Selasa, 14 Juni 2016

Wawancara Pelaku Sejarah : Kisah Perjuangan Pemuda Madiun dalam Mempertahankan Kemerdekaan

MasTRIP dari Kiri : Mbah Yusuf, Moh Asror dan Suyono
Wawancara :  Kisah Perlawanan Pemuda / Pelajar Madiun dalam era Kemerdekaan - Agresi Militer Belanda II

Nara Sumber       : Bapak Yusuf Musdi dari Pejuang  TRIP Madiun/pelaku sejarah
Tempat/Waktu   : Rumah Beliau Jl. Bali No. 16 Kota Madiun, Sabtu 4 Juni 2016 mulai pukul 09.30 WIB
Prakarsa               : Kompas Madya / HvM
Peserta                 : Widodo, Jans Susetyo,Adung, Suharto, Dwi Harya Hamsah, Andrik S.

Belakang tampak di kursi roda : Ny. Is sujatie istri Mbah Yusuf Musdi
Sabtu, 4 Juni 2016 menjelang bulan Ramadhan 1437 H / 2016 M,  berawal ngobrol tentang  kerawanan cagar budaya di Madiun, spontan ada yang usul untuk mendokumentasikan kisah perjuangan tentara Pelajar di kota Madiun, mengingat beliau-beliau para pelaku sejarah yang kini masih di beri panjang yuswa sudah berumur hampir 80 tahunan.
Betul saja pagi itu kami sudah  membuat janji dengan Mbah Yusuf Musdi satu-satunya Eks. Pejuang TRIP di Kota Madiun yang masih tersisa.  Seperti biasa kami berangkat dari warung Kopi WBA Jl. Tamrin No. 50 dimana disini merupakan pos teman-teman komunitas berkumpul. Bapak Yusuf Musdi, purna Dinas Kehutanan dan eks. Brigade XVII dari MasTRIP yang dalemnya Jl. Bali no 16 Kota Madiun. Walau pun beliau sudah yuswa 86 tahun namun masih tampak segar dan semangat.
Dengan bersemangat Mbah Yusuf langsung bercerita tentang  asal mula nama Madiun, dahulu terjadi peperangan antara  Panembahan Senopati dengan Prajurit  Putri Kadipaten Purabaya yaitu Raden Ayu Retno Djumilah.  Perang tanding di sekitar Mbeji atau sendang, dengan ayun-ayunan yudha disertai rasa kayungyun akan kecantikan Raden Ayu Retno Djumilah,maka Retno Djumilah di persunting sang Panemabahan senopati menjadi permaisuri Mataram.  Untuk menghilangkan rasa dendam  antara Purabaya dan Mataram akibat perang, tanggal 16 Nopember 1590 nama Purabaya diganti dengan nama  Mbejiyun atau Mbediun dan berubah lagi menjadi Madiun seperti sekarang ini.

Nah berdasarkan hal tersebut  Mbah Yusuf merasa kecewa dengan pemerintah Kota Madiun yang  dengan sembrono memilih dan mengambil Tonggak Sejarah Hari Jadi Kota Madiun yang di dasarkan pada keputusan Staatsblad Nomor 326 tahun 1918 Tanggal 20 Juli 1918, yang merupakan hari terbentuknya Kotapraja Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di Madiun. Walau pun itu merupakan fakta sejarah, namun mengapa itu diperingati  sebagai hari jadi Kota Madiun ? Bukankah hal itu berarti memperingati atas penindasan rakyat Madiun oleh Pemerintah Hindia Belanda?
Sebenarnya masih banyak pilihan untuk dijadikan  tonggak sejarah Hari Jadi Kota Madiun, jika Kabupaten Madiun telah menggunakan 18 Juli 1568 yang merupakan dilantiknya Pangeran Timur sebagai Bupati Purabaya (red: Madiun) oleh Walisongo maka  16 Nopember 1590 yang merupakan perubahan nama Purabaya menjadi Madiun sangatlah sesuai dan pas dengan perjuangan rakyat Madiun.

Demikian mbah yusuf Musdi dengan semangat yang masih membara layaknya jaman perjuangan dulu, menginginkan adanya koreksi atas penetapan Hari Jadi Kota Madiun yang berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia Belanda yang artinya kota Madiun lahir dari rahim papi dan mami Belanda.

Melanjutkan kisahnya Mbah Yusuf Musdi, seorang anak desa pinggir hutan dari daerah Nganjuk  melanjutkan sekolah ke SMP Pertahanan di Madiun dan kemudian pindah ke Nganjuk dimana saat itu terjadi gejolak perang, hingga memutuskan untuk ikut berjuang masuk TRIP. Diceritakan oleh Mbah Yusuf Bahwa TRIP Madiun itu dulu latihan dan persenjataanya paling lengkap, dikisahkan pula mengapa TRIP Madiun senjatanya paling lengkap? Karena pada waktu Jepang menyerah pada sekutu kondisi Madiun masih dikuasai oleh tentara Kempetai Jepang yang bermarkas di Jalan Pahlawan (red: markas Korem 081 sekarang), rupanya tentara Jepang itu sangat disiplin dan terasa berpihak pada Belanda maka pada 29 September 1945 mulai tengah hari markas Kempetai dikepung oleh pemuda-pemuda Madiun yang dipimpin oleh Kapten Sumantri dan Joko Sujono pemuda eks Prajurit  PETA walaupun didepan markas Kempetai itu telah dipasang tiga mitraliur siap membrondong siapa saja yang berani masuk halaman markas. Kejadian ini di ceritakan oleh pelaku sejarah Yaitu Pak Suko Wijono yang dikisahkan kembali oleh Mbah Yusuf Musdi.

Pada saat itu pemuda-pemuda terus mengepung markas Kempetai dengan jumlah semakin banyak, hingga sekitar jam 5 sore, Pak Bupati Ronggo Koesnindar datang dari selatan naik mobil dengan pakaian Jawa masuk kedalam markas, melakukan perundingan selama kira-kira 3 jam, hingga Pak Bupati Ronggo Koesnindar keluar dan menenangkan para pemuda yang menunggu semakin tidak sabar, pak Bupati  segera  menjelaskan beliau telah berunding dengan Komandan Kempetei bahwa nanti tentara  Jepang akan segera meninggalkan Madiun tanpa senjata  pada jam 10 malam dan akan berkumpul di batalyon yaitu gedung Bosbow.

Senjata- senjata  tentara  Jepang di kumpulkan dan di bagikan pada pemuda-pemuda  yang mau berjuang terutama  pelajar yang di atur oleh Kapten Sumantri dan Joko Sujono.  Pelajar-pelajar di kumpulkan di sekolah guru (katto sihan gakko) yang berasrama di gedung Santo Bernadus. Tiap-tiap kelompok pemuda di bagi senjata dan harus bertanggung jawab. Hal ini mengapa pejuang-pejuang Madiun pada umumnya waktu itu sudah memiliki persenjataan yang cukup lengkap.

Pada September 1945  di Madiun banyak berdiri  kesatuan-kesatuan  pemuda diantaranya   Angkatan Muda Kereta Api, Angkatan Muda PTT, Angkatan Muda Kehutanan dan lain-lain.
Pada 18 September 1948, tiba-tiba Pasukan PKI jam 02.00 malam  menyerbu dan menawan pasukan Polisi Istimewa di markas Mobrig Klethak, Kompol Sunaryo diculik dulu, dan Kolonel Marhadi Komandan Garnisun di culik dan jenazahnya ditemukan di Desa Kresek, Dungus.
Pemuda-pemuda Madiun pada saat itu sudah siap siaga jika terjadi penyerbuan atau penyerangan dari gerombolan Muso dan organisasi pendukungnya terutama Pesindo.
TRIP sebagai salah satu kesatuan bersenjata dibiarkan oleh Gerombolan Muso, karena dianggap hanyalah anak-anak kecil yang memang baru berusia belasan, komandan TRIP Pak Sabar Kumbino waktu itu baru berumur 19 tahun. Namun  TRIP segera mengambil sikap  membuat pernyataan , bahwa TRIP tetap mendukung pemerintah Jogjakarta Sukarno Hatta. Maka Pada tanggal 23 September 1948   sore Markas TRIP SMP Pertahanan diserbu oleh pasukan PKI  dan gugur Pemuda Mulyadi.

Pasukan Siliwangi  yang sedang hijrah segera membrantas gerombolan PKI , hanya dalam 13 hari Madiun dapat dikuasai penuh Tentara Republik Indonesia, Karena PKI kejam maka Pasukan Siliwangi lebih kejam.
Pada 19 Desember 1948, pasukan belanda menyerbu Jogjakarta dengan sandi operasi Gagak (operatie craai) di Madiun Belanda masuk kota dari Maospati pada tanggal 23 Desember 1948 dengan persenjataan penuh.
Tanggal 24 Desember 1948 pasukan-pasukan  Madiun mundur ke wilayah selatan, dan 1 peleton TRIP ikut ke selatan.
Tanggal 25 Desember  1948 saat Hari Natal terjadi pertempuran sengit di Pagotan “Palagan Pagotan”  3 orang anggota TRIP gugur ( Mas Mijan, Mas Suharto, dan satu lagi) , tentara 30 orang gugur kemudian Pasukan Belanda berhasil menguasai Madiun, Ponorogo dan sekitarnya. Maka untuk mengenang pertempuran sengit tersebut, Mbah Yusuf Musdi mengusulkan untuk jalan Pagotan-Dagangan  agar diberi nama Jl. Palagan Pagotan, syukur ditandai dengan monument perjuangan.

Markas Belanda pada saat itu berada di Gedung Kontroler ( sekarang Matahari Jl. Pahlawan).
Pada Bulan Januari 1949 Pasukan TRIP melakukan penyerangan secara gerilya ke markas Belanda.
Pada saat masa perang gerilya tersebut pasukan TRIP bermarkas di Desa Sebayi dan TGP bermarkas di Desa Gemarang.  Pada saat itu banyak bermunculan lascar-laskar pemuda ikut bergerilya dan mendapat binaan dari tentara ODM (red: Koramil)
setelah Madiun dikuasai Belanda , pada saat itu banyak pelajar-pelajar yang nganggur atau libur karena sekolah semua tutup maka pelajar-pelajar tersebut di mobilisasi oleh Tentara untuk ikut bergabung berjuang dengan kesatuan-kesatuan yang ada, di sebut MOBPEL  yang sebelumnya juga sudah ada Mobilisasi umum. Maka Mobpel selanjutnya tidak dimasukan dalam Brigade XVII. Sedangkan TRIP, TGP, dan TP masuk dalam Brigade XVII
serangan gerilya pada waktu itu dilaksanakan pada mlam hari, dengan menembak beberapa tembakan untuk menghemat amunisi, kemudian dibalas rentetan tembakan oleh Belanda. Paginya Belanda mengadakan pengejaran ke desa-desa.
Belanda mulai menata pemerintahan Kotapraja Madiun kembali dengan mengangkat Lurah, sampai Burgemeester (walikota), Belanda berpikir bahwa wilayah Hindia Belanda adalah milik Pemerintah Belanda dan oleh internasional akan dikembalikan lagi ke Belanda karena Pemerintah Republik Jogjakarta sudah tidak ada. Terbukti setelah Jepang kalah Belanda telah mempersiapkan pemerintahan di Hindia Belanda bahkan telah mencetak uang “sitheng” bertahun 1945 sebagai alat jual beli di wilayah Hindia Belanda, namun ternyata  pemerintah Republik telah membuat uang ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai uang resmi Republik Indonesia.
Perlawanan Gerilya Tentara Republik rupanya membuat Belanda Bangkrut karena biaya perang membengkak  dan belum ada hasilnya,  hingga  akhirnya Belanda menawarkan gencatan senjata melalui meja perundingan, yaitu 
Perundingan ROEM-ROYEN.

Bulan Juli 1949 serang menyerang  keduanya sudah mulai kendur.  Tanggal 10 Agustus 1949 jam 12.00 malam ada perintah dari panglima besar  bahwa tembak menembak  berhenti, dengan ketentuan dimana   tentara Belanda itu ada dikuasai dan dimana tentara republik ada disitu dikuasai masing-masing

Dengan perjanjian tersebut rupanya tentara Belanda merasa telah menguasai kota, namun pagi  tanggal 11 Agustus 1949 saat tentara Belanda keluar markas, untuk menikmati gencatan senjata merasa kaget. Saat keutara sampai rel kereta sudah distop oleh tentara republik, “ini wilayah republik!” teriak gerilyawan.  ke timur wilayah Bosbow juga sudah dikuasai tentara republik, kebarat jembatan Sonokeling juga sudah ada tentara Republik  hingga mereka tidak bisa kemana-mana, kemudian  ada perjanjian baru untuk memudahkan akses transportasi,  jika hanya melewati jalan raya agar diijinkan.
Selanjutnya diadakannya perjanjian Meja bundar di Den Haag Belanda dan  tentara Belanda mulai ditarik serta dilaksanakan timbang terima antara pimpinan pasukan Belanda dan Pasukan Republik , belanda bukan mengakui kemerdekaan  tapi menyerahkan kedaulatan ke pemerintah RIS,

Tahun 1951, perusahaan-perusahaan  Belanda  di nasionalisasi atau diambil alih penuh Republik Indonesia.
Kenangan Mbah Yusuf Musdi saat ikut bergerilya,  tangan kiri bawah nya pernah ter sambar pecahan granat yang sampai sekarang  bekasnya masih terlihat jelas.  
Setelah keadaan aman, tentara pelajar mendapat penghargaan dengan tiga pilihan, yaitu kembali melanjutkan sekolah sesuai pilihan, masuk tentara atau bekerja di jawatan/perusahaan republic Indonesia.

Pak Yusuf Musdi sendiri memilih untuk melanjutkan sekolah kehutanan di Bogor dan tahun 1954 beliau di angkat pegawai Dinas Kehutanan di Jakarta. Kompasmadya.

Mbah Yusuf Musdi
Mbah Yusuf Musdi Bersama HvM
Tongkat mbah Yusuf dgn hiasan mata uang "sitheng" Belanda
Rumah sederhana Pak Yusuf Musdi


1 komentar: