.
Semangat untuk ikut
berjuang mempertahankan Kemerdekaan menggelora di dada para pemuda dan
pelajar Indonesia. Maka dibentuklah
Mobilisasi Umum dan Pelajar untuk ikut berjuang melawan Agresi Militer Belanda.
Melalui KODM (Komando Onder District Militer) setempat di rekrut dan di latih
strategi perang dan menggunakan senjata.
Mobilisasi Pelajar
yang awalnya bersifat Bantuan dikarenakan situasi perang yang mendesak hingga
dengan pengetahuan dan kemampuan militer seadanya harus ikut bergerilya di
garis depan. Pada umumnya dalam 1 regu Mobilisasi Pelajar hanya dibekali 1 atau 2 senapan dan beberapa
pistol dengan peluru yang sangat terbatas dan dalam gerilya dilakukan
bersama-sama satuan tentara regular.
Sesuai penelusuran
seorang Mahasiswa Universitas Malang Jurusan Sejarah, Sdr. Bagus Ninar Kota Madiun
merupakan salah satu pusat dari kesatuan Mobilisasi Pelajar selain itu juga
terdapat di Surabaya, Malang dan Jogjakarta dengan jumlah anggota mencapai
1.114 orang pejuang berdasarkan data Kepala Staf “A” AD Tgl. 28 November 1950.
Saat Agresi militer II
1948-1949, Mobilisasi Pelajar diwilayah Madiun merupakan salah satu kesatuan
pejuang yang cukup aktif bergerilya menyerang pos-pos pasukan Belanda dan
membantu kesatuan lainnya dalam pengintaian-pengintaian, kurir dan logistik.
Markas-markas regu
Mobilisasi Pelajar banyak tersebar di hutan-hutan daerah Pegunungan Lereng Lawu
diantaranya Plaosan, Panekan, Jogorogo, Paron , Pilang kenceng, Geneng dan juga bermarkas di kantor-kantor KODM
setempat.
Sumber:
Historia Van Madioen,
Bagus Ninar 2016
Isi Perjanjian Renvile :
Setelah gencatan senjata tanggal 10 Agustus 1949, maka staf Pemerintah Militer Madiun, pindah markas dan kantornya di Kecamatan Kwadungan mulai September 1949. Demikian juga Staf MOBPEL S.T.M Madiun mengikuti pindah ke Desa Toya deka Kantor Kecamatan Kwadungan. Sedangkan kantor pusat S.T.M Madiun bertempat di Desa Budug, sebelah barat Desa Kajang. Bulan September dan Oktober 1949 Perwira MOBPEL Sdr. Soenoko Hadosoebroto dan Sdr. Soedamo Siswohadimartono keliling ke Markas K.D.M Madiun, Ponorogo, Pacitan dan Magetan untuk membentuk staf MOBPEL K.D.M-K.D.M yang akan melakukan registrasi Pelajar Pejuang yang telah berbakti sejak bulan Januari 1949, baik di K.D.M dan K.O.D.M maupundi Pasukan Tentara Mobil Batalyon Yudho ataupun di pemerintahan sipil.
1. Memberi penerangan bersama Sdr. Achmad Soewasis kepada rakyat di desa-desa sampai desa- desa di Kecamatan Kendal Ngawi yang intinya memberitahu bahwa Belanda dengan segala cara ingin menjajah kembali negeri ini, oleh karena itu rakyat diminta meningkatkan kewaspadaan dan bersatu-padu menghadapinya.
2. Memperketat penjagaan di gardu-gardu diseluruh desa di wilayah Panekan
3. Mengatur dan menetapkan tempat-tempat penyimpanan bahan makanan terutama beras/gabah di desa-desa yang ditunjuk dengan mendapat persetujuan camat dan kepala desa. Penyimpana bahan makan tersebut dipersiapkan guna menjamin makan kepaada pasukan mobil kita bila sewaktu-waktu datang kewilayah kita.
4. Sesekali melakukan serangan malam terhadap kedudukan pasukan Belanda di kota Magetan seperti di gudang kapuk yang bersifat gangguan-gangguan.
5.Mengambil seorang mata-mata dari dalam kota Magetan untuk dibawa keluar kota dengan cara menyamar menggotong jenazah pada malam hari sehingga terhindar dari kecurigaan Belanda
6. Mengawasi dan menjaga sekelompok orang keturunan Cina, baik laki-laki maupun perempuan beserta anank-anak mereka yang dicurigai kuat akan membantu Belanda untuk dibawa ke luar kota dan ditempatkan di Desa Bedagung Kecamatan Panekan. Mengenai penawanan terhadap sekelompok orang keturunan Cina dari kota Magetan tersebut menimbulkan pertentangan antara Kompi Bandono dengan kesatuan yang dibawah pimpinan Anwar Santoso. Namun akhirnya setelah diadakan perundingan di rumah Kepala Desa Widorokandang dapat dicapai kesepakatan antara kedua belah pihak , yang memutuskan agar segera mengembalikan sekelompok orang keturunan China itu ketempat semula di Kota Magetan.
7. Lettu Edy Subroto pernah menawan seorang wanita muda yang cantik yang diduga kuat menjadi mata-mata Belanda setelah kedapatan di pahannya ada tanda khusus.
8. Dan lain-lain, pengalaman bergerilya setahun lebih tak dapat di sebutkan satu-persatu
Dirangkum dari : Buku Kenang-kenangan Reuni IX
Paguyuban Keluarga Besar Ex-Mobilisasi Pelajar Pejuang Kemerdekaan RI tanggal
15-16 Juni 2002 di Malang Jatim
KISAH PEJUANG MOBPEL (MOBILISASI
PELAJAR)
Bapak Madijo
mengawali kisah perjuangannya saat beliau masuk sekolah SMP tahun 1946 di
Magetan sebuah kota kecil di lereng Gunung Lawu bagian timur. Beliau masuk SMP
Tahun 1946 yang pada saat itu ada sebuah Instruksi dari Wakil kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang bahwa semua
pelajar Tingkat SMP dan SLTA diwajib kan mengikuti pendidikan kemiliteran secara
fisik selama 3 bulan oleh Depo Militer. Pada saat itu SMP di kabupaten Magetan
hanya satu, yaitu sekolah Ex. HIS Belanda dan baru ada kelas I dan kelas II
sebanyak sepuluh kelas.
Saat perebutan
Kekuasaan Madiun oleh FDR-PKI / Muso, 18 September 1948. Beliau masih sekolah
SMP, menyaksikan sendiri gerobolan-gerobolan PKI menduduki Kota Magetan dengan
ciri membawa senjata arit dan berpakaian hitam-hitam. Mereka mencari-cari
orang-orang yang tidak mau tunduk pada FDR-PKI/Muso, seperti Tokoh PNI, Pamong,
Tentara, Polisi dan pemuda-pemuda yang tergabung IPI (Ikatan Pelajar Indonesia) termasuk Mas Madijo dan Kawan-kawan hingga melarikan diri kearah
Sarangan. Setelah adanya perintah langsung dari Presiden Sukarno untuk merebut
kembali Madiun dan sekitar dari PKI Muso, datang bantuan
Pasukan Siliwangi dari arah Sarangan, Mas Madijo beserta 10 rekannya yang saat
itu sedang melarikan
diri ke Sarangan bertemu dan ikut bergabung dengan pasukan Siliwangi.
Saat Agresi
Militer II tahun 1949, Belanda menduduki Madiun dan sekitarnya 26 Desember 1948.
Waktu itu Mas Madijo tergabung dalam PGSS ( Pasukan Gerilya Suprapto Sukowati)
dan bertugas sebagai Spionase dan Kurir, namun juga ikut gerilya sebagai
Foretroop Garis depan. Pusat perjuangan gerilya di
Magetan berpusat di 2 daerah yaitu, magetan selatan di Parang, dan Magetan
utara di Panekan.
Dalam
mejalankan tugas mengantar surat, Mas Madijo biasanya menyamar sebagai bakul
Kecap keliling, dengan kode-kode khusus surat disampaikan secara beranting. Selain tugas kurir, juga menjadi penunjuk
medan saat diadakan penyerangan gerilya oleh pejuang pada malam hari, maka biasanya
siang harinya Pasukan Belanda selalu membabi buta melakukan penyisiran dan
membakar rumah-rumah penduduk di sekitarnya, namun rakyat pada waktu itu sangat
mendukung pejuang Republik hingga mereka rela berkorban harta dan bahkan nyawa
demi kemerdekaan Republik Indonesia. Bapak Madijo mengenang hal itu merasa
sangat sedih, namun bersyukur sampai saat ini masih bisa mengemong anak cucu
dan berharap jayanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Banyak
kisah-kisah suka duka dalam perjuangan waktu itu, salah satunya hal yang cukup
menegangkan dan mengharukan kata Bapak Madijo , yaitu berawal saat beliau
dibujuk ikut Belanda oleh Hong Cun anak Juragan
Permen warga Tionghwa dan sempat diajak ke Tangsi Belanda, dirayu bahwa
kalau ikut Belanda bisa makan enak dan minum susu dan akhirnya ditahan. Pada
saat di dalam markas Belanda tersebut Mas Madijo ketemu juru masak Rumah sakit “Yu Sri” yang sudah
kenal dengan baik sebelumnya. Oleh Yu Sri sang Juru masak ditunjukan jalan
keluar berupa lorong menuju ke
sungai, namun Mas Madijo menginginkan sambil keluar harus membawa oleh-oleh peluru
dari Belanda. Pada malam itu Yu Sri yang paham tentang seluk beluk markas
sengaja memberi semacam obat bius pada para penjaga, hingga leluasa membuka
kamar tahanan yang berisi tujuh orang dan gudang peluru. Mas Madijo beserta
tujuh tawanan yang dibebaskan membawa tujuh kotak peluru dan senjata lainnya,
hingga keesokan harinya Pasukan Belanda membabi buta mengejar dan membakar
rumah penduduk yang dianggap menyembunyikan para pejuang.
Kebetulan Hong
Cun ini punya adik Hong kyon seorang
yang pro Republik dan ikut tentara. Oleh mas Madijo, Hong Cun di
laporkan ke Pak Lurah Jayadi, “Pak Lurah Hong Cun melu landa!”. “kowe kok ngerti! , kowe engko sing melu
landa!” bentak Pak Lurah. “kula belehen saiki mawon yen ngapusi pak Lurah!” Mas
Madijo meyakinkan. Kemudian disepakati
untuk menjebak Hong Cun, yaitu diundang ke tempat pak lurah dan diajak
mabuk-mabukan. Setelah mabuk, tubuh Hong Cun di gulung dengan tikar pandan dan
di pikul dari Tambran ke Sukowinangun dan dibawa ke kuburan Desa Sumber dodol.
Pada saat itu dipanggilkan adiknya yang juga pejuang, Hong Kyon untuk
mendapatkan penyelesaian, dan ultimatum dari Komandan S. Sukowati “piye Kyon,
ngkohmu kaya ngono kuwi, mati urip kari kowe, yen ora gelem mateni, kowe sing
tak pateni”. Sebuah keputusan yang sulit, namun demi perjuangan Kemerdekaan
republik , Hong kyon membunuh kakaknya sendiri.
Dikisahkan
juga, beliau sempat menyaksikan saat
eksekusi gembong FDR-PKI/Muso di alun-alun Magetan, yaitu Soetjipto seorang
Onder district Panekan yang akan di angkat Bupati PKI/Muso, dan Sipong Komandan
Laskar FDR-PKI/Muso yang dikenal punya ilmu kebal, hingga harus dicari
pengapesannya, yaitu tali kolor.
Begitulah sepotong kisah Mas Madijo, seorang pemuda pemberani dari Desa Kebonagung
Magetan, Putra dari bapak Atmoredjo. Yang kemudian hari menikah dengan gadis
asal Madiun Siti Sulasmini dan akhirnya meniti karir sebagai guru dan Kepala
Sekolah, terakhir beliau menjabat sebagai Kepala SD Negeri Munggut Madiun.
Perjuangan Para Pelajar dalam Kesatuan
Mobpel Sub Territorium Komando (S.T.M) Madiun.
Judul
artikel ini saya kutip dari sepotong kalimat Sambutan Ketua Umum Paguyuban
Keluarga Besar Ex. Mobilisasi Pelajar , yaitu Drs. H. Widarto pada reuni IX
tanggal 15-16 Juni 2002 di Malang.
Setelah
beberapa lama, merasa penasaran dengan kisah dan keberadaan pejuang Mobilisasi
Pelajar akhirnya berkat seorang kawan yang sedang menelusuri perjuangan Mobpel
dengan berusaha mendatangi dan mewawancarai secara langsung para pejuang Ex. Mobpel di wilayah Madiun dan
sekitarnya, kami mendapatkan buku kenang-kenangan reuni paguyuban keluarga
besar ex Mobpel.
Hingga
Keberadaan pejuang Mobpel yang sementara itu kami anggap tenggelam di balik
kemunduran nasionalisme dan ketidak pedulian generasi muda akan pentingnya
sejarah perjuangan bangsa maka hal ini sedikit menggugah kami untuk
mengingatkan kembali akan semangat dan pengorbanan para pelajar-pelajar yang
gagah berani membela bangsa dan tanah air.
Dalam buku
ini dikisahkan sejarah perjuangan para pemuda, pelajar dan masyarakat Madiun
dalam menghadapi berbagai musuh dan tantangan yang diawali peristiwa Madiun
Affair.
Jatuhnya
Madiun ke Tangan Pemberontak F.D.R / P.K.I MUSO
Dimulai 18
September 1948 terjadi “coup d`etat (perampasan Kekuasaan) oleh PKI/Muso dengan
menyerang dan menduduki markas dan bagian-bagiab pertahanan Jawa Timur pada
pukul 03.00 oleh kesatuan Brigad
29/Pesindo. Kesatuan-kesatuan dari brigade 29 dibawah pimpinan Kol.
Dahlan antara lain, Batalyon Musyofa di Kota Madiun, Batalyon Mursid di
Saradan, Batalyon Panjang Joko Priyono di Ponorogo, Batalyon Abdul Rahman dari
Kediri dan Batalyon Maladi Yusuf beroperasi di Ponorogo dan Sumoroto. Letkol
Marhadi dan seluruh stafnya di tahan.
Komandan CPM dan lainnya dibunuh. Hanya seorang staf pertahanan Jawa Timur yang
selamat, yaitu Kepala Seksi 3 Letkol Kartidjo.
Pasukan-pasukan
yang dipimpin oleh Sumarsono (pimpinan Pusat Pesindo), Kol. Dahlan, Kol Djoko
Sujono dari Brigade 29 dengan cepat menguasai Madiun. Mereka berhasil menguasai
Markas Besar Pertahanan Jawa Timur, Sub Territorium Komando Madiun, Depot
Batalyon CPM dan srama Polisi Negara Kota Madiun. Pemberontakan kemudian menjalar ke Purwodadi,
Grobogan, Blora, Cepu dan Kota-kota lainnya.
Pada
Keesokan harinya 19 September 1948 pukul 10.00 pagi, diumumkan melalui radio,
bahwa pemerintah daerah Madiun telah dipegang oleh rakyat dan berlaku pemerintahan
Front Nasional dan diumumkan pejabat-pejabat baru, seperti Walikota, Bupati,
Residen, dan Gubernur Militer. Gubernur Militer di pegang Sumarsono dan Komandan Militer Kota Madiun di angkat Djoko
Suyono.
Jatuhnya
Kota/Kabupaten Magetan Ke Tangan PKI Muso
Dua atau
tiga hari sebelum FDR-PKI Muso menyerbu Magetan, Sebagian besar kekuatan
Pasukan DEPO PPKP-V yang dikomandani Kapt. Soebirin berada di Sarangan karena
ada Pendidikan Militer Akademi.
Tanggal 19
September 1948 sekitar pukul 01.30 dini hari , massa FDR-PKI Muso menyerbu komplek Kabupaten
Magetan, mereka berpakaian hitam-hitam ikat kepala merah membawa berbagai
senjata. Dan mendirikan pemerintahan komunis dengan mengangkat Soetjipto ex.
Camat Panekan sebagai Bupati Pemerintahan Komunis FDR-PKI/Muso. Dalam
menghadapi pasukan pemerintah R.I , Pasukan merah CTN Brigade 29 Pimpinan Kol.
Dahlan yang bermarkas di Kediri (gabungan laskar minyak dan Pesindo) segenap
anggota Pesindo Magetan Pengurus IPPI (ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) Pro
PKI/Muso Cabang Magetan, Massa FDR-PKI/Muso semua dipersenjatai dan dikirim ke
Ngerong Plaosan guna disiagakan menghadapi Pasukan R.I
Penumpasan
Pemberontakan PKI/Muso
Sidang
Kabinet segera mengambil keputusan untuk menumpas pemberontakan di Madiun dan
menugaskan Panglima Sudirman. Keesokan harinya tanggal 19 September 1948 Presiden
Soekarno pidato, antara lain berbunyi : “Kemarin pagi PKI/Muso telah mengadakan
coup d`etat mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan disana
satu Pemerintahan Sovyet dibawah pimpinan Muso. Perampasan kekuasaan ini mereka
pandang sebagai permulaan untuk merebut seluruh Pemerintah Republik
Indonesia….dst”
Pasukan
TNI yang dikerahkan untuk menumpas Pemberontakan tersebut antara lain, Batalyon
Kian Santang pimpinan Mayor Sambas dari Brigade 2 Divisi Siliwangi. Sedangkan
dari arah barat, yaitu dari Surakarta masuk ke Sarangan guna menumpas PKI/Muso
di Magetan yaitu Batalyon Umar Wirahadi Kusuma dan Batalyon Lukas (putra
Magetan kelahiran Tambran), Juga dari Divisi
Siliwangi.
Pada tanggal
30 September 1948 Pasukan TNI berhasil menguasai kembali Kota Madiun serta
daerah sekitarnya. Dalam rangka
penumpasan PKI/Muso ini diangkat Kol. Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer
yang berkedudukan di Surakarta. Kurang
dari 2 minggu pemberontakan PKI/Muso bisa dihancurkan, namun juga banyak korban
dari masyarakat Madiun, salah satunya Mas Mulyadi anggota TRIP hingga ada
peringatan di Makam Pahlawan Madiun yang berbunyi “Mulyadi Minta Ganti”. Di
Magetan banyak tokoh masyarakat jadi kurban PKI/Muso diantaranya Pak Soehoed
ayahanda Letnan TNI-AD Kharis Soehoed, Guru-guru SMPN, Ulama/Kyai,Pejabat sipil
dan TNI/Polri bahkan sebagian besar anggota Polri termasuk Kepala Polisi Kab.
Magetan Insp. Polisi Klas I R. Ismuadi dibunuh PKI. Di Ngawi Kepala Polisi Kab.
Ngawi Insp. Polisi Klas I Barnadib bersama seorang putranya di Bunuh PKI/Muso di mobilnya diatas jembatan masuk Kota Ngawi, dan banyak lagi
kisah-kisah pebunuhan biadab PKI/Muso.
Sewaktu
TNI masuk Kota Madiun, Gerombolan Muso
dkk sudah melarikan diri dan sempat merusak kantor telpon Madiun dengan menggunakan Trekbom. Di Magetan
gembong-gembong FDR-PKI/Muso yng tertangkap kemudian dieksekusi diaas podium di
alun-alun Magetan ada 2 orang, yaitu Soetjipto Bupati PKI dan Sipong Komandan
laskar FDR-PKI/Muso (eks. PETA)
Agresi
Militer Belanda II
Disaat
baru menyelesaikan pemberontakan PKI/Muso Madiun, Tanggal 18 Desember 1948
pukul 23.00 malam Belanda melalui Dr. Beel selaku wakil tinggi Kerajaan Belanda
menyatakan tidak terikat lagi dengan perjanjian Renville, maka berarti pecahlah
perang kolonial II atau Agresi Militer Belanda II.
Dengan
pemboman besar-besaran lapangan Maguwo dan diikuti penerjunan pasukan Belanda
pada pukul 03.00 dini hari. Maka 19 Desember 1948 Jogjakarta jatuh ke tangan
Belanda. Presiden Soekarno, Moh. Hatta dan beberapa menteri ditawan dan diasingkan ke Prapat kemudian
dipindah ke Pulau Bangka. Namun sebelum itu telah dibentuk pemerintahan darurat
yang berkedudukan di Bukit Tinggi oleh
Menteri Kemakmuran Mr. Safrudin Prawiranegara untuk bisa mengendalikan
Pemerintahan RI agar bisa berhubungan dengan KTN (komisi Tiga Negara, Yaitu
Australia, Amerika Serikat dan Belgia)
Isi Perjanjian Renvile :
1.
TNI harus ditarik dari daerah kantong
, daerah kekuasaan Belanda
2.
Daerah-daerah RI yang telah diduduki
Belanda di adakan Plebisit
3.
Penentuan garis Demarkasi , yaitu
garis batas menurut garis Van Mook
Sebelumnya Semua Kesatuan Pelajar secara
organisatoris dikumpulkan dalam kesatuan Reserve Umum “W” (KRU “W”) dan menjelang
Agresi Militer II KRU “W” ini dibentuk menjadi Brigade 17/TNI
1. TRIP Jawa Timur menjadi Detasemen I
dibawah pimpinan Mayor Isman
2. TP Solo menjadi Detasemen II dibawah
pimpinan Mayor Acmadi
3. TP Jogjakarta menjadi Detasemen III
dibawah pimpinan Kapten Martono
4. TP Jawa Barat menjadi Detasemen V di
bawah pimpinan Kapten Solichin
5. Batalyon TGP menjadi Detasemen V di
bawah pimpinan Kapten Hartawan
6. Pasukan Mobrig M.B.T menjadi Detasemen
Staf di bawah pimpinan Lettu. F.B.A Oetoro
7. Corps Mahasiswa (CM) menjadi kompi “M”
dan beberapa orang anggotanya ditempatkan sebagai anggota staf Brigade yang
kepala stafnya adalah Mayor Soekendro
Saat
Belanda meyerbu Jogjakarta, masing-masing detasemen tersebut di atas beroperasi secara taktis dibawah
Divisi dimana mereka berada, sedangkan staf Brigade XVII langsung berada di
bawah Markas Besar Komando Djawa (M.B.K.D) yang dipimpin oleh Kolonel A.H.
Nasution.
Sebelum pecah Agresi Militer Belanda II
ada sekitar 7 karesidenan yang belum diduduki pasukan Belanda, yaitu Karesidenan Kediri, Madiun, Surakarta,
Jogjakarta, Kedu, Banyumas/ Purwokerto dan Bojonegoro. Diluar itu semua daerah
telah di duduki Belanda, bahkan telah dibentuk Negara-negara Boneka seperti :
1.
Dewan Federal Borneo, tanggal 9
Desember 1947
2.
Negara Madura, 23 Januari 1948 dengan
pimpinan : Cakraningrat Wangsa Kusuma
3.
Negara Jawa Barat, tanggal 16 Februari
1948
4.
Negara Pasundan, Tanggal 26 Februari
1948
5.
Negara Sumatera Timur, Tanggal 24
Maret 1948
6.
Negara Jawa Timur Tanggal 16 November
1948
7.
Negara Indonesia Timur
8.
Negara Republik Maluku Selatan,
Pimpinan Dr. Soumokil.
9.
Negara Papua.
Negara-negara
itu semua merupakan Negara bagian dari Bentuk Negara Federal
Madiun
Jatuh Ke tangan Belanda
Sesudah
Jogjakarta sebagai Ibukota RI jatuh, maka sepekan kemudian Madiun diserang dari
Udara dan darat. Serangan terjadi pada tanggal 25 Desember 1948 menjelang
petang hari, 6 pesawat tempur Mustang
memutahkan granat ke sasaran darat, stasiun Kereta Api, hotel Merdeka
dan beberapa tempat lainnya, namun serangan itu tidak mengenai sasaran.
Serangan darat dilancarkan menggunakan beberapa kendaraan lapis Baja oleh
Marinier Brigade dari Cepu yang memecah menjadi dua jurusan Yakni Ngawi -
Maospati dan Ngawi – Saradan. Serangan ini juga dibantu oleh Kolone dari
Brigade V (Kolonel De Vries) dari Solo dengan jurusan Tawangmangu – Magetan.
Semua pasukan bertemu di Kota Madiun pada tanggal 26 Desember 1948.
Dalam
menghadapi Agresi Militer Belanda II di wilayah Madiun hanya dipertahankan oleh
1 Batalyon, Yakni Batalyon 40 / Yudho dibawah pimpinan Mayor Sukowati. Batalyon
ini terbentuk sesudah Rera dan berasal dari Resimen Madiun, selain Batalyon 40
terdapat pula Batalyon M.B.B (Mobiele Brigade Besar) dari Polisi dengan
pimpinan Komisaris Polisi Yasin.
Mengingat
wilayah pertahanan yang cukup luas maka Dan Yon “Yudho” Mayor Suprapto Sukowati
mencari pemecahan dengan mendayagunakan seoptimal mungkin potensi daerah dengan
salah satu cara ialah membentuk Pasukan Gerilya “SS” (singkatan dari Suprapto
sukowati) yang mendapat bantuan rakyat sepenuhnya. Pasukan Gerilya “SS” ini
terdiri dari pangkalan-pangkalan yang membawai pos-pos. di Madiun selatan
terdapat Pasukan Gerilya “SS” pangkalan VII yang bermarkas di Desa Ngongko
(kebonsari) dengan Komandan Sumartono seorang siswa Akademi Militer Jogjakarta.
Pasukan Gerilya “SS” semakin banyak anggotanya dan tersebar di wilayah
Karesidenan Madiun, termasuk yang ada di Magetan sector Utara, yaitu di daerah
Kecamatan Panekan, dibawah pimpinan Letnan Soewandi ( terakhir menjabat Danyon
502/ Raider).
Terbentuknya
Mobilisasi Pelajar (Mobpel)
Diluar
Brigade XVII / TNI masih ada pula kesatuan-kesatuan pelajar pejuang yang
menjadi bagian dari Divisi atau Brigade TNI lain, seperti Laskar Ikatan Pelajar
Indonesia (IPI) Blitar pimpinan Soewito / Soetomo. Kemudian Persatuan Pelajar
Pejuang (PPP) Nganjuk / Mobilisasi Pelajar KDM Nganjuk Pimpinan Soenardi.
Para
pejuang Nganjuk tersebut ikut berberilya didaerah Nganjuk selatan dan Timur.
Juga ikut gerakan-gerakan TNI dalam melakukan serangan umum terhadap kedudukan
pasukan Belanda di Kota Nganjuk dari 4 Jurusan pada tanggal 1 Maret 1949.
Misalnya seperti Kompi Sturm Apieilung pimpinan Kapten Muktijo dan Kapten
Mashuri, dibawah Brigade Letkol Slamet
Rijadi.
Pasukan
Pelajar IMAM di Banyumas/Purwokerto di bawah Divisi V Pimpinan Kolonel Gatot
Subroto. Pasukan “T” dibawah Brigade Ronggolawe dan Pasukan-pasukan Pelajar
lainnya
Disamping
kesatuan tempur, M.B.K.D juga membentuk sebuah Korps yang bernama Mobilisasi
Pelajar (MOBPEL). Mobpel dibawah pimpinan orang-orang CM (Corps Mahasiswa)
seperti Kapten Koentoadji, Lettu Usep Ranuwijaya dan Lettu Soetomo Adisasmito.
MOBPEL bertugas mengerahkan tenaga rakyat dalam Hankamrata.
Dasar
Hukum dibentuknya Mobilisasi Pelajar (MOBPEL)
- UUD 1945 Bab XII Pertahanan Negara
- Perintah Kilat No.1/PB/D/48 tanggal 19
Desember 1948 dari Panglima Besar APRI
- Maklumat Markas Besar Komando Djawa
No. 2 / MBKD
- Surat Keputusan Kepala Staf ANgkatan
Perang Republik Indonesia No. 1/U/GSAP/1949 tanggal 1 Februari 1949 tertanda
Kolonel T.B. Simatupang. Berisi petunjuk pelaksanaan Mobilisasi Pelajar dari
SMP. SMA dan Mahasiswa dari Perguruan Tinggi yang belum tergabung dalam Brigade
XVII/TNI. Isinya memberi pedoman/ketentuan meliputi 3 hal :
1. Untuk menambah kepastian dan mengisi
kekosongan dalam bermacam-macam lapangan
dalam pemerintahan militer
2. Mengerahkan tenaga-tenaga pelajar
dengan diorganisir dan ditempatkan dibawah Komando Pemerintah Militer
3. Sebagai langkah pertama kearah
Mobilisasi Umum
Surat
Keputusan Kepala Staf Angkatan Perang RI No.1/U/GSAP/1949 tanggal 1 Februari
1949 kemudian diperkuat dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah RI No.9
tahun 1949 tanggal 28 September 1949 tentang kewajiban berbakti bagi pelajar di
Jogjakarta dan ditandatangani oleh :
1. Presiden Republik Inndonesia :
Soekarno
2. Menteri PP & K : Sarmidi Mangunsarkoro
Diumumkan
pada tanggal 29 September 1949 oleh sekretaris Negara : Ag Pringgodigdo
Susunan
Organisasi Staf Mobilisasi Pelajar
MOBPEL
Tingkat Pusat
1. Komandan
Ops MOBPEL: Kapten Koentoadji (Mayj.
Pur. Prof Ir. H. Koentoadji)
2. Kepala
Staf : Lettu
Moeljono
3. Dibantu
Anggota : Lettu Soejanto (
Marsekal Madya Purn. Soerjanto)
Di tingkat
Sub Territorium Militer Madiun (S.T.M Madiun)
1. Perwira MOBPEL: Letda Soenoko
Hadisoebroto
2. Staf MOBPEL : Letda R. Tranggono
Susunan
diatas untuk periode Juni 1949 – Januari 1950. Dan mulai tanggal 1 Februari
1950, perwira MOBPEL STM Madiun dijabat oleh Letda R. Tranggono menggantika
Letda Soenoko yang alih tugas ke Jakarta dan dibantu oleh :
1. Kepala Staf MOBPEL S.T.M Madiun: Letda
Christianto Prajitno
2. Bagian Administrasi : Letda Soegiarto BS
3. Bagian Organisasi : Letda Syamsu`ud Sadjad
4. Bagian Supply : Letda Soedamo Siswohadimartono
5. Bagian Urusan Pelajar : Letda Tohir Gunawan
6. Pembantu Bagian Adm. : Sersan May. Setyo Pramono
Kegiatan
selanjutnya membentuk MOBPEL di seluruh Karesidenan Madiun. Pada 8 Mei 1949 di
dukuh Recobanteng Desa Wonorejo , Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi,
bersamaan diadakan rapat MOBPEL. Pasukan Belanda menyerang wilayah utara Gunung
Lawu, yang sebelumnya sudah diketahui Belanda keberadaan Markas-markas Pejuang
MOBPEL , K.D.M Ngawi dan Batalyon Yudho
Pimpinan Mayor Suprapto Sukowati. Dengan serangan itu jalan-jalan strategis
Ngawi-Paron-Jogorogo-Ngrambe –Wlikukun dapat dikuasai Belanda. Sehingga Markas
MOBPEL S.T.M Madiun, K.D.M Ngawi dan Batalyon Yudho harus meninggalkan daerah
kaki Gunung Lawu pindah ke Pegunungan Kendheng berbatasan dengan wilayah MOBPEL
S.T.M Bojonegoro, tepatnya Dukuh Jubleg dan Pule Desa Kenongorejo kecamatan
Karangjati Kabupaten Ngawi.
Tanggal 25
Desember 1949 Staf MOBPEL S.T.M Madiun menyelenggarakan konperensi yang di
hadiri Pembantu-pembantu Perwira MOBPEL dari K.D.M Pacitan, K.D.M Ponorogo, K.D.M
Magetan, K.D.M Ngawi / K.M.K Madiun beserta staf. Hadir juga Bapak Soediro
Residen Madiun dan Komandan S.T.M Madiun.
Yang
membahas tata cara
pengembalian anggota MOBPEL ke sekolah atau ke sekolah lanjutan, mengusahakan
asrama pelajar pejuang yang berasal dari luar Madiun, menyelesaikan surat tanda
Mobilisasi dan Demobilisasi serta daftar anggota seluruh Demobilisian yang akan
dimintakan penghargaan pada Pemerintah RIS.
Hingga terbit surat Penetapan tanggal 9 Januari 1950 ditanda tangani
oleh Kapten Mudijono Perwira Staf MOBPEL Gubernur Militer Djawa Timur.
Terbentuknya
Staf Mobilisasi Pelajar K.D.M Ngawi dan S.T.M Madiun
Di Dusun
Reco Banteng, Desa Wonorejo dekat dengan peninggalan purbakala Candi
Recobanteng, atas prakarsa Sdr. Soenoko Hadisoebroto diadakan pertemuan,
diiringi suara dentuman peluru pasukan Belanda yang mengadakan operasi
pengejaran di wilayah Geneng dan Paron. Berkumpul Sdr. Soenoko, Sdr Soedamo
Siswohadimartono, Sdri Indiati, Sdr. R Tranggono, Sdr. Tohir Gunawan dan
beberapa Pelajar Pejuang.
Pada saat
itu 8 Mei 1949, pertemuan membicarakan perintah Harian Panglima Komando Djawa
tentang pembentukan Mobilisasi Pelajar dalam tubuh TNI. Dalam pertemuan yang
sangat bersejarah itu terbentuk Staf Mobilisasi Pelajar K.D.M Ngawi dengan
pimpinan Soenoko Hadisoebroto. Pada bulan beikutnya , yaitu Juni 1949 segenap
anggota Staf Mobilisasi Pelajar K.D.M Ngawi menghadap komandan dan Kepala Staf
Sub Teritorium Militer Madiun, Letkol. Marijadi dan Mayor Guritno guna
membicarakan Staf mobilisasi S.T.M Madiun.
Pada saat
itu Staf Komando S.T.M Madiun berada di wilayah G. Kendeng, yaitu Dukuh Jubleg diperbatasan
antara Karesidenan Madiun dengan Karesidenan Bojonegoro. Mengingat situasi dan kondisi pada waktu itu,
Pimpinan S.T.M Madiun memutuskan bahwa semua jajaran staf MOBPEL K.D.M Ngawi
ditetapkan sebagai Staf MOBPEL STM Madiun
dengan susunan personil sebagai berikut :
1. Perwira Mobilisasi Pelajar : Soenoko Hadisoebroto alias Bambang Soemitro
2. Kepala Staf MOBPEL : R. Tranggono
3. Anggota-anggota staf MOBPEL : Crhistanto Prajitno, Soegiarto BS, Soedamo Siswohadimartono, Tohir Gunawan, dan Soetio Pramono.
1. Perwira Mobilisasi Pelajar : Soenoko Hadisoebroto alias Bambang Soemitro
2. Kepala Staf MOBPEL : R. Tranggono
3. Anggota-anggota staf MOBPEL : Crhistanto Prajitno, Soegiarto BS, Soedamo Siswohadimartono, Tohir Gunawan, dan Soetio Pramono.
Dengan
demikian terbentuklah Staf Mobilisasi Pelajar S.T.M Madiun. Kegiatannya diantaranya :
Sdr.
Soenoko Hadisoebroto keliling keseluruh Karesidenan Madiun untuk membentuk staf
Mobilisasi Pelajar K.D.M-K.D.M sewilayah S.T.M Madiun
Sdr. R.
Tranggono menghadap ke staf MOBPEL Markas Besar Komando Djawa (M.B.K.D) Sdr.
Koentoadji, guna melaporkan dan mendapatkan penetapan dari M.B.K.D dan setelah
itu melaporkan hal yang sama kepada Staf Gubernur Militer Djawa Timur (G.M.D.T)
yang diterima oleh Sekretaris G.M.D.T, Kapten Mutakat Hurip, pada saat yang sam
R. Tranggono di angkat oleh M.B.K.D sebagai Perwira Wartawan.
Setelah gencatan senjata tanggal 10 Agustus 1949, maka staf Pemerintah Militer Madiun, pindah markas dan kantornya di Kecamatan Kwadungan mulai September 1949. Demikian juga Staf MOBPEL S.T.M Madiun mengikuti pindah ke Desa Toya deka Kantor Kecamatan Kwadungan. Sedangkan kantor pusat S.T.M Madiun bertempat di Desa Budug, sebelah barat Desa Kajang. Bulan September dan Oktober 1949 Perwira MOBPEL Sdr. Soenoko Hadosoebroto dan Sdr. Soedamo Siswohadimartono keliling ke Markas K.D.M Madiun, Ponorogo, Pacitan dan Magetan untuk membentuk staf MOBPEL K.D.M-K.D.M yang akan melakukan registrasi Pelajar Pejuang yang telah berbakti sejak bulan Januari 1949, baik di K.D.M dan K.O.D.M maupundi Pasukan Tentara Mobil Batalyon Yudho ataupun di pemerintahan sipil.
Pada
pertengahan bulan November 1949, Tentara Belanda meninggalkan Kota Madiun
menuju Surabaya. Kemudian seluruh staf Pemerintah Militer S.T.M Madiun, K.D.M Madiun,
K.M.K Madiun kembali ke kota Madiun. Kantor STM Madiun menempati markas yang
sekarang ditempati Resimen ) 081 Madiun dan Rumah Dinas Residen Madiun. Seluruh
staf MOBPEL S.T.M Madiun, kantor dan tempat tidurnya di Markas S.T.M Madiun itu
sampai saat diadakan Demobilisasi 1 Juli 1950, yang meninggalkan S.T.M/P.S.T
Madiun terakhir adalah Sdr. Soedamo Siswohadimartono
Dirangkum
dari : Buku Kenang-kenangan Reuni IX Paguyuban Keluarga Besar Ex-Mobilisasi
Pelajar Pejuang Kemerdekaan RI tanggal 15-16 Juni 2002 di Malang Jatim
Pengalaman Seorang Pelajar Pejuang Dalam Perang Gerilya
Sejak kota
Madiun diserang pasukan Belanda, banyak penduduk Kota yang mengungsi ke tempat
yang dianggap aman. Maka saat itu terpanggilah hati nurani saya untuk ikut
berjuang. Kemudian bergabung dalam R.I.S.T (Republik Indonesian Student Troop)
karena terpaksa berpisah dengan teman-teman tersebut, maka saya bergabung
dengan kesatuan TNI yang bertugas di territorial, yaitu KDM Magetan. KDM
Magetan ada 2 sektor yaitu sector utara dan selatan, dan saya bergabung di
sektor utara, yakni KODM Panekan dibawah pimpinan Sersan Loso. Saya sendiri dri
unsure Pelajar Pejuang.
Perlu
diketahui cikal bakal TNI antara lain berasal dari : Ex. KNIL, Ex.PETA, Ex.
HEIHO, Ex. BKR/TKR, Ex. Laskar Hisbulah/Sabililah, Ex. BPRI, Ex. Laskar Rakyat,
Ex. TRP, TGP, TP dan MOBPEL dll.
Dahulu
kita berjuang benar-benar TANPA PAMRIH, TANPA DIBAYAR, TANPA
MENGHITUNG-HITUNG BALAS JASA. Saat
bergerilya kita lapar di beri makan penduduk, kehujanan di tamping berteduh
penduduk, saat diserang kita di beritahu penduduk. Peranan pak lurah,carik,
kamituwo, jogoboyo sangat besar.
Tugas-tugas territorial yang pernah saya lakukan di daerah kecamatan
(onder district) Panekan antara lain:
1. Memberi penerangan bersama Sdr. Achmad Soewasis kepada rakyat di desa-desa sampai desa- desa di Kecamatan Kendal Ngawi yang intinya memberitahu bahwa Belanda dengan segala cara ingin menjajah kembali negeri ini, oleh karena itu rakyat diminta meningkatkan kewaspadaan dan bersatu-padu menghadapinya.
2. Memperketat penjagaan di gardu-gardu diseluruh desa di wilayah Panekan
3. Mengatur dan menetapkan tempat-tempat penyimpanan bahan makanan terutama beras/gabah di desa-desa yang ditunjuk dengan mendapat persetujuan camat dan kepala desa. Penyimpana bahan makan tersebut dipersiapkan guna menjamin makan kepaada pasukan mobil kita bila sewaktu-waktu datang kewilayah kita.
4. Sesekali melakukan serangan malam terhadap kedudukan pasukan Belanda di kota Magetan seperti di gudang kapuk yang bersifat gangguan-gangguan.
5.Mengambil seorang mata-mata dari dalam kota Magetan untuk dibawa keluar kota dengan cara menyamar menggotong jenazah pada malam hari sehingga terhindar dari kecurigaan Belanda
6. Mengawasi dan menjaga sekelompok orang keturunan Cina, baik laki-laki maupun perempuan beserta anank-anak mereka yang dicurigai kuat akan membantu Belanda untuk dibawa ke luar kota dan ditempatkan di Desa Bedagung Kecamatan Panekan. Mengenai penawanan terhadap sekelompok orang keturunan Cina dari kota Magetan tersebut menimbulkan pertentangan antara Kompi Bandono dengan kesatuan yang dibawah pimpinan Anwar Santoso. Namun akhirnya setelah diadakan perundingan di rumah Kepala Desa Widorokandang dapat dicapai kesepakatan antara kedua belah pihak , yang memutuskan agar segera mengembalikan sekelompok orang keturunan China itu ketempat semula di Kota Magetan.
7. Lettu Edy Subroto pernah menawan seorang wanita muda yang cantik yang diduga kuat menjadi mata-mata Belanda setelah kedapatan di pahannya ada tanda khusus.
8. Dan lain-lain, pengalaman bergerilya setahun lebih tak dapat di sebutkan satu-persatu
Markas
kita tidak menetap disuatu tempat, melainkan berpindah-pindah guna menghindari
serangan mendadak oleh Pasukan Belanda. Sewaktu kota Magetan diduduki Belanda,
Residen Ardiwinangun beserta kepala-kepala Dinas/Jawatan Sipil mengungsi diDesa
Sumberdodol Kecamatan Panekan. Namun ketika Sumberdodol diserang Pasukan
Belanda, baik dari darat maupun udara maka tertangkaplah Residen dan
pejabat-pejabat yang lain dari tempat persembunyiannya untuk di bawa ke Madiun.
Serangan-serangan pasukan Belanda ke kota Magetan dan sekitarnya menyebabkan
sebagian penduduk kota banyak yang mengungsi sampai ke garis batas G. Lawu.
Pernah pada suatu pagi buta, kedudukan markas kita di Desa Wonokerto yang berbatasan
dengan Desa Widorokandang, yang memang tidak terlalu jauh dari kota Magetan,
diserang secara mendadak oleh Pasukan
Belanda menyebabkan kita lari tunggang langgang sambil membuang mesin tulis,
map-map arsip dan peralatan kantor lainnya ke kebun penduduk. Saya sendiri
dapat lolos dari penangkapan pasukan Belanda yang hanya berjarak kurang lebih 5
m dan tempat dimana saya tiarap diantara tanaman singkong, hal itu semata-mata
perlindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Berkat
informasi dan indikasi dari anak-anak kecil berlarian di pagi buta, maka
selamat dan loloslah kita dari sergapan Pasukan Belanda. Sekali lagi berkat
ketajaman mata dan telinga penduduk membuat kita sering diselamatkan. Banyak
pasukan kita yang terdesak dan berada di kaki G. Lawu, membuat saya sempat
pesimis atas kemenangan perjuangan kita melawan pasukan Belanda. Tetapi setelah
saya dan teman-teman membca Surat Edaran dari pemerintah Militer di Jawayang
ditanda tangani oleh Kol. A.H. Nasution yang antara lain isinya menyatakan bahwa
Pasukan Belanda takkan mungkin dapat menguasai kedudukan kita yang tersebar di
kantong-kantong gerilya di seluruh P. Jawa bahkan diseluruh Indonesia. Disebutkan sebagai contoh bahwa satu
karesidenan terdiri atas beberapa kabupaten dansatu kabupaten terdiri dari
beberapa kecamatan dan satu kecamatan terdiri dari beberapa desa dan satu desa
terdiri dari beberapa dukuh. Setelah membaca surat edaran tersebut maka
timbulah kembali semangat percaya diri yang lebih kuat daripada sebelumnya.
Perang gerilya kita memang seolah-olah perang kucing-kucingan yang
kadang-kadang kita harus menyerang dan kadang-kadang kita harus menghindar dari
musuh . ketika kitamemergoki satu regu pasukan Belanda masuk kampong, maka kita
biarkan mereka berlalu dengan aman. Bahkan saya dengan mata kepala sendiri
melihat salah seorang dari mereka sempat menukar sebungkus cigarette dengan
selirang pisang pada pedagang ditepi jalan setapak di Widorokandang. Mereka
Nampak dari wajahnya kelihatan masih muda-muda. Mungkinkah Belanda sudah
kekurangan tenaga personil militernya yang siap untuk diterjunkan kemedan
perang gerilya di Indonesia?
Satu regu
pasukan Belanda tersebut yang berjalan di galengan tengah sawah tidak kita
apa-apakan, mengingat resiko yang kita hadapi bila kita serang habis mereka,
maka kampong seisinya pasti akan dihabisi pula oleh pasukan Belanda dikemudian
hari. Pasukan Belanda yang aktif melakukan operasi ke daerah kantong-kantong
gerilya di wilayah magetan baik sektor selatan maupun sektor utara.
Kebanyakan
terdiri dari orang-orang Belanda sendiri dan orang-orang Ambon. Karena itu pastilah Belanda merasa punya
hutang budi pada orang suku Ambon. Pasukan Belanda disamping menghadapi begitu
luasnya pertempuran, juga harus mengeluarkan biaya operasi militer yang sangat
besar. Apalagi jika peperangan berlangsung lama, maka negeri Belanda yang kecil
dan sebagai penjajah yang miskin dan kikir itu pasti segera mengalami collaps.
Ternyata
pemikiran itu benar dan akhirnya Belanda mengadakan perjanjian damai dengan
pemerintah kita dengan mengakui dan menyerahkan kedaulatan bekas jajahannya,
yaitu Nederland indie kepada pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 27
Desember 1949. Penyerahan kedaulatan tersebut memang sudah menjadi ketentuan
dalam salah satu isi Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia
dan Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar