MasTRIP dari Kiri : Mbah Yusuf, Moh Asror dan Suyono |
Wawancara : Kisah Perlawanan Pemuda / Pelajar Madiun dalam era Kemerdekaan - Agresi
Militer Belanda II
Nara Sumber : Bapak Yusuf
Musdi dari Pejuang TRIP Madiun/pelaku
sejarah
Tempat/Waktu : Rumah Beliau Jl. Bali No. 16 Kota Madiun, Sabtu 4 Juni
2016 mulai pukul 09.30 WIB
Prakarsa : Kompas
Madya / HvM
Peserta :
Widodo, Jans Susetyo,Adung, Suharto, Dwi Harya Hamsah, Andrik S.
Belakang tampak di kursi roda : Ny. Is sujatie istri Mbah Yusuf Musdi |
Sabtu,
4 Juni 2016 menjelang bulan Ramadhan 1437 H / 2016 M, berawal ngobrol tentang kerawanan cagar budaya di Madiun, spontan ada
yang usul untuk mendokumentasikan kisah perjuangan tentara Pelajar di kota
Madiun, mengingat beliau-beliau para pelaku sejarah yang kini masih di beri
panjang yuswa sudah berumur hampir 80 tahunan.
Betul
saja pagi itu kami sudah membuat janji
dengan Mbah Yusuf Musdi satu-satunya Eks. Pejuang TRIP di Kota Madiun yang
masih tersisa. Seperti biasa kami
berangkat dari warung Kopi WBA Jl. Tamrin No. 50 dimana disini merupakan pos
teman-teman komunitas berkumpul. Bapak Yusuf Musdi, purna Dinas Kehutanan dan
eks. Brigade XVII dari MasTRIP yang dalemnya Jl. Bali no 16 Kota Madiun. Walau
pun beliau sudah yuswa 86 tahun namun masih tampak segar dan semangat.
Dengan
bersemangat Mbah Yusuf langsung bercerita tentang asal mula nama Madiun, dahulu terjadi
peperangan antara Panembahan Senopati
dengan Prajurit Putri Kadipaten Purabaya
yaitu Raden Ayu Retno Djumilah. Perang
tanding di sekitar Mbeji atau sendang, dengan ayun-ayunan yudha disertai rasa
kayungyun akan kecantikan Raden Ayu Retno Djumilah,maka Retno Djumilah di
persunting sang Panemabahan senopati menjadi permaisuri Mataram. Untuk menghilangkan rasa dendam antara Purabaya dan Mataram akibat perang,
tanggal 16 Nopember 1590 nama Purabaya diganti dengan nama Mbejiyun atau Mbediun dan berubah lagi
menjadi Madiun seperti sekarang ini.
Nah
berdasarkan hal tersebut Mbah Yusuf
merasa kecewa dengan pemerintah Kota Madiun yang dengan sembrono memilih dan mengambil Tonggak
Sejarah Hari Jadi Kota Madiun yang di dasarkan pada keputusan Staatsblad
Nomor 326 tahun 1918 Tanggal 20 Juli 1918, yang merupakan hari terbentuknya
Kotapraja Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di Madiun. Walau pun itu
merupakan fakta sejarah, namun mengapa itu diperingati sebagai hari jadi Kota Madiun ? Bukankah hal
itu berarti memperingati atas penindasan rakyat Madiun oleh Pemerintah Hindia
Belanda?
Sebenarnya
masih banyak pilihan untuk dijadikan tonggak sejarah Hari Jadi Kota Madiun, jika
Kabupaten Madiun telah menggunakan 18 Juli 1568 yang merupakan dilantiknya
Pangeran Timur sebagai Bupati Purabaya (red: Madiun) oleh Walisongo maka 16 Nopember 1590 yang merupakan perubahan
nama Purabaya menjadi Madiun sangatlah sesuai dan pas dengan perjuangan rakyat Madiun.
Demikian
mbah yusuf Musdi dengan semangat yang masih membara layaknya jaman perjuangan
dulu, menginginkan adanya koreksi atas penetapan Hari Jadi Kota Madiun yang berdasarkan
keputusan Pemerintah Hindia Belanda yang artinya kota Madiun lahir dari rahim
papi dan mami Belanda.
Melanjutkan
kisahnya Mbah Yusuf Musdi, seorang anak desa pinggir hutan dari daerah
Nganjuk melanjutkan sekolah ke SMP
Pertahanan di Madiun dan kemudian pindah ke Nganjuk dimana saat itu terjadi
gejolak perang, hingga memutuskan untuk ikut berjuang masuk TRIP. Diceritakan
oleh Mbah Yusuf Bahwa TRIP Madiun itu dulu latihan dan persenjataanya paling
lengkap, dikisahkan pula mengapa TRIP Madiun senjatanya paling lengkap? Karena
pada waktu Jepang menyerah pada sekutu kondisi Madiun masih dikuasai oleh
tentara Kempetai Jepang yang bermarkas di Jalan Pahlawan (red: markas Korem 081
sekarang), rupanya tentara Jepang itu sangat disiplin dan terasa berpihak pada
Belanda maka pada 29 September 1945 mulai tengah hari markas Kempetai dikepung
oleh pemuda-pemuda Madiun yang dipimpin oleh Kapten Sumantri dan Joko Sujono pemuda
eks Prajurit PETA walaupun didepan
markas Kempetai itu telah dipasang tiga mitraliur siap membrondong siapa saja
yang berani masuk halaman markas. Kejadian ini di ceritakan oleh pelaku sejarah
Yaitu Pak Suko Wijono yang dikisahkan kembali oleh Mbah Yusuf Musdi.
Pada
saat itu pemuda-pemuda terus mengepung markas Kempetai dengan jumlah semakin
banyak, hingga sekitar jam 5 sore, Pak Bupati Ronggo Koesnindar datang dari
selatan naik mobil dengan pakaian Jawa masuk kedalam markas, melakukan perundingan
selama kira-kira 3 jam, hingga Pak Bupati Ronggo Koesnindar keluar dan
menenangkan para pemuda yang menunggu semakin tidak sabar, pak Bupati segera menjelaskan beliau telah berunding dengan
Komandan Kempetei bahwa nanti tentara Jepang akan segera meninggalkan Madiun tanpa
senjata pada jam 10 malam dan akan
berkumpul di batalyon yaitu gedung Bosbow.
Senjata-
senjata tentara Jepang di kumpulkan dan di bagikan pada
pemuda-pemuda yang mau berjuang
terutama pelajar yang di atur oleh
Kapten Sumantri dan Joko Sujono. Pelajar-pelajar
di kumpulkan di sekolah guru (katto sihan gakko) yang berasrama di gedung Santo
Bernadus. Tiap-tiap kelompok pemuda di bagi senjata dan harus bertanggung
jawab. Hal ini mengapa pejuang-pejuang Madiun pada umumnya waktu itu sudah memiliki
persenjataan yang cukup lengkap.
Pada
September 1945 di Madiun banyak
berdiri kesatuan-kesatuan pemuda diantaranya Angkatan
Muda Kereta Api, Angkatan Muda PTT, Angkatan Muda Kehutanan dan lain-lain.
Pada
18 September 1948, tiba-tiba Pasukan PKI jam 02.00 malam menyerbu dan menawan pasukan Polisi Istimewa
di markas Mobrig Klethak, Kompol Sunaryo diculik dulu, dan Kolonel Marhadi Komandan
Garnisun di culik dan jenazahnya ditemukan di Desa Kresek, Dungus.
Pemuda-pemuda
Madiun pada saat itu sudah siap siaga jika terjadi penyerbuan atau penyerangan
dari gerombolan Muso dan organisasi pendukungnya terutama Pesindo.
TRIP
sebagai salah satu kesatuan bersenjata dibiarkan oleh Gerombolan Muso, karena
dianggap hanyalah anak-anak kecil yang memang baru berusia belasan, komandan
TRIP Pak Sabar Kumbino waktu itu baru berumur 19 tahun. Namun TRIP segera mengambil sikap membuat pernyataan , bahwa TRIP tetap
mendukung pemerintah Jogjakarta Sukarno Hatta. Maka Pada tanggal 23 September
1948 sore Markas TRIP SMP Pertahanan diserbu oleh
pasukan PKI dan gugur Pemuda Mulyadi.
Pasukan
Siliwangi yang sedang hijrah segera
membrantas gerombolan PKI , hanya dalam 13 hari Madiun dapat dikuasai penuh
Tentara Republik Indonesia, Karena PKI kejam maka Pasukan Siliwangi lebih
kejam.
Pada
19 Desember 1948, pasukan belanda menyerbu Jogjakarta dengan sandi operasi
Gagak (operatie craai) di Madiun Belanda masuk kota dari Maospati pada tanggal
23 Desember 1948 dengan persenjataan penuh.
Tanggal
24 Desember 1948 pasukan-pasukan Madiun
mundur ke wilayah selatan, dan 1 peleton TRIP ikut ke selatan.
Tanggal
25 Desember 1948 saat Hari Natal terjadi
pertempuran sengit di Pagotan “Palagan Pagotan”
3 orang anggota TRIP gugur ( Mas Mijan, Mas Suharto, dan satu lagi) ,
tentara 30 orang gugur kemudian Pasukan Belanda berhasil menguasai Madiun, Ponorogo
dan sekitarnya. Maka untuk mengenang pertempuran sengit tersebut, Mbah Yusuf
Musdi mengusulkan untuk jalan Pagotan-Dagangan
agar diberi nama Jl. Palagan Pagotan, syukur ditandai dengan monument
perjuangan.
Markas
Belanda pada saat itu berada di Gedung Kontroler ( sekarang Matahari Jl.
Pahlawan).
Pada
Bulan Januari 1949 Pasukan TRIP melakukan penyerangan secara gerilya ke markas
Belanda.
Pada
saat masa perang gerilya tersebut pasukan TRIP bermarkas di Desa Sebayi dan TGP
bermarkas di Desa Gemarang. Pada saat itu
banyak bermunculan lascar-laskar pemuda ikut bergerilya dan mendapat binaan
dari tentara ODM (red: Koramil)
setelah
Madiun dikuasai Belanda , pada saat itu banyak pelajar-pelajar yang nganggur
atau libur karena sekolah semua tutup maka pelajar-pelajar tersebut di mobilisasi
oleh Tentara untuk ikut bergabung berjuang dengan kesatuan-kesatuan yang ada,
di sebut MOBPEL yang sebelumnya juga
sudah ada Mobilisasi umum. Maka Mobpel selanjutnya tidak dimasukan dalam
Brigade XVII. Sedangkan TRIP, TGP, dan TP masuk dalam Brigade XVII
serangan
gerilya pada waktu itu dilaksanakan pada mlam hari, dengan menembak beberapa
tembakan untuk menghemat amunisi, kemudian dibalas rentetan tembakan oleh
Belanda. Paginya Belanda mengadakan pengejaran ke desa-desa.
Belanda
mulai menata pemerintahan Kotapraja Madiun kembali dengan mengangkat Lurah,
sampai Burgemeester (walikota), Belanda berpikir bahwa wilayah Hindia Belanda
adalah milik Pemerintah Belanda dan oleh internasional akan dikembalikan lagi
ke Belanda karena Pemerintah Republik Jogjakarta sudah tidak ada. Terbukti
setelah Jepang kalah Belanda telah mempersiapkan pemerintahan di Hindia Belanda
bahkan telah mencetak uang “sitheng” bertahun 1945 sebagai alat jual beli di
wilayah Hindia Belanda, namun ternyata
pemerintah Republik telah membuat uang ORI (Oeang Republik Indonesia)
sebagai uang resmi Republik Indonesia.
Perlawanan
Gerilya Tentara Republik rupanya membuat Belanda Bangkrut karena biaya perang
membengkak dan belum ada hasilnya, hingga akhirnya
Belanda menawarkan gencatan senjata melalui meja perundingan, yaitu
Perundingan
ROEM-ROYEN.
Bulan
Juli 1949 serang menyerang keduanya sudah mulai
kendur. Tanggal 10 Agustus 1949 jam
12.00 malam ada perintah dari panglima besar bahwa tembak menembak berhenti, dengan ketentuan dimana tentara
Belanda itu ada dikuasai dan dimana tentara republik ada disitu dikuasai
masing-masing
Dengan
perjanjian tersebut rupanya tentara Belanda merasa telah menguasai kota, namun pagi tanggal 11 Agustus 1949 saat tentara Belanda
keluar markas, untuk menikmati gencatan senjata merasa kaget. Saat keutara
sampai rel kereta sudah distop oleh tentara republik, “ini wilayah republik!”
teriak gerilyawan. ke timur wilayah
Bosbow juga sudah dikuasai tentara republik, kebarat jembatan Sonokeling juga
sudah ada tentara Republik hingga mereka
tidak bisa kemana-mana, kemudian ada
perjanjian baru untuk memudahkan akses transportasi, jika hanya melewati jalan raya agar diijinkan.
Selanjutnya
diadakannya perjanjian Meja bundar di Den Haag Belanda dan tentara Belanda mulai ditarik serta dilaksanakan timbang terima antara pimpinan
pasukan Belanda dan Pasukan Republik , belanda bukan mengakui kemerdekaan tapi menyerahkan kedaulatan ke pemerintah RIS,
Tahun
1951, perusahaan-perusahaan Belanda di nasionalisasi atau diambil alih penuh
Republik Indonesia.
Kenangan
Mbah Yusuf Musdi saat ikut bergerilya,
tangan kiri bawah nya pernah ter sambar pecahan granat yang sampai
sekarang bekasnya masih terlihat
jelas.
Setelah
keadaan aman, tentara pelajar mendapat penghargaan dengan tiga pilihan, yaitu
kembali melanjutkan sekolah sesuai pilihan, masuk tentara atau bekerja di
jawatan/perusahaan republic Indonesia.
Pak
Yusuf Musdi sendiri memilih untuk melanjutkan sekolah kehutanan di Bogor dan
tahun 1954 beliau di angkat pegawai Dinas Kehutanan di Jakarta. Kompasmadya.
Mbah Yusuf Musdi |
Mbah Yusuf Musdi Bersama HvM |
Tongkat mbah Yusuf dgn hiasan mata uang "sitheng" Belanda |
Maaf, sekedar koreksi nama mbah putri saya Ny. Issujatie :)
BalasHapus