Pak Jono Pemandu Museum Trinil baju batik |
Kunjungan Historia Van Madioen ke Museum Trinil
Waktu :
Kamis, 5 Mei 2016
Peserta :
8 orang (Widodogb, Tatang, Wija A. , Adung,
Eko, Atik, Tya, Riski)
Tujuan :
Museum Trinil, Dsn. Pilang Desa Kawu, Kec. Kedunggalar, Kab Ngawi
Museum Trinil, nama ini sangat tidak asing bagi
masyarakat Ngawi dan sekitarnya bahkan seluruh pelajar di Indonesia mengenal
nama ini sebagai tempat ditemukannya fosil pithecanthropus erectus yaitu
manusia seperti kera yang berjalan tegak. Trinil merupakan situs Paleoantropologi di Indonesia ,
sebaran penemuan fosil situs diperkirakan radius 3 km dan berada di 3 desa
yaitu: Desa Kawu, Ngancar dan Gemarang Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Kebanyakan penemuan fosil berada di pinggiran sungai Bengawan solo. Letak dari
situs ini dikelilingi oleh aliran Bengawan solo. Di dusun pengkol yang juga
terdapat tikungan aliran sungai sering ditemukan fosil-fosil berukuran besar
dan kecil, bahkan saat sungai surut kita dengan mudah menemukan fosil di
gundukan pasir atau tanah stren sungai, oleh karena itu kegiatan penambangan
tanah dan pasir di larang didaerah ini.
Jadi dimungkinkan Trinil merupakan kawasan di
lembah Bengawan Solo yang menjadi hunian kehidupan purba, tepatnya
zaman Pleistosen Tengah, sekitar satu juta tahun lalu.
Pak Jono seorang pemandu dan juga penerus juru
pelihara dan merupakan pelopor situs Trinil menceritakan bahwa Eugène Dubois
adalah ahli anatomi berkebangsaan Belanda, sebelum datang ke Jawa di eropa
beliau telah melakukan penelitian manusia purba namun tidak berhasil, informasi
mengenai keberadaan fosil purbakala berasal dari Raden Saleh, seorang pelukis
ternama yang mendapat pendidikan di negeri Belanda. Raden Saleh membawa fosil
gading gajah sebagai cindera mata ke negeri Belanda, mengetahui hal tersebut
Eugene Dubois segera datang ke nusantara. Pertama beliau datang ke Sumatra
tepatnya di Paya Kumbuh, disana menemukan fosil-fosil gajah namun ternyata
bukan generasi gajah purba, kemudian beliau melakukan penelitian di Jawa,
tepatnya di wilayah Kedung Brubus Madiun, disini ditemukan fosil gigi geraham
dan tulang-tulang binatang purba. Berdasarkan cerita rakyat tentang adanya
banyak penemuan balung buto di wilayah aliran sungai Bengawan solo, Eugene
Dubois menemukan fosil Pithecantropus Erectus yang cukup signifikan di wilayah
Trinil yaitu berupa tempurung kepala, tulang paha atas dan tiga gigi. Inilah
awal dari penemuan fosil manusia purba Pithecantropus Erectus dalam jumlah yang
banyak di daerah Sangiran dan aliran bengawan Solo pada tahun 1891. Untuk
memudahkan penelitian fosil manusia purba beliau masuk tentara yang ditugaskan
di Benteng Van Den Bosch Ngawi.
Pada 1891-1893 Dubois menemukan fosil manusia
purba Pithecanthropus erectus serta berbagai fosil hewan dan tumbuhan purba.
Pada era pemerintah Jepang dan era perang kemerdekaan
situs Trinil tidak mendapat perhatian, seorang penduduk bernama Mbah wiro
Balung (karena sering merawat penemuan-penemuan fosil tulang) pada tahun 1967
mulai aktif memelihara situs Trinil dan dianggap juru kunci dan orang pintar
oleh warga sekitar karena sering dimintai tolong untuk mengobati orang sakit
atau keperluan lainnya.
pada tahun 1852 – 1976 Universitas Gajah Mada dan
beberapa kali peneliti dari luar negeri.
mengadakan penelitian di situs Trinil yang di bantu
oleh Mbah wiro dan warga sekitar.
Pada tahun 1979 keberadaan situs Trinil dilaporkan ke
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur. Hingga akhirnya pada
tahun 1980 situs Trinil dikelola oleh pemerintah, dan 100 tahun penemuan fosil
Pithecantropus Erectus,yaitu tahun 1991 secara resmi didirikan museum Trinil
yang diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur SOELARSO, pada tanggal 20 November
1991 hingga saat ini mendapatkan pengembangan-pengembangan fasilitas umum yang
cukup memadai, mulai dari Taman, Pendapa, Mushola, tempat permainan anak, arena
outbond dan area kemah.
Saat ini di Trinil berdiri sebuah museum yang
menempati area seluas tiga hektare, dengan koleksi di antaranya fosil tengkorak Pithecantrophus
Erectus, fosil tulang rahang bawah macan purba (Felis tigris), fosil gading dan
gigi geraham atas gajah purba (Stegodon trigonocephalus), dan fosil tanduk banteng
purba (Bibos palaeosondaicus).
Pak Jono yang merupakan penerus dari mbah wiro Balung,
berujar bahwa selain penemuan fosil era Prasejarah, didaerah Trinil dan
sekitarnya juga terdapat beberapa situs era klasik / kerajaan yaitu : sebuah
Yoni yang berada di punden desa, batu lmpang dan batu gilang. Menariknya juga
banyak ditemukan batu-batu bulat sebesar
kepalan tangan orang dewasa, apakah batu tersebut merupakan peralatan
manusia purba atau alat upacara ritual kuno, atau dipergunakan sebagai peluru
canon, hal ini masih menjadi pertanyaan.
Setelah berbincang banyak hal dengan Pak Jono, kami
penasaran untuk observasi ke lapangan, kami menuju ke sungai yang berada di
dusun Pengkol,sengaja kami berjalan kaki walaupun jaraknya cukup jauh. Dalam perjalanan
kami beberapa kali menemukan potongan-potongan kecil fosil , juga beberapa potongan agak besar yang
dimanfaatkan warga sebagai hiasan temple pagar rumah, namun menurut warga desa sekarang
sudah jarang sekali ditemukan fosil (red. ukuran besar).
Rumah-rumah penduduk di desa ini kebanyakan masih
memanfaatkan papan sebagai dinding rumah, karena wilayah lembah Trinil atau
lereng Gunung Kendeng bagian selatan ini dikenal dengan tipe tanah gerak,
hingga bangunan tembok dan bahkan aspal sering mengalami kerusakan.
Di sungai Dusun Pengkol kami temui banyak orang yang
sedang memancing ikan, menurut mereka jika mau mendapatkan contoh fosil
ditempat itu diharapkan datang di musim kemarau, hingga dasar sungai kelihatan
dan di pasir atau tanah sungai biasanya dapat ditemui potongan-potongan fosil.
widodogb
Monumen penemuan Fosil Phitecantopus Erectus |
Museum Trinil Dibangun tepat 100 tahun penemuan Dubois |
Phitecantropus Erectus |
potongan fosil di daerah lembah Trinil |
watu dakon di pinggir jalan museum Trinil |
Sungai Pengkol/Bengawan solo |
Rumah warga di dsn Pengkol |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar