Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya |
Bapak R.Soekamto dan Ibu bersama Kompas Madya
Hari
Senin, 18 Agustus 2014, pukul 11.30 WIB dengan membawa surat pengantar dari
Sekretariat Kompas Madya Jl. Raya Nglames, kami bertiga segera meluncur ke Jl.
Pahlawan, motor langsung saya parkir di depan kantor LVRI, Mas Ajar dan mas
Anas segera masuk dan mencari-cari seseorang yang bisa di temui, suasana kantor
sepi namun setelah kami agak masuk kedalam terlihat beberapa staf duduk di meja
kerja masing-masing.
“Selamat
pagi pak, ada yang bisa di bantu” kata salah seorang staff Pegawai Negeri Sipil.
Kemudian
kami mencritakan maksud kami untuk bertemu tokoh-tokoh Legiun Veteran di
Madiun. Akhirnya kami diberi beberapa alamat dan nomor telepon untuk di
hubungi.
Segera
kami menuju ke Jl. Kalimantan no. 15 untuk menemui Bapak R SOEKAMTO, salah
seorang pejuang TRIP.
Kami
ditemui Bapak R Soekamto dan Ibu, walau usianya sudah 87 tahun, tampak segar
bugar hanya beberapa kali beliau berusaha mengembalikan ingatan masa
lampau, dengan pelan beliau mulai
bercerita, Pemuda Soekamto yang aktif
di organisasi Pelajar yang tergabung dalam IPI (ikatan Pelajar Indonesia)
melalui konggres Pelajar tanggal 25 September 1945, terbentuklah laskar pelajar
yang mendapat binaan dari TKR maka kesatuan ini disebut TKR Pelajar kemudian
berubah menjadi TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) yang dikomandani oleh
Mas Isman
R.
Soekamto, 87 tahun Bapak dari dua anggota TNI AD ini sekarang sebagai sesepuh
TRIP Madiun, setiap hari beliau berkantor di LVRI Madiun Jl. Pahlawan samping
Kantor KODIM 0803 Madiun. Mengenang perjuangan pemuda Soekamto sebagai pelajar
HIS di Sidoarjo, setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia berkumandang
di seluruh pelosok tanah air, melalui siaran RRI di berbagai kota besar seperti
Jakarta, Bandung, Medan, Padang dan termasuk Surabaya semangat para
pemuda-pemuda menggelora mempelopori perjuangan untuk merebut dan
mempertahankan kemerdekaan. bertepatan dengan peristiwa Pidato Ir. Sukarno di
lapangan IKADA Jakarta tanggal, 19 September 1945, di surabaya terjadi sebuah
insiden perobekan bendera belanda yang kemudian dikenal sebagai Insiden Hotel
Oranye di jalan Tunjungan. Pada pertengahan oktober hingga akhir Nopember 1945,
terjadi pertempuran heroik arek-arek Surabaya.
Maka
saat itu banyak terbentuk laskar-laskar pemuda, tidak ketinggalan para siswa
membentuk kesatuan-kesatuan tentara pelajar yang kemudian tergabung dalam
Brigade XVII, diantaranya TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), TGP
(Tentara Genie Pelajar), TP (tentara pelajar)
Setelah
mendapat binaan dari TKR, Struktur dan Kepangkatan Anggota Tentara Pelajar
disesuaikan dengan TKR, tahun 1946 TKR berubah menjadi TRI (Tentara Republik
Indonesia) maka TKR pelajar pun berubah nama menjadi TRI Pelajar tepatnya pada
tanggal 26 Januari 1946 yang kemudian dikenal sampai sekarang dengan sebutan
TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar).
Setelah
Surabaya dikuasai Belanda, perjuangan tentara pelajar Brigade XVII di geser ke
wilayah Malang, Blitar, Madiun, Bojonegoro dan sekitarnya.
Pada
suatu waktu Pemuda Soekamto mendapat
tugas untuk mengambil Granat dan Detonator Bom dari adik Residen Malang,
setelah membawa barang tersebut, saat keluar sudah dihadang dan ditangkap oleh
serdadu-serdadu belanda. Pukul 5.30 sore
di dalam tangsi Belanda, pemuda Soekamto diinterograsi, kebetulan mas Kamto
juga fasih Bahasa Belanda, terdengar percakapan perwira Belanda yang mengatakan
ada lima tawanan disini dan nanti malam kita akan selesaikan, dengan perasaan yang
tidak menentu Mas Kamto, berpikir keras agar bisa meloloskan diri dari tangsi
tersebut, waktu setelah magrib para serdadu sedikit lengah, saat mendapat kode
dari temannya untuk lari ke pintu yang tidak terkunci. Mas Kamto lari keluar
dan menceburkan diri kesungai, dikejar dan diberondong tembakan beberapa kali,
dan satu butir peluru berhasil menembus paha mas Kamto, dengan berlumuran
darah, mas Kamto terus berlari dan masuk di rumah orang tua yang sedang masak,
mas Kamto bersembunyi di kolong tempat tidur. Setelah dirasa aman mas Kamto
segera masuk hutan sebagai perlindungan paling
aman di masa perjuangan, demikian kenang Bapak R. Soekamto, dan di iyakan Ibu
Soekamto yang ternyata dulu juga sebagai pejuang PMI di masa itu. Setelah masa
perjuangan selesai, Pak Kamto melanjutkan sekolah kemudian di tugaskan ke
Madiun untuk memimpin kantor percetakan negara di Madiun.
Setelah
beberapa saat kami berbincang, rasanya belum puas kami mendengar cerita
perjuangan dari beliau yang sangat heroik, namun karena beliau segera
melaksanakan sholat dhuhur dan beristirahat maka kami segera pamit untuk
melanjutkan kunjungan kami ke pejuang TRIP yang lainya, yaitu Bapak Yusuf
Musdi. Beliau tinggal di Jl. Bali pojokan Gg. Hirjan. Hirjan sendiri diambil
dari nama salah satu ayah anggota TRIP Win Wiryawan yang dulu rumahnya selalu dijadikan tempat persembunyian dan berlindung dari kejaran tentara Belanda. Eyang Hirjan seorang kontraktor yang cukup berada pada saat itu.
Bapak R. Soekamto pulang ke Rahmatullah pada Hari Selasa, 14 April 2015 pukul: 04.00 di rumah duka Jl. Kalimantan No. 15 Kota Madiun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Bapak R. Soekamto pulang ke Rahmatullah pada Hari Selasa, 14 April 2015 pukul: 04.00 di rumah duka Jl. Kalimantan No. 15 Kota Madiun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya |
Bapak
Yusuf Musdi menerima kedatangan kami bertiga dengan sangat ramah, serasa sudah
lama kami mengenalnya. Setelah kami mengutarakan maksud kami Pak Yusuf segera mengungkapkan
keprihatinan beliau tentang kurangnya generasi muda mengetahui sejarah
perjuangan kemerdekaan di kota Madiun,
terutama tentang perjuangan Pelajar di Madiun. Generasi muda Madiun jarang yang
mengetahui bahwa Madiun mempunyai kisah-kisah perjuangan heroik melawan penjajah Belanda, SMP Negeri 2 Kota Madiun
dulu disebut SMP Pasar Kawak sebagai markas TRIP pernah terjadi kisah heroik
hingga gugur Pelajar Mulyadi oleh Pasukan Pesindo pendukung PKI Muso, kemudian
dibangun Monumen di depan SMP 2 Madiun dan Monumen Mulyadi di Jl. Mastrip
diprakarsai paguyuban Ex Brigade XVII tahun 1987.
Sebagai
pejuang TRIP Pemuda Yusuf Musdi sering ikut bergerilya, biasanya beliau dan
kawan-kawan menyerang Markas Belanda yang bertempat di Jl. Pahlawan sekarang menjadi
Mall “Matahari” pada malam hari dan bersembunyi di desa sekitar hutan di siang
hari. Pernah suatu ketika beliau terluka kemudian dirawat seorang dokter namun
beberapa hari berikutnya sang dokter di tangkap serdadu belanda dan tidak
diketahui nasibnya, kenang Pak Yusuf dengan berkaca-kaca, beliau juga
mengungkapkan beberapa kejadian memprihatinkan saat beliau ikut bergerilya,
pernah suatu waktu pasukan singgah di sebuah desa dan tinggal beberapa hari di
rumah salah satu penduduk, ada informasi dari telik sandi bahwa belanda akan
datang ke desa tersebut, segera pasukan meninggalkan desa dengan cepat, namun
ada salah satu tas pasukan tertinggal hingga Belanda menemukan rumah tersebut
dan dibakar hingga habis tak tersisa. Penduduk tersebut beserta keluarga
mengungsi ikut pasukan gerilya. Hal ini yang membuat Pak Yusuf merasa sedih apalagi
saat pemerintah memberikan penghargaan pada anggota pejuang, bapak ini yang
secara tidak langsung mengabdikan harta dan jiwa raga tidak ikut mendapat
penghargaan karena sesuatu hal.
Pak
Yusuf setelah masa perang mempertahankan kemerdekaan usai beliau memilih untuk melanjutkan ke
bangku sekolah dan meniti karirnya sebagai pegawai di Dinas Kehutanan Madiun.
Ada sebuah cerita menarik dari Bapak Yusuf berkaitan dengan Bosbow. Dulu di era kolonial awal tahun 1900 Bosbow (boschbouw) yang berada di Jl. Whilhemina (sekarang Jl. Diponegoro) adalah sekolah pamong praja OSVIA (Opleiding School voor Indlandsche Abtenaaren) sekolah ini diperuntukan untuk kaum bangsawan pribumi, salah satunya putra Bupati Ponorogo yaitu R. Suprio Karto Kusumo. Pada tahun 1938 siswa-siswa OSVIA disini sudah banyak terpengaruh dengan pergerakan nasionalisme untuk kemerdekaan Indonesia, saat ada kunjungan Resident Madiun beserta istri ada beberapa siswa dan R. Suprio Karto Kusumo menyerukan yel-yel Indonesia merdeka, hingga Mr. Residen marah dan 2 bulan kemudian OSVIA Madiun ditutup.
Ada sebuah cerita menarik dari Bapak Yusuf berkaitan dengan Bosbow. Dulu di era kolonial awal tahun 1900 Bosbow (boschbouw) yang berada di Jl. Whilhemina (sekarang Jl. Diponegoro) adalah sekolah pamong praja OSVIA (Opleiding School voor Indlandsche Abtenaaren) sekolah ini diperuntukan untuk kaum bangsawan pribumi, salah satunya putra Bupati Ponorogo yaitu R. Suprio Karto Kusumo. Pada tahun 1938 siswa-siswa OSVIA disini sudah banyak terpengaruh dengan pergerakan nasionalisme untuk kemerdekaan Indonesia, saat ada kunjungan Resident Madiun beserta istri ada beberapa siswa dan R. Suprio Karto Kusumo menyerukan yel-yel Indonesia merdeka, hingga Mr. Residen marah dan 2 bulan kemudian OSVIA Madiun ditutup.
Setahun
kemudian tanggal 26 Agustus 1939 oeh
J.H. Becking pimpinan jawatan kehutanan di Bosbow Madiun didirikan MBS
(Midlebare Boschbouw School) disini mendidik siswa pribumi tamatan MULO selama
3 tahun. Selain MBS disini juga digunakan untuk pusat kegiatan sekolah
kehutanan MOSVIA (Middelbare Opleiding School voor Indlandsche Abtenaaren).
Setelah pendudukan Jepang, Bosbow ditutup dan digunakan sebagai markas tentara
Jepang, pak Yusuf juga menunjukan beberapa tempat yang dulu digunakan untuk
markas-markas tentara diantaranya : KOREM dulu di gunakan untuk markas Kempetai
(polisi Militer Jepang), PETA dulu bermarkas di Batalyon 501 yang di komandani
oleh Tohir, DKT dulu markas Pesindo, Toko Bata Perempatan Tugu dulu markas
TRIP, kemudian dipindah sementara ke SMP Pasar Kawak / SMP 2 Madiun, SMP 12
Madiun dulu markas TGP, Mall Matahari dulu Markas Belanda.
Keesokan
harinya bersama Mas Anas kami berkunjung ke kediaman Bapak Soekirman, beliau
adalah eks pejuang TGP, Mbah Kirman begitu beliau dikenal di sekitar
kediamannya Jl. Ringin Madiun. Beliau aktif di kegiatan-kegiatan sosial dan
paguyuban-paguyuban seni dan kebudayaan. Setelah kami berbincang cukup lama,
beliau berkenan untuk hadir pada acara Donor Darah yang akan kami laksanakan
tanggal 24 Agustus 2014 di sekretariat YSS (Yayasan Suliati Sujoso) Jl. Joiranan Kota Madiun untuk
mengkisahkan perjuangan sebagai Tentara Genie Pelajar di Madiun.
Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya |
Mbah
Kirman walaupun usianya sudah 83 tahun, namun beliau tampak segar, energik dan
ingatanya masih kuat. Mbah Kirman datang ditemani Mbah Prapto, 85 tahun juga
eks TGP, Setelah bersilaturahmi dengan teman-teman YSS, Kompas Madya, juga
hadir Pak Agung Sugiharto, Pak Jans Susetyo dan perwakilan siswa SMP Negeri 2
Madiun sebagai generasi penerus TRIP Madiun, Mbah Kirman mulai mengkisahkan
perjuangan Tentara Pelajar di Madiun.
Setelah
peristiwa PKI / Muso di Madiun, disusul agresi militer Belanda II, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan
RI, para senior TGP membuka pendaftaran bagi para pemuda untuk ikut bergerilya bergabung
dalam Tentara Genie Pelajar melawan agresi militer Belanda, pada saat itu
rekrutmen dilaksanakan di gedung Sekolah Teknik depan Markas Mobrig Kletak,
Madiun. (sekarang SMP Negeri 12 Madiun), pada saat itu terkumpul 98 anggota TGP
dan dibentuk kompi 2 wilayah Madiun. Saat awal kedatangan Belanda pasukan TGP
sudah kehilangan 2 anggotanya yaitu, saudara Heru dan Suwarno anak Jl. Pandan
dan Jl. Kalimantan yaitu saat ditugaskan meledakan Kantor Telpon di berondong serdadu Belanda, kemudian yang
mengharukan gugurnya Pemuda Bagio dan Saparno beliau berdua teman karib sejak
kecil dari daerah Njuritan Madiun, Beliau berdua gugur saat memasang ranjau di
jalan raya Saradan dekat SMP 2 Saradan sekarang. Tubuh beliau berdua hancur dan
dijadikan satu dimakamkan di TMP Madiun. Dalam 1 tahun perjuangan Pasukan TGP kompi
2 Madiun harus merelakan 36 pejuang yang gugur di medan laga.
Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya |
Wilayah
perjuangan kompi 2 TGP mulai daerah Pati, Blora, Bojonegoro, karesidenan Madiun
sampai ke Nganjuk. Hingga saat ini eks anggota TGP Brigade XVII di Madiun tinggal beberapa orang yang masih sugeng, diantaranya : Pak Soekirman, Pak Prapto, Pak Soenardi, Pak Imam Soehartono, Pak
Bandung, Pak Mujirin Sedangkan bekas komandan satuan Genie Pionir
Bapak Mayjend Ir. R. Sutjihno dan Bapak Bambang Triantoro saat ini tinggal di
Jakarta.
Didalam
kompi TGP dibagi dalam beberapa kesatuan diantaranya Pasukan Infanteri, Genie
Pioner yang bertugas meledakan jembatan yang akan dilalui sedadu Belanda, dan bagian
Fabrikaze bertugas merakit bom, detonator, memperbaiki senjata yang rusak
biasanya senjata di pasok dari Mobile Brigade dan mesiu di ambil dari TNI AU di
Ndurenan Magetan, Ngawi di Kedunggalar, Ponorogo di Kanten dan Madiun di Baru Klinting
Saradan. Pak Husin almarhum dari Gemarang salah satunya yang piawai membuat
berbagai jenis bom.
Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya |
Mbah Kirman bersama Kompas Madya, dan Generasi TRIP SMP 2, saat acara Donor Darah YSS.
Kenangan
mengesankan bagi Mbah Kirman adalah ketika akan meledakan jembatan di daerah
Somoroto Ponorogo, oleh ODM (Onder District Militer) agar peledakan ditunda dulu
karena Pak Dirman sebentar lagi melintasi daerah sini, betul saja Jendral
Sudirman bersama pasukannya melintasi daerah Ponorogo bahkan Mbah Kirman dan
kawan-kawan TGP yang mencarikan jalan menuju ke Ngliman wilayah Nganjuk agar
tidak diketahui oleh Belanda.
Mbah
Kirman beberapa kali bermaksud memberikan orientasi sejarah perjuangan ST / SMP
12 Madiun, yang merupakan sekolah cikal bakal Pasukan TGP Madiun, dimana kala
itu merupakan tempat belajar serta perindungan setiap selesai melakukan penyerangan,
anak-anak TGP biasanya bersembunyi di ruang gambar sekolah. Kemudian kembali ke
markas TGP di rumah dinas Pabrik Gula Rejoagung nomor 17, namun beberapa kali
pihak sekolah belum berkenan.
Demikian
cukup panjang dan menarik Mbah Kirman menceritakan pahit getirnya perjuangan
Tentara Pelajar Brigade XVII / khususnya Tentara Genie Pelajar Kompi 2 wilayah
Madiun.
Mbah Kirman ( KRT. Soekirman Prasetyo Dipuro) wafat : Senin, 17 April 2017. dalam usia 86 tahun
Mbah Prapto wafat 28 Desember 2019
Sumber
: Pelaku Sejarah ex Brigade XVII / TRIP dan TGP wilayah Madiun.
PENGHARGAAN PEMERINTAH RI
TERHADAP PEJUANG PELAJAR
Dalam
rangka ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia para Pelajar
Pejuang mengadakan konggres pada tanggal 25 September 1945 di Yogyakarta,
menghasilkan pernyataan :
1. Kami adalah pelajar Indonesia
2.
Menolak
menjadi pelajar selain daripada Pemerintah Indonesia
3. Menyediakan tenaga, jiwa raga
untuk kepentingan Bangsa dan Negara Indonesia
Selanjutnya
bertempat di Ksatrian TKR J. Pingit Yogyakarta, Mayor Jend. Dr. Mustopo
meresmikan sekaligus membuka latihan kemiliteran bagi IPI bagian pertahanan yang
selanjutnya berkembang menjadi TP, TRIP, TGP yang tergabung dalam Brigade XVII
meliputi : Detasemen I Jawa Timur, Detasemen II Surakarta dan Semarang,
Detasemen III Yogyakarta.
Selanjutnya
setelah masa perjuangan kemerdekaan usai, pemerintah mengeluarkan peraturan
atas dharma bhakti para pelajar, yaitu PP no 31 tahun 1949 tanggal 24-12-1949 tentang Penghargaan
Pemerintah Terhadap Pelajar yang Telah Berbakti
Pasal
2 : penghargaan
dibagi atas :
1.
Penghargaan Umum
2.
Penghargaan Chusus
3.
Penghargaan Istimewa
Pasal
3 : Penghargaan dibagi atas :
1.
Surat Tanda Bakti
2.
Ketentuan, bahwa selama mendjalankan kewadjiban berbakti dianggap sebagai masa
Kerdja, jang diperhitungkan untuk menetapkan gadji, pangkat dan pensiun.
Pasal
4 :
Penghargaan chusus berupa :
Penghargaan chusus berupa :
1.
Kelas-kelas peralihan
2.
Waktu udjian tersendiri
3.
Pembebasan uang sekolah dan alat-alat
4.
Uang saku
5.
Perawatan tjuma-tjuma terhadap jang menderita penjakit djasmani dan rochani
karena berdjuang.
Pasal
5 : Penghargaan umum diberikan
kepada setiap peladjar jang telah mendjaankan kewadjiban berbakti. Penghargaan
Istimewa berupa : Surat-surat bakti istimewa, disertai beurs dan /atau lainnya
Pada
awal tahun 1950, pemerinta berpendapat bahwa masa yang memerlukan pengerahan
tenaga sebanyak mungkin telah berakhir, maka berdasarkan Keputusan Menteri
Pertahanan No.193/MP/50 tanggal 9 Mei 1950 tentang DEMOBILISASI MENTERI
PERTAHANAN bahwa anggota TNI Brigade XVII yang tidak melanjutkan dalam dinas
tentara di Demobilisasi, untuk mengurus penempatannya dalam masyarakat, telah
dikeuarkan peraturan yang khusus mengatur Pelajar Pejuang, yaitu PP No.14 tahun
1950 tangga 12 Juli 1950.
Selanjutnya
sesuai pengumuman dari Menteri PP dan K
Bapak S. Mangoensarkoro No: 6349/A tanggal 12 Agustus 1950 dan Surat
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia Serikat No. KP/2057/50 tanggal 19 Mei
1950, nasib para pelajar pejuang yang telah didemobilisasi diurus langsung oleh
Pemerintah Republik Indonesia Serikat.
Untuk
mengurus berbagai masalah yang diperlukan khusus pelajar pejuang yang telah didemobilisasi, telah didirikan Kantor Urusan Demobilisasi Pelajar (KUDP) dengan
demikian pelajar yang telah diurus oleh KUDP
terkena pula sebagai pelajar KUDP.
Peraturan
Menteri Perburuhan R.I. No.2 Tahun 1956 tanggal 20 Maret 1956 tentang Pemberian
Tunjangan Kepada Bekas Pelajar Pejuang Yang dipekerjakan Darurat / Ditunjuk
Mengikuti Kursus.
Pasal
1 : Bekas pelajar pejuang yang dipekerjakan darurat pada instansi instansi
pemerintah atau ditunjuk mengikuti kursus pemerintah, dan tidak mendapat
tunjangan dari instansi penyelenggaranya, diberi tunjangan bulanan sebanyak
85% dari jumlah gaji pokok menurut gaji pegawai yang berlaku, ditambah dengan
tunjangan kemahalan setempat dan tunjangan
keluarga dikurangi pajak upah.
Dikutip
: Buku sejarah tumbuh kembangnya YP 17 Jatim, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar