Rabu, 06 April 2016

Pusaka-Pusaka Kabupaten Madiun


Beberapa minggu yang lalu teman Historia van Madioen, Mas Wiwid sebuah nama panggilan yang cukup pasaran, selain aktif dalam diskusi sejarah Madiun HvM di warung WBA, Jl Tamrin no 50 beliau juga pernah aktif di organisasi Pelestari Budaya Tosan Aji wilayah Madiun. Seperti biasa siang itu Mas Wiwied mampir untuk ngopi, sembari pesan secangkir kopi hitam dan menyulut sebatang rokok, beliau mengeluarkan beberapa buku majalah tentang tosan aji, “ini mas mungkin bisa nambahi wawasan tentang pusaka madiun” kata mas Wiwied.  saya  segera membuka salah satunya , “Nah.. ini Mas Wied, ini baru tahu saya.  Keris Kyai Nogo Polah , Keris pusaka Tundung Mediun Bupati Ronggo Prawirodirjo III Madiun, “wah ini betul-betul baru tahu mas” ''Lho.. memang ada yang istimewa  mas?” Tanya Mas Wiwied.  “Iya Mas… seperti kita tahu, banyak berita-berita tentang Keris Kyai Tundhung Mediun dimasyarakat, ada yang bilang berada di Punden A, atau ditemukan si B dan banyak lagi berkembang di masyarakat yang sebagian besar mengandung cerita mistis.

Dengan majalah Keris ini semoga dapat menambah  wawasan kita tentang keris Pusaka Madiun, seperti kita ketahui sebelumnya ada beberapa pusaka yang cukup terkenal di Madiun, diantaranya yaitu :
  1. Keris Kyai Kala Gumarang, keris pegangan Raden Ayu Retno Djumilah saat melawan serbuan prajurit Mataram Pimpinan Panembahan Senopati. Dalam 3 kali penyerangan yaitu Tahun 1586, tahun 1587 dan tahun 1590. Keris yang disimpan di Gedong Pusaka Kabupaten berupa keris Putran (duplikat) yang diberikan kepada KRA. Djunaedi Mahendra atas dawuh Dalem Sinuwun PB XII, tahun 2005 dibuat oleh Empu KRT. Sukoyo Dipuro dari Surabaya.  
  2. Tombak Kyai Blabar, tombak Pusaka Bupati Ronggo Prawirodirdjo III dalam melawan Belanda dan Prajurit  Kesultanan Jogjakarta
  3. Keris Kyai Balenata, keris ini yang sering disebut sebagai Keris Tundung Mediun, keris Pusaka Kabupaten Madiun Ini Luk 13 berdapur parungsari Dengan pamor wengkon 
  4. Tombak  Kyai Sidem Pengayom, tombak panjang dengan tangkai 4 meter disimpan oleh keluarga Tanah Perdikan Taman, Madiun
  5.  Tombak Kyai Singkir, Tombak Pusaka Kabupaten Madiun
  6. Keris Bima Hamerta , Keris Pusaka ini dibuat oleh Empu RM. Hary Sumardianto yang menggunakan  unsur air yang di ambil dari  17 mata air dan 15 bahan besi dari 15 kecamatan di wilayah Madiun 
Dalam berita Suryaonline, Rabu 29 Oktober 2014, Saat acara Jamasan 70 pusaka kabupaten Madiun tahun 2014 yang di laksanakan oleh para abdi Dalem Kraton Surakarta yang dipimpin oleh Raden Tumenggung Haji Santo Siswoyo Dipuro, beliau mengatakan bahwa  ada 4 pusaka utama Kabupaten Madiun yang di jamas yaitu Tombak Kyai Balabar, Tombak kyai Singkir, Keris Kyai Kala Gumarang dan Keris Kyai Balenata, akan tetapi tidak ditemukan keris keris tundung Mediun di dalam ruang pusaka kecuali duplikatnya.  Ada beberapa isu terkait tidak adanya keris tundung Mediun asli di Ruang Pusaka, karena keris Tundung Mediun di bawa ke negeri Belanda  atau mungkin di amankan di salah satu Kraton Mataram. 

Perihal keris Tundhung Mediun tersebut, dalam majalah Keris Vol. 14 2009. Hal. 33 kolom Sorot dengan judul artikel : Kiai Nogo Polah Membentengi Madiun dari sergapan musuh,  Serta  hal. 35 dengan judul  artikel Keris Tundhung Mediun.
Dari 2 artikel tersebut dijelaskan bahwa yang disebut Tundhung Mediun adalah sebuah tangguh dan empu Tundung ing Madiun.
Keris Kyai Nogo Polah, di wariskan turun temurun dari para penguasa Madiun. Pertama kali keris ini diberikan oleh Ki Ageng Derpoyudo kepada putranya. Ronggo Prawirosentiko- yang kelak mendapat gelar Ronggo Prawirodirjo I oleh Sultan HB I karena jasanya ikut membangun kraton Kesultanan Yogyakarta. Ki Ageng Derpoyudo adalah guru spiritual dari pangeran Sambernyawa atau KGPAA. Mangkunegara I, penguasa pertama puri Mangkunegaran.
Ketika masa peperangan dengan kasunanan (sebelum palihan nagari 1955 ) dalam membantu pangeran Mangkubumi mendirikan dinasti Kesultanan Yogyakarta, Ronggo Prawirosentika selalu menyelipkan keris dapur Tundhung Mediun ini di pinggangnya dan dia tak pernah terkalahkan oleh musuhnya. Keris Kiai Nogo Polah ini kemudian diwariskan kepada putranya, Ronggo Prawirodirjo II, yang juga menjadi Bupati Wedono Mancanegara di Madiun, kemudian di lanjutkan Ronggo Prawirodirjo III yang gugur melawan gabungan pasukan kesultanan Yogyakarta dan tentara Belanda. Keris ampuh ini kemudian dibawa oleh Pangeran Dipokusumo ke Yogyakarta.

Pada masa perang Diponegoro , tak jelas kisahnya keris ini akhirnya dibawa oleh Alibasyah Sentot Prawirodirjo putra dari garwa selir Ronggo Prawirodirjo III.ketika panglima tentara Pangeran Diponegoro itu menyerah kepada belanda pada 24 Oktober 1829, keris itu ikut dirampas. Namun atas usaha keturunan Prawirodirjo pada zaman pasca kemerdekan RI, keris kiai Nogo Polah bisa dimiliki kembali.

Kyai  NOGO POLAH Membentengi Madiun dari Sergapan Musuh
Sangat sulit bagi Sultan Hamengku Buwono II untuk menyerahkan Ronggo Prawirodirjo III sebagai terhukum kepada Sunan Pakubuwono IV, selain karena Prawirodirjo III adalah menantunya sendiri , tuntutan sunan Surakarta itu dicuigai atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, H.W. Daendels yang memang mencari-cari kesalahan Bupati Madiun itu.

Pada masa itu hubungan kedua kerajaan dalam situasi yang tegang karena perselisihan perbatasan yang berlarut-larut. Dan pada Februari  1810 , pecah perang antar desa di Ngebel dan Sekedok, Kabupaten Ponorogo yang merupakan perbatasan wilayah kesultanan dan Kasunanan. Pemerintah Belanda menyalahkan Ronggo Prawirodirjo III, sebagai penguasa yang membawahi dua desa yang berseteru. Selain itu Ronggo Prawirodirjo III juga dituduh melakukan pembunuhan di Delanggu, yang merupakan wilayah Kasunanan Surakarta. Dia dianggap bersalah, karena membela putranya yang menginginkan seekor kambing milik penduduk desa itu, Bupati Madiun telah membunuh pemilik kambing yang enggan menjual binatang ternaknya itu.
Pemerintah Belanda sebenarnya sudah lama mengincar menantu Raja Yogya itu, yang dituding anti Belanda. Bupati Mancanegara inilah yang sangat getol memerangi kebijakan Belanda yang menebagi hutan jati diwilayahnya. Penggundulan hutan jati itu menurut Ronggo Prawirodirjo III, akan menyengsarakan rakyat karena berakibat banjir. Selain itu, bila ada kayu hasil tebangan hilang, maka rakyat di sekitarnya akan mengalami penganiayaan yang berat oleh Belanda. Hal-hal inilah yang membuat  nama Bupati itu masuk daftar hitam oleh pemerintah colonial. Namun posisi  bupati yang merupakan menantu raja itu, cukup menyulitkan Belanda untuk menyingkirkannya.
Ketika Patih Danurejo II dipecat oleh HB II, sang patih kemudian melapor kepada  Van Braam, utusan Daendels yang ditempatkan di Yogyakarta, bahwa persekongkolan jahat telah menyelimuti keraton dan akan merongrong kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.  Mantan patih ini juga menghasut Van Braam agar segera mengganti Sultan HB II dan mendudukan putera mahkota sebagai Sultan HB III.

Konflik internal dalam kraton, agaknya sudah mencapai klimaksnya. Perseteruan tajam antara kelompok utama di keraton, bak bisul matang yang tinggal menunggu pecahnya. Kelompok pertama, adalah kelompok pendukung putra mahkota, yang dipandegani oleh patih Danurejo II yang merupakan pegawai pemerintah Belanda yang dipasang di kesultanan Yogyakarta. Kelompok kedua adalah Pangeran Notokusumo, adik HB II, yang bersekutu dengan Ratu Kencono Wulan, salah seorang selir raja, dan Ronggo Prawirodirjo III, Bupati Wedono Mancanegara yang berkedudukan di Madiun. Enggan ditangkap dan dibawa ke Buitenzorg (bogor), Ronggo  Prawirodirjo III yang secara sembunyi-sembunyi minta restu sang Baginda untuk melarikan diri dengan diikuti 300 prajurit pendukungnya. Prawirodirjo III menyingkir ke Madiun dengan hanya berbekal keris pusaka andalanya, yang merupakan warisan dari para leluhurnya dari Madiun,Keris Nogo Polah. Keris Dapur Tundhung Mediun dengan gandik kepala Naga ini agaknya menjadi piandel sang Bupati melawan pemerintah Kolonial Belanda.

Dalam pusat perlawanannya di Istana Kadipaten Madiun, Ronggo Prawirodirjo III mengangkat 14 Bupati bawahannya dengan gelar Pangeran. Patih Madiun, Tumenggung Sumonegoro, dianugerahi gelar Panembahan Senopatining Prang. Dan Sang Bupati Wedono Sendiri memilih gelar Susuhunan Prabu  Ingalogo. Merespon  situasi ini , Belanda lagi-lagi menggunakan siasat devide et impera, yaitu menekan HB II untuk menumpas pemberontakan Bupati Madiun. Bila langkah ini tidak diambil, maka HB II akan dipecat sebagai raja dan akan dihukum dengan undang-undang Belanda. Namun upaya menumpas pemberontakan Bupati Madiun itu tidak semudah yang dibayangkan.dukungan seluruh rakyat Madiun, agaknya menyulitkan operasi militer kesultanan Yogyakarta yang dibantu tentara Belanda.

Operasi pertama , yang terdiri dari seribu prajurit infanteri Kasultanan dibawah komando Panglima perang Tumenggung Purwodipuro , mengalami kegagalan. Kendati dibantu pasukan belanda dibawah Letnan Paulus dan Sersan Laberfeld. Prajurit Madiun berhasil memukul mundur mereka. Tentu saja kegagalan ini membuat Sultan HB II marah besar. Namun operasi kedua, dengan panglima perang baru, yaitu Pangeran Adinegara dan formasi pasukan lebih besar juga mengalami kegagalan.
Maka dikirimlah operasi ketiga, dengan pimpinan Pangeran Purwokusumo yang dikenal sebagai ahli strategi perang gerilya menuju Madiun. Lagi-lagi operasi ini porak poranda. Kegigihan pasukan Madiun dan kemampuan menguasai kondisi lapangan yang berat ternyata menjadi factor penentu kemenangan. Dikabarkan Pangeran Ronggo Prawirodirjo III sendiri selalu maju ke medan pertempuran, dengan membawa dua pusaka saktinya, yaitu Keris Nogo Polah dan Tombak Kyai Blabar.
Sepak terjangnya sangat menakutkan lawan-lawanya. Bahkan konon lawan-lawannya nggregeli begitu berhadapan dengan bupati yang terkenal brangasan itu.
Melihat pengalaman  ketiga operasi itu, maka sultan HB II memerintahkan salah satu putranya, Pangeran Dipokusumo, untuk memimpin operasi ke empat. Pangeran ini dikenal sangat akrab dengan Ronggo Prawirodirjo III yang kebetulan adalah kakak iparnya. Istri Ronggo Prawirodirjo III adalah GBR Ayu Maduretno, yang merupakan kakak pangeran Dipokusumo. Dengan mengutus puteranya ini sultan HB II berharap, Ronggo Prawirodirjo III bersedia menyerah, sehingga peperangan bisa dihentikan.

Kekuatan operasi militer ke empat Kesultanan Yogyakarta dengan bantuan Belanda dilipat gandakan dengan pasukan senjata api yang lebih banyak lagi. Targetnya adalah langsung menusuk ke jantung perlawanan pemberontak, yaitu kota Madiun. Rangsekan pasukan besar ini agaknya membuahkan hasil. Sedikit demi sedikit pasukan Madiun bisa dikalahkan. Bupati Madiun sendiri akhirnya gugur dimedan laga pada tanggal 17 Desember 1810. Kemana du pusaka andalannya? Keman kesaktian Susuhunan Prabu Ingalogo? Kabarnya sang Bupati merelakan dirinya gugur ditangan adik iparnya, karena sayangnya kepada sang adik dan baktinya kepada sang mertua, HB II.
Menurut buku “Sekitar  Yogyakarta”Karya Dr. Soekanto yang mengutip dari buku “Aanteekeningen” Halaman 14 tertulis: …… atas permintaanya sediri, Bupati Madiun Ronggo Prawirodirjo III gugur dengan tombaknya sendiri Kiai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo, dalam perkelahian pura-puraantara seorang melawan seorang….
Ronggo Prawirodirjo III kemudian dikuburkan di makam bangsawan Kasultanan Yogyakarta di Banyu Sumurup, Imogiri Predikatnya sebagai pemberontak Kasultanan Yogyakarta. Namun pada tahun 1957, oleh Sultan HB IX, namanya direhabilitasi dengan cara memindahkan jenazahnya ke puncak Gunung Bancak. Kecamatan Gorang-Gareng, Magetan. Sebagai Puncak tertinggi di Kabupaten Madiun/ Magetan, sebagai lambang keberanian  seorang bupati melawan kecongkakan Belanda.
Dikutip dari : Majalah Keris Vol. 14 Th. 2009
Sumber: http//: surabaya.tribunnews.com/2014/10/29
Narasumber : Bagus Candra, Pak Mamak Jupel Taman, Mas Wiwit BBSTV


1 komentar: