Beberapa
minggu yang lalu teman Historia van Madioen, Mas Wiwid sebuah nama panggilan yang cukup pasaran, selain aktif dalam diskusi sejarah Madiun HvM di warung WBA, Jl Tamrin no 50
beliau juga pernah aktif di organisasi Pelestari Budaya Tosan Aji wilayah
Madiun. Seperti biasa siang itu Mas Wiwied mampir untuk ngopi, sembari pesan secangkir kopi hitam dan menyulut sebatang rokok, beliau mengeluarkan
beberapa buku majalah tentang tosan aji, “ini mas mungkin bisa nambahi wawasan
tentang pusaka madiun” kata mas Wiwied.
saya segera membuka salah satunya
, “Nah.. ini Mas Wied, ini baru tahu saya.
Keris Kyai Nogo Polah , Keris pusaka Tundung Mediun Bupati Ronggo
Prawirodirjo III Madiun, “wah ini betul-betul baru tahu mas” ''Lho.. memang ada
yang istimewa mas?” Tanya Mas Wiwied. “Iya Mas… seperti kita tahu, banyak
berita-berita tentang Keris Kyai Tundhung Mediun dimasyarakat, ada yang bilang
berada di Punden A, atau ditemukan si B dan banyak lagi berkembang di masyarakat yang sebagian
besar mengandung cerita mistis.
Dengan majalah Keris ini semoga dapat menambah wawasan kita tentang keris Pusaka Madiun, seperti kita ketahui sebelumnya ada beberapa pusaka yang cukup terkenal di Madiun, diantaranya yaitu :
- Keris Kyai Kala Gumarang, keris pegangan Raden Ayu Retno Djumilah saat melawan serbuan prajurit Mataram Pimpinan Panembahan Senopati. Dalam 3 kali penyerangan yaitu Tahun 1586, tahun 1587 dan tahun 1590. Keris yang disimpan di Gedong Pusaka Kabupaten berupa keris Putran (duplikat) yang diberikan kepada KRA. Djunaedi Mahendra atas dawuh Dalem Sinuwun PB XII, tahun 2005 dibuat oleh Empu KRT. Sukoyo Dipuro dari Surabaya.
- Tombak Kyai Blabar, tombak Pusaka Bupati Ronggo Prawirodirdjo III dalam melawan Belanda dan Prajurit Kesultanan Jogjakarta
- Keris Kyai Balenata, keris ini yang sering disebut sebagai Keris Tundung Mediun, keris Pusaka Kabupaten Madiun Ini Luk 13 berdapur parungsari Dengan pamor wengkon
- Tombak Kyai Sidem Pengayom, tombak panjang dengan tangkai 4 meter disimpan oleh keluarga Tanah Perdikan Taman, Madiun
- Tombak Kyai Singkir, Tombak Pusaka Kabupaten Madiun
- Keris Bima Hamerta , Keris Pusaka ini dibuat oleh Empu RM. Hary Sumardianto yang menggunakan unsur air yang di ambil dari 17 mata air dan 15 bahan besi dari 15 kecamatan di wilayah Madiun
Dalam
berita Suryaonline, Rabu 29 Oktober 2014, Saat acara Jamasan 70 pusaka kabupaten
Madiun tahun 2014 yang di laksanakan oleh para abdi Dalem Kraton Surakarta yang
dipimpin oleh Raden Tumenggung Haji Santo Siswoyo Dipuro, beliau mengatakan
bahwa ada 4 pusaka utama Kabupaten
Madiun yang di jamas yaitu Tombak Kyai Balabar, Tombak kyai Singkir, Keris Kyai
Kala Gumarang dan Keris Kyai Balenata, akan tetapi tidak ditemukan keris keris
tundung Mediun di dalam ruang pusaka kecuali duplikatnya. Ada beberapa isu terkait tidak adanya keris
tundung Mediun asli di Ruang Pusaka, karena keris Tundung Mediun di bawa ke
negeri Belanda atau mungkin di amankan
di salah satu Kraton Mataram.
Perihal
keris Tundhung Mediun tersebut, dalam majalah Keris Vol. 14 2009. Hal. 33 kolom
Sorot dengan judul artikel : Kiai Nogo Polah Membentengi Madiun dari sergapan
musuh, Serta hal. 35 dengan judul artikel Keris Tundhung Mediun.
Dari
2 artikel tersebut dijelaskan bahwa yang disebut Tundhung Mediun adalah sebuah tangguh dan empu Tundung ing Madiun.
Keris
Kyai Nogo Polah, di wariskan turun temurun dari para penguasa Madiun. Pertama
kali keris ini diberikan oleh Ki Ageng Derpoyudo kepada putranya. Ronggo
Prawirosentiko- yang kelak mendapat gelar Ronggo Prawirodirjo I oleh Sultan HB
I karena jasanya ikut membangun kraton Kesultanan Yogyakarta. Ki Ageng
Derpoyudo adalah guru spiritual dari pangeran Sambernyawa atau KGPAA.
Mangkunegara I, penguasa pertama puri Mangkunegaran.
Ketika
masa peperangan dengan kasunanan (sebelum palihan nagari 1955 ) dalam membantu
pangeran Mangkubumi mendirikan dinasti Kesultanan Yogyakarta, Ronggo
Prawirosentika selalu menyelipkan keris dapur Tundhung Mediun ini di
pinggangnya dan dia tak pernah terkalahkan oleh musuhnya. Keris Kiai Nogo Polah
ini kemudian diwariskan kepada putranya, Ronggo Prawirodirjo II, yang juga
menjadi Bupati Wedono Mancanegara di Madiun, kemudian di lanjutkan Ronggo
Prawirodirjo III yang gugur melawan gabungan pasukan kesultanan Yogyakarta dan
tentara Belanda. Keris ampuh ini kemudian dibawa oleh Pangeran Dipokusumo ke
Yogyakarta.
Pada
masa perang Diponegoro , tak jelas kisahnya keris ini akhirnya dibawa oleh
Alibasyah Sentot Prawirodirjo putra dari garwa selir Ronggo Prawirodirjo
III.ketika panglima tentara Pangeran Diponegoro itu menyerah kepada belanda
pada 24 Oktober 1829, keris itu ikut dirampas. Namun atas usaha keturunan
Prawirodirjo pada zaman pasca kemerdekan RI, keris kiai Nogo Polah bisa
dimiliki kembali.
Kyai NOGO POLAH Membentengi Madiun dari Sergapan
Musuh
Sangat
sulit bagi Sultan Hamengku Buwono II untuk menyerahkan Ronggo Prawirodirjo III
sebagai terhukum kepada Sunan Pakubuwono IV, selain karena Prawirodirjo III
adalah menantunya sendiri , tuntutan sunan Surakarta itu dicuigai atas perintah
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, H.W. Daendels yang memang mencari-cari
kesalahan Bupati Madiun itu.
Pada
masa itu hubungan kedua kerajaan dalam situasi yang tegang karena perselisihan
perbatasan yang berlarut-larut. Dan pada Februari 1810 , pecah perang antar desa di Ngebel dan
Sekedok, Kabupaten Ponorogo yang merupakan perbatasan wilayah kesultanan dan
Kasunanan. Pemerintah Belanda menyalahkan Ronggo Prawirodirjo III, sebagai
penguasa yang membawahi dua desa yang berseteru. Selain itu Ronggo Prawirodirjo
III juga dituduh melakukan pembunuhan di Delanggu, yang merupakan wilayah
Kasunanan Surakarta. Dia dianggap bersalah, karena membela putranya yang
menginginkan seekor kambing milik penduduk desa itu, Bupati Madiun telah
membunuh pemilik kambing yang enggan menjual binatang ternaknya itu.
Pemerintah
Belanda sebenarnya sudah lama mengincar menantu Raja Yogya itu, yang dituding
anti Belanda. Bupati Mancanegara inilah yang sangat getol memerangi kebijakan
Belanda yang menebagi hutan jati diwilayahnya. Penggundulan hutan jati itu
menurut Ronggo Prawirodirjo III, akan menyengsarakan rakyat karena berakibat
banjir. Selain itu, bila ada kayu hasil tebangan hilang, maka rakyat di
sekitarnya akan mengalami penganiayaan yang berat oleh Belanda. Hal-hal inilah
yang membuat nama Bupati itu masuk
daftar hitam oleh pemerintah colonial. Namun posisi bupati yang merupakan menantu raja itu, cukup
menyulitkan Belanda untuk menyingkirkannya.
Ketika
Patih Danurejo II dipecat oleh HB II, sang patih kemudian melapor kepada Van Braam, utusan Daendels yang ditempatkan
di Yogyakarta, bahwa persekongkolan jahat telah menyelimuti keraton dan akan
merongrong kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
Mantan patih ini juga menghasut Van Braam agar segera mengganti Sultan
HB II dan mendudukan putera mahkota sebagai Sultan HB III.
Konflik
internal dalam kraton, agaknya sudah mencapai klimaksnya. Perseteruan tajam
antara kelompok utama di keraton, bak bisul matang yang tinggal menunggu
pecahnya. Kelompok pertama, adalah kelompok pendukung putra mahkota, yang
dipandegani oleh patih Danurejo II yang merupakan pegawai pemerintah Belanda
yang dipasang di kesultanan Yogyakarta. Kelompok kedua adalah Pangeran
Notokusumo, adik HB II, yang bersekutu dengan Ratu Kencono Wulan, salah seorang
selir raja, dan Ronggo Prawirodirjo III, Bupati Wedono Mancanegara yang
berkedudukan di Madiun. Enggan ditangkap dan dibawa ke Buitenzorg (bogor), Ronggo Prawirodirjo III yang secara
sembunyi-sembunyi minta restu sang Baginda untuk melarikan diri dengan diikuti
300 prajurit pendukungnya. Prawirodirjo III menyingkir ke Madiun dengan hanya
berbekal keris pusaka andalanya, yang merupakan warisan dari para leluhurnya
dari Madiun,Keris Nogo Polah. Keris Dapur Tundhung Mediun dengan gandik kepala
Naga ini agaknya menjadi piandel sang Bupati melawan pemerintah Kolonial
Belanda.
Dalam
pusat perlawanannya di Istana Kadipaten Madiun, Ronggo Prawirodirjo III
mengangkat 14 Bupati bawahannya dengan gelar Pangeran. Patih Madiun, Tumenggung
Sumonegoro, dianugerahi gelar Panembahan Senopatining Prang. Dan Sang Bupati
Wedono Sendiri memilih gelar Susuhunan Prabu
Ingalogo. Merespon situasi ini , Belanda lagi-lagi menggunakan
siasat devide et impera, yaitu menekan HB II untuk menumpas pemberontakan
Bupati Madiun. Bila langkah ini tidak diambil, maka HB II akan dipecat sebagai
raja dan akan dihukum dengan undang-undang Belanda. Namun upaya menumpas
pemberontakan Bupati Madiun itu tidak semudah yang dibayangkan.dukungan seluruh
rakyat Madiun, agaknya menyulitkan operasi militer kesultanan Yogyakarta yang
dibantu tentara Belanda.
Operasi
pertama , yang terdiri dari seribu prajurit infanteri Kasultanan dibawah
komando Panglima perang Tumenggung Purwodipuro , mengalami kegagalan. Kendati
dibantu pasukan belanda dibawah Letnan Paulus dan Sersan Laberfeld. Prajurit
Madiun berhasil memukul mundur mereka. Tentu saja kegagalan ini membuat Sultan
HB II marah besar. Namun operasi kedua, dengan panglima perang baru, yaitu
Pangeran Adinegara dan formasi pasukan lebih besar juga mengalami kegagalan.
Maka
dikirimlah operasi ketiga, dengan pimpinan Pangeran Purwokusumo yang dikenal
sebagai ahli strategi perang gerilya menuju Madiun. Lagi-lagi operasi ini porak
poranda. Kegigihan pasukan Madiun dan kemampuan menguasai kondisi lapangan yang
berat ternyata menjadi factor penentu kemenangan. Dikabarkan Pangeran Ronggo
Prawirodirjo III sendiri selalu maju ke medan pertempuran, dengan membawa dua
pusaka saktinya, yaitu Keris Nogo Polah dan Tombak Kyai Blabar.
Sepak
terjangnya sangat menakutkan lawan-lawanya. Bahkan konon lawan-lawannya
nggregeli begitu berhadapan dengan bupati yang terkenal brangasan itu.
Melihat
pengalaman ketiga operasi itu, maka
sultan HB II memerintahkan salah satu putranya, Pangeran Dipokusumo, untuk
memimpin operasi ke empat. Pangeran ini dikenal sangat akrab dengan Ronggo
Prawirodirjo III yang kebetulan adalah kakak iparnya. Istri Ronggo Prawirodirjo
III adalah GBR Ayu Maduretno, yang merupakan kakak pangeran Dipokusumo. Dengan
mengutus puteranya ini sultan HB II berharap, Ronggo Prawirodirjo III bersedia
menyerah, sehingga peperangan bisa dihentikan.
Kekuatan
operasi militer ke empat Kesultanan Yogyakarta dengan bantuan Belanda dilipat
gandakan dengan pasukan senjata api yang lebih banyak lagi. Targetnya adalah
langsung menusuk ke jantung perlawanan pemberontak, yaitu kota Madiun.
Rangsekan pasukan besar ini agaknya membuahkan hasil. Sedikit demi sedikit pasukan
Madiun bisa dikalahkan. Bupati Madiun sendiri akhirnya gugur dimedan laga pada
tanggal 17 Desember 1810. Kemana du pusaka andalannya? Keman kesaktian
Susuhunan Prabu Ingalogo? Kabarnya sang Bupati merelakan dirinya gugur ditangan
adik iparnya, karena sayangnya kepada sang adik dan baktinya kepada sang
mertua, HB II.
Menurut
buku “Sekitar Yogyakarta”Karya Dr.
Soekanto yang mengutip dari buku “Aanteekeningen” Halaman 14 tertulis: …… atas
permintaanya sediri, Bupati Madiun Ronggo Prawirodirjo III gugur dengan
tombaknya sendiri Kiai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo, dalam perkelahian
pura-puraantara seorang melawan seorang….
Ronggo
Prawirodirjo III kemudian dikuburkan di makam bangsawan Kasultanan Yogyakarta
di Banyu Sumurup, Imogiri Predikatnya sebagai pemberontak Kasultanan
Yogyakarta. Namun pada tahun 1957, oleh Sultan HB IX, namanya direhabilitasi
dengan cara memindahkan jenazahnya ke puncak Gunung Bancak. Kecamatan
Gorang-Gareng, Magetan. Sebagai Puncak tertinggi di Kabupaten Madiun/ Magetan,
sebagai lambang keberanian seorang
bupati melawan kecongkakan Belanda.
Dikutip
dari : Majalah Keris Vol. 14 Th. 2009
Sumber:
http//: surabaya.tribunnews.com/2014/10/29
Narasumber : Bagus Candra, Pak Mamak Jupel Taman, Mas Wiwit BBSTV
Narasumber : Bagus Candra, Pak Mamak Jupel Taman, Mas Wiwit BBSTV
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus