Selasa, 23 September 2014

Menelusuri Kisah Pejuang TRIP / TGP Madiun Yang Mulai Terlupakan

Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya
Bapak R.Soekamto dan Ibu bersama Kompas Madya

Hari Senin, 18 Agustus 2014, pukul 11.30 WIB dengan membawa surat pengantar dari Sekretariat Kompas Madya Jl. Raya Nglames, kami bertiga segera meluncur ke Jl. Pahlawan, motor langsung saya parkir di depan kantor LVRI, Mas Ajar dan mas Anas segera masuk dan mencari-cari seseorang yang bisa di temui, suasana kantor sepi namun setelah kami agak masuk kedalam terlihat beberapa staf duduk di meja kerja masing-masing.

“Selamat pagi pak, ada yang bisa di bantu” kata salah seorang staff Pegawai Negeri Sipil.
Kemudian kami mencritakan maksud kami untuk bertemu tokoh-tokoh Legiun Veteran di Madiun. Akhirnya kami diberi beberapa alamat dan nomor telepon untuk di hubungi.
Segera kami menuju ke Jl. Kalimantan no. 15 untuk menemui Bapak R SOEKAMTO, salah seorang pejuang TRIP.

Kami ditemui Bapak R Soekamto dan Ibu, walau usianya sudah 87 tahun, tampak segar bugar hanya beberapa kali beliau berusaha mengembalikan ingatan masa lampau,  dengan pelan beliau mulai bercerita,   Pemuda Soekamto yang aktif di organisasi Pelajar yang tergabung dalam IPI (ikatan Pelajar Indonesia) melalui konggres Pelajar tanggal 25 September 1945, terbentuklah laskar pelajar yang mendapat binaan dari TKR maka kesatuan ini disebut TKR Pelajar kemudian berubah menjadi TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) yang dikomandani oleh Mas Isman

R. Soekamto, 87 tahun Bapak dari dua anggota TNI AD ini sekarang sebagai sesepuh TRIP Madiun, setiap hari beliau berkantor di LVRI Madiun Jl. Pahlawan samping Kantor KODIM 0803 Madiun. Mengenang perjuangan pemuda Soekamto sebagai pelajar HIS di Sidoarjo, setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia berkumandang di seluruh pelosok tanah air, melalui siaran RRI di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan, Padang dan termasuk Surabaya semangat para pemuda-pemuda menggelora mempelopori perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. bertepatan dengan peristiwa Pidato Ir. Sukarno di lapangan IKADA Jakarta tanggal, 19 September 1945, di surabaya terjadi sebuah insiden perobekan bendera belanda yang kemudian dikenal sebagai Insiden Hotel Oranye di jalan Tunjungan. Pada pertengahan oktober hingga akhir Nopember 1945, terjadi pertempuran heroik arek-arek Surabaya.
Maka saat itu banyak terbentuk laskar-laskar pemuda, tidak ketinggalan para siswa membentuk kesatuan-kesatuan tentara pelajar yang kemudian tergabung dalam Brigade XVII, diantaranya TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), TGP (Tentara Genie Pelajar), TP (tentara pelajar)
Setelah mendapat binaan dari TKR, Struktur dan Kepangkatan Anggota Tentara Pelajar disesuaikan dengan TKR, tahun 1946 TKR berubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) maka TKR pelajar pun berubah nama menjadi TRI Pelajar tepatnya pada tanggal 26 Januari 1946 yang kemudian dikenal sampai sekarang dengan sebutan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar).

Setelah Surabaya dikuasai Belanda, perjuangan tentara pelajar Brigade XVII di geser ke wilayah Malang, Blitar, Madiun, Bojonegoro dan sekitarnya.
Pada suatu waktu  Pemuda Soekamto mendapat tugas untuk mengambil Granat dan Detonator Bom dari adik Residen Malang, setelah membawa barang tersebut, saat keluar sudah dihadang dan ditangkap oleh serdadu-serdadu belanda.  Pukul 5.30 sore di dalam tangsi Belanda, pemuda Soekamto diinterograsi, kebetulan mas Kamto juga fasih Bahasa Belanda, terdengar percakapan perwira Belanda yang mengatakan ada lima tawanan disini dan nanti malam kita akan selesaikan, dengan perasaan yang tidak menentu Mas Kamto, berpikir keras agar bisa meloloskan diri dari tangsi tersebut, waktu setelah magrib para serdadu sedikit lengah, saat mendapat kode dari temannya untuk lari ke pintu yang tidak terkunci. Mas Kamto lari keluar dan menceburkan diri kesungai, dikejar dan diberondong tembakan beberapa kali, dan satu butir peluru berhasil menembus paha mas Kamto, dengan berlumuran darah, mas Kamto terus berlari dan masuk di rumah orang tua yang sedang masak, mas Kamto bersembunyi di kolong tempat tidur. Setelah dirasa aman mas Kamto segera masuk hutan sebagai  perlindungan paling aman di masa perjuangan, demikian kenang Bapak R. Soekamto, dan di iyakan Ibu Soekamto yang ternyata dulu juga sebagai pejuang PMI di masa itu. Setelah masa perjuangan selesai, Pak Kamto melanjutkan sekolah kemudian di tugaskan ke Madiun untuk memimpin kantor percetakan negara di Madiun.

Setelah beberapa saat kami berbincang, rasanya belum puas kami mendengar cerita perjuangan dari beliau yang sangat heroik, namun karena beliau segera melaksanakan sholat dhuhur dan beristirahat maka kami segera pamit untuk melanjutkan kunjungan kami ke pejuang TRIP yang lainya, yaitu Bapak Yusuf Musdi. Beliau tinggal di Jl. Bali pojokan Gg. Hirjan. Hirjan sendiri diambil dari nama salah satu ayah anggota TRIP Win Wiryawan yang dulu rumahnya selalu dijadikan tempat persembunyian dan berlindung dari kejaran tentara Belanda. Eyang Hirjan seorang kontraktor yang cukup berada pada saat itu.
Bapak R. Soekamto pulang ke Rahmatullah pada Hari Selasa, 14 April 2015 pukul: 04.00 di rumah duka Jl. Kalimantan No. 15 Kota Madiun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. 
Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya
Bapak Yusuf Musdi menerima kedatangan kami bertiga dengan sangat ramah, serasa sudah lama kami mengenalnya. Setelah kami mengutarakan maksud kami Pak Yusuf segera mengungkapkan keprihatinan beliau tentang kurangnya generasi muda mengetahui sejarah perjuangan kemerdekaan  di kota Madiun, terutama tentang perjuangan Pelajar di Madiun. Generasi muda Madiun jarang yang mengetahui bahwa Madiun mempunyai kisah-kisah perjuangan heroik melawan penjajah Belanda, SMP Negeri 2 Kota Madiun dulu disebut SMP Pasar Kawak sebagai markas TRIP pernah terjadi kisah heroik hingga gugur Pelajar Mulyadi oleh Pasukan Pesindo pendukung PKI Muso, kemudian dibangun Monumen di depan SMP 2 Madiun dan Monumen Mulyadi di Jl. Mastrip diprakarsai paguyuban Ex Brigade XVII tahun 1987.

Sebagai pejuang TRIP Pemuda Yusuf Musdi sering ikut bergerilya, biasanya beliau dan kawan-kawan menyerang Markas Belanda yang bertempat di Jl. Pahlawan sekarang menjadi Mall “Matahari” pada malam hari dan bersembunyi di desa sekitar hutan di siang hari. Pernah suatu ketika beliau terluka kemudian dirawat seorang dokter namun beberapa hari berikutnya sang dokter di tangkap serdadu belanda dan tidak diketahui nasibnya, kenang Pak Yusuf dengan berkaca-kaca, beliau juga mengungkapkan beberapa kejadian memprihatinkan saat beliau ikut bergerilya, pernah suatu waktu pasukan singgah di sebuah desa dan tinggal beberapa hari di rumah salah satu penduduk, ada informasi dari telik sandi bahwa belanda akan datang ke desa tersebut, segera pasukan meninggalkan desa dengan cepat, namun ada salah satu tas pasukan tertinggal hingga Belanda menemukan rumah tersebut dan dibakar hingga habis tak tersisa. Penduduk tersebut beserta keluarga mengungsi ikut pasukan gerilya. Hal ini yang membuat Pak Yusuf merasa sedih apalagi saat pemerintah memberikan penghargaan pada anggota pejuang, bapak ini yang secara tidak langsung mengabdikan harta dan jiwa raga tidak ikut mendapat penghargaan karena sesuatu hal.        
Pak Yusuf setelah masa perang mempertahankan kemerdekaan usai beliau memilih untuk melanjutkan ke bangku sekolah dan meniti karirnya sebagai pegawai di Dinas Kehutanan Madiun. 

Ada sebuah cerita menarik dari Bapak Yusuf berkaitan dengan Bosbow. Dulu di era kolonial awal tahun 1900 Bosbow (boschbouw) yang berada di Jl. Whilhemina (sekarang Jl. Diponegoro) adalah sekolah pamong praja OSVIA (Opleiding School voor Indlandsche Abtenaaren) sekolah ini diperuntukan untuk kaum bangsawan pribumi, salah satunya putra Bupati Ponorogo yaitu R. Suprio Karto Kusumo. Pada tahun 1938 siswa-siswa OSVIA disini sudah banyak terpengaruh dengan pergerakan nasionalisme untuk kemerdekaan Indonesia, saat ada kunjungan Resident Madiun beserta istri ada beberapa siswa dan R. Suprio Karto Kusumo  menyerukan yel-yel Indonesia merdeka, hingga Mr. Residen marah dan 2 bulan kemudian OSVIA Madiun ditutup.

Setahun kemudian tanggal 26 Agustus 1939 oeh  J.H. Becking pimpinan jawatan kehutanan di Bosbow Madiun didirikan MBS (Midlebare Boschbouw School) disini mendidik siswa pribumi tamatan MULO selama 3 tahun. Selain MBS disini juga digunakan untuk pusat kegiatan sekolah kehutanan MOSVIA (Middelbare Opleiding School voor Indlandsche Abtenaaren). Setelah pendudukan Jepang, Bosbow ditutup dan digunakan sebagai markas tentara Jepang, pak Yusuf juga menunjukan beberapa tempat yang dulu digunakan untuk markas-markas tentara diantaranya : KOREM dulu di gunakan untuk markas Kempetai (polisi Militer Jepang), PETA dulu bermarkas di Batalyon 501 yang di komandani oleh Tohir, DKT dulu markas Pesindo, Toko Bata Perempatan Tugu dulu markas TRIP, kemudian dipindah sementara ke SMP Pasar Kawak / SMP 2 Madiun, SMP 12 Madiun dulu markas TGP, Mall Matahari dulu Markas Belanda.
Keesokan harinya bersama Mas Anas kami berkunjung ke kediaman Bapak Soekirman, beliau adalah eks pejuang TGP, Mbah Kirman begitu beliau dikenal di sekitar kediamannya Jl. Ringin Madiun. Beliau aktif di kegiatan-kegiatan sosial dan paguyuban-paguyuban seni dan kebudayaan. Setelah kami berbincang cukup lama, beliau berkenan untuk hadir pada acara Donor Darah yang akan kami laksanakan tanggal 24 Agustus 2014 di sekretariat YSS (Yayasan Suliati Sujoso) Jl. Joiranan Kota Madiun untuk mengkisahkan perjuangan sebagai Tentara Genie Pelajar di Madiun.
Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya
Mbah Kirman walaupun usianya sudah 83 tahun, namun beliau tampak segar, energik dan ingatanya masih kuat. Mbah Kirman datang ditemani Mbah Prapto, 85 tahun juga eks TGP, Setelah bersilaturahmi dengan teman-teman YSS, Kompas Madya, juga hadir Pak Agung Sugiharto, Pak Jans Susetyo dan perwakilan siswa SMP Negeri 2 Madiun sebagai generasi penerus TRIP Madiun, Mbah Kirman mulai mengkisahkan perjuangan Tentara Pelajar di Madiun.
Setelah peristiwa PKI / Muso di Madiun, disusul agresi militer Belanda II, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan RI, para senior TGP membuka pendaftaran bagi para pemuda untuk ikut bergerilya bergabung dalam Tentara Genie Pelajar melawan agresi militer Belanda, pada saat itu rekrutmen dilaksanakan di gedung Sekolah Teknik depan Markas Mobrig Kletak, Madiun. (sekarang SMP Negeri 12 Madiun), pada saat itu terkumpul 98 anggota TGP dan dibentuk kompi 2 wilayah Madiun. Saat awal kedatangan Belanda pasukan TGP sudah kehilangan 2 anggotanya yaitu, saudara Heru dan Suwarno anak Jl. Pandan dan Jl. Kalimantan yaitu saat ditugaskan meledakan Kantor Telpon  di berondong serdadu Belanda, kemudian yang mengharukan gugurnya Pemuda Bagio dan Saparno beliau berdua teman karib sejak kecil dari daerah Njuritan Madiun, Beliau berdua gugur saat memasang ranjau di jalan raya Saradan dekat SMP 2 Saradan sekarang. Tubuh beliau berdua hancur dan dijadikan satu dimakamkan di TMP Madiun. Dalam 1 tahun perjuangan Pasukan TGP kompi 2 Madiun harus merelakan 36 pejuang yang gugur di medan laga.
Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya
Wilayah perjuangan kompi 2 TGP mulai daerah Pati, Blora, Bojonegoro, karesidenan Madiun sampai ke Nganjuk. Hingga saat ini eks anggota TGP Brigade XVII di Madiun tinggal beberapa orang yang masih sugeng, diantaranya : Pak Soekirman, Pak Prapto, Pak Soenardi, Pak Imam Soehartono, Pak Bandung, Pak Mujirin Sedangkan bekas komandan satuan Genie Pionir Bapak Mayjend Ir. R. Sutjihno dan Bapak Bambang Triantoro saat ini tinggal di Jakarta.
Didalam kompi TGP dibagi dalam beberapa kesatuan diantaranya Pasukan Infanteri, Genie Pioner yang bertugas meledakan jembatan yang akan dilalui sedadu Belanda, dan bagian Fabrikaze bertugas merakit bom, detonator, memperbaiki senjata yang rusak biasanya senjata di pasok dari Mobile Brigade dan mesiu di ambil dari TNI AU di Ndurenan Magetan, Ngawi di Kedunggalar, Ponorogo di Kanten dan Madiun di Baru Klinting Saradan. Pak Husin almarhum dari Gemarang salah satunya yang piawai membuat berbagai jenis bom.
Menelusuri Sejarah Perjuangan Madiun Raya
Mbah Kirman bersama Kompas Madya, dan Generasi TRIP SMP 2, saat acara Donor Darah YSS.

Kenangan mengesankan bagi Mbah Kirman adalah ketika akan meledakan jembatan di daerah Somoroto Ponorogo, oleh ODM (Onder District Militer) agar peledakan ditunda dulu karena Pak Dirman sebentar lagi melintasi daerah sini, betul saja Jendral Sudirman bersama pasukannya melintasi daerah Ponorogo bahkan Mbah Kirman dan kawan-kawan TGP yang mencarikan jalan menuju ke Ngliman wilayah Nganjuk agar tidak diketahui oleh Belanda.
Mbah Kirman beberapa kali bermaksud memberikan orientasi sejarah perjuangan ST / SMP 12 Madiun, yang merupakan sekolah cikal bakal Pasukan TGP Madiun, dimana kala itu merupakan tempat belajar serta perindungan setiap selesai melakukan penyerangan, anak-anak TGP biasanya bersembunyi di ruang gambar sekolah. Kemudian kembali ke markas TGP di rumah dinas Pabrik Gula Rejoagung nomor 17, namun beberapa kali pihak sekolah belum berkenan.
Demikian cukup panjang dan menarik Mbah Kirman menceritakan pahit getirnya perjuangan Tentara Pelajar Brigade XVII / khususnya Tentara Genie Pelajar Kompi 2 wilayah Madiun. 

Mbah Kirman ( KRT. Soekirman Prasetyo Dipuro) wafat : Senin, 17 April 2017. dalam usia 86 tahun

Mbah Prapto wafat 28 Desember 2019

Sumber : Pelaku Sejarah ex Brigade XVII / TRIP dan TGP wilayah Madiun.


PENGHARGAAN PEMERINTAH RI TERHADAP PEJUANG PELAJAR

Dalam rangka ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia para Pelajar Pejuang mengadakan konggres pada tanggal 25 September 1945 di Yogyakarta, menghasilkan pernyataan :
1.      Kami adalah pelajar Indonesia
2.      Menolak menjadi pelajar selain daripada Pemerintah Indonesia
3.      Menyediakan tenaga, jiwa raga untuk kepentingan Bangsa dan Negara Indonesia
Selanjutnya bertempat di Ksatrian TKR J. Pingit Yogyakarta, Mayor Jend. Dr. Mustopo meresmikan sekaligus membuka latihan kemiliteran bagi IPI bagian pertahanan yang selanjutnya berkembang menjadi TP, TRIP, TGP yang tergabung dalam Brigade XVII meliputi : Detasemen I Jawa Timur, Detasemen II Surakarta dan Semarang, Detasemen III Yogyakarta.
Selanjutnya setelah masa perjuangan kemerdekaan usai, pemerintah mengeluarkan peraturan atas dharma bhakti para pelajar, yaitu PP no 31 tahun 1949 tanggal 24-12-1949   tentang Penghargaan Pemerintah Terhadap Pelajar yang Telah Berbakti
Pasal 2                         : penghargaan dibagi atas :
1. Penghargaan Umum  
2. Penghargaan Chusus  
3. Penghargaan Istimewa
Pasal 3                         : Penghargaan dibagi atas :
1. Surat Tanda Bakti       
2. Ketentuan, bahwa selama mendjalankan kewadjiban berbakti dianggap sebagai masa Kerdja, jang diperhitungkan untuk menetapkan gadji, pangkat dan pensiun.
Pasal 4             :  
Penghargaan chusus berupa :
1. Kelas-kelas peralihan          
2. Waktu udjian tersendiri                     
3. Pembebasan uang sekolah dan alat-alat      
4. Uang saku   
5. Perawatan tjuma-tjuma terhadap jang menderita penjakit djasmani dan rochani karena berdjuang.
Pasal 5             : Penghargaan umum diberikan kepada setiap peladjar jang telah mendjaankan kewadjiban berbakti. Penghargaan Istimewa berupa : Surat-surat bakti istimewa, disertai beurs dan /atau lainnya
Pada awal tahun 1950, pemerinta berpendapat bahwa masa yang memerlukan pengerahan tenaga sebanyak mungkin telah berakhir, maka berdasarkan Keputusan Menteri Pertahanan No.193/MP/50 tanggal 9 Mei 1950 tentang DEMOBILISASI MENTERI PERTAHANAN bahwa anggota TNI Brigade XVII yang tidak melanjutkan dalam dinas tentara di Demobilisasi, untuk mengurus penempatannya dalam masyarakat, telah dikeuarkan peraturan yang khusus mengatur Pelajar Pejuang, yaitu PP No.14 tahun 1950 tangga 12 Juli 1950.
Selanjutnya sesuai pengumuman dari Menteri PP dan K  Bapak S. Mangoensarkoro No: 6349/A tanggal 12 Agustus 1950 dan Surat Kementerian Pertahanan Republik Indonesia Serikat No. KP/2057/50 tanggal 19 Mei 1950, nasib para pelajar pejuang yang telah didemobilisasi diurus langsung oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat.
Untuk mengurus berbagai masalah yang diperlukan khusus pelajar pejuang yang telah didemobilisasi, telah didirikan Kantor Urusan Demobilisasi Pelajar (KUDP) dengan demikian pelajar yang telah diurus oleh KUDP  terkena pula sebagai pelajar KUDP.
Peraturan Menteri Perburuhan R.I. No.2 Tahun 1956 tanggal 20 Maret 1956 tentang Pemberian Tunjangan Kepada Bekas Pelajar Pejuang Yang dipekerjakan Darurat / Ditunjuk Mengikuti Kursus.
Pasal 1 : Bekas pelajar pejuang yang dipekerjakan darurat pada instansi instansi pemerintah atau ditunjuk mengikuti kursus pemerintah, dan tidak mendapat tunjangan dari instansi penyelenggaranya, diberi tunjangan bulanan sebanyak 85% dari jumlah gaji pokok menurut gaji pegawai yang berlaku, ditambah dengan tunjangan kemahalan setempat  dan tunjangan keluarga dikurangi pajak upah.

Dikutip : Buku sejarah tumbuh kembangnya YP 17 Jatim, 2012. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar