Jumat, 23 Juli 2010

Keadaan Politik, Sosial dan Ekonomi di Madiun Pada Masa Kolonial Belanda



Keadaan Politik, Sosial dan Ekonomi di Madiun 
Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda 


Penerapan Politik Kolonial dalam Pemerintahan Kabupaten     

Sejak tahun 1855, pemerintah Belanda mulai mencampuri pemerintahan Bupati-Bupati di Madiun dan sekitarnya, kemudian Pemerintah Hindia Belanda menyusun struktur pemerintahan di Madiun, sebagai berikut: 
  1. Residen                       : A. Rutering
  2. Bupati Madiun            : Pangeran Ronggo Prawirodiningrat
  3. Sekretaris Residen      : J.D. Mispolblom Beiyer
  4. Ambtenaar Residen    : CH. Flew
  5. Ambtenaar Klas II      : F. Beiyerink
  6. Ka. Kejaksaan             : Mas Ngabehi Mertodipuro
  7. Ka. Penghulu              : H. Imam Hadjali
  8. Kapt. Urusan Cina      : Tan Ting Kaauw
  9. Letnan Urusan Cina    : Tan Goang Ik
  10. Ka. Pemerintahan Perkotaan   : Dr. M. Groot
  11. Sub Kommisien van Waldadigheid: A.H. Baron De Kock
Daerah-daerah Kabupaten kecil di wilayah sekitar Madiun mulai di hapus. Kekuasaan pemerintahan   kabupaten bukan lagi di tangan Bupati dan bawahannya sebagai wakil Kasultanan Jogjakarta, semua lini telah di kuasai Pemerintah Hindia Belanda. Bupati, wedono, mantri dan bawahannya adalah pegawai biasa, tidak mempunyai hak atas keturunannya, hanya pemerintahan desa (lurah) yang masih di beri kuasa untuk mengangkat staf-stafnya. 

Politik  Ekonomi Monopoli di terapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mengisi kas negara yang sedang kosong, dengan  cara menguasai tanah-tanah perkebunan dan pertanian rakyat yang menghasilkan bahan eksport, yaitu: kopi, gula, nila, tembakau dan kapas. Kewajiban kerja rodi tetap dilaksanakan, yang tidak terkena rodi, sebagai gantinya mereka dipungut pajak, satu gulden  tiap kepala.   

Pada tahun 1911 didirikan Sarekat Islam di Solo sebagai perkembangan bentuk baru dari Sarekat Dagang Islam yang lahir di Kota Solo juga pada dekade pertama abad XXI. Para pendirinya tidak semata-mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang -orang Cina tetapi untuk membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumiputera. Ini merupakan reaksi terhadap krestenings politik (politik pengkristenan) dari kaum Zending, perlawanan terhadap kecurangan-kecurangan dan penindasan oleh pihak ambtenar-ambtenar bumiputera dan eropa.

Penerapan Politik Kolonial Liberal di Madiun

Pelaksanaan politik Ekonomi Monopoli dianggap kurang berhasil menutupi kas dan hutang-hutang pemerintahan Kerajaan Belanda, kemudia Van Den Bosch mencetuskan politik Cultur Stelsel untuk segera menutupi defisit keuangan di Pemerintah Belanda. Pelaksanaanya, rakyat diwajibkan menanam tanaman jenis tertentu, wilayah Karisidenan Madiun, rakyat diwajibkan menanam tebu, nila, tembakau dan kapas. Tebu ditanam di daerah sekitar Kotapraja Madiun, nila di tanam di daerah Caruban, tembakau ditananm di daerah Balerejo dan Moneng, dan kapas ditanam di daerah Kebonsari. Pada pertengahan abad ke 19 tanaman-tanaman tersebut menjadi bahan eksport yang menghasilkan keuntungan yang tak terhingga.
Aturan Tanam Paksa (cultur stelsel), antara lain:
  1. Rakyat petani diwajibkan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tumbuhan tertentu Prakteknya : tanah diminta dengan paksa, yang dipilih tanah yang subur.
  2. Tanah pertanian yang diserahkan meliputi luas separuh bagian luas tanah pertaniannya >< Prakteknya : tanah yang diminta lebih dari separuh, bahkan sampai seluruh desa.
  3. Tenaga penanam disediakan dari orang-orang yang bukan petani >< Prakteknya : tenaga diambil dengan cara rodi, ditempatkan jauh dalam jangka waktu berbulan-bulan
  4. Tanah yang disewakan bebas dari semua pajak
  5. Hasil penanaman, diserahkan kepada pemerintah ditempatkan pada tempat tertentu dengan harga sesuai harga pasar setempat >< Prakteknya : tidak dibeli, hanya di ganti angkutannya saja.
  6. Jika tidak menghasilkan karena kekeliruan petani , akan ditanggung pemerintah Belanda >< Prakteknya : jika tidak menghasilkan, petani diberi sangsi pengulangan penyerahan tanah.

Akan tetapi peraturan yang tampak meringankan rakyat tersebut, dalam pelaksanaanya justru mengakibatkan penderitaan rakyat yang luar biasa.

Pada pertengahan kedua abad ke 19, semua hutang luar negeri Pemerintah Belanda mampu teratasi dan bahkan banyak orang Belanda menjadi yang kaya raya atau kaum kapitalis, akibat adanya politik tanam paksa tersebut.
Kaum kapitalis Belanda mulai ingin menanamkan modalnya di Hindia Belanda, hingga akhirnya Pemerintah Belanda pada tahun 1870, membuka pintu untuk masuknya modal swasta ke tanah Hindia Belanda.
Tahun 1880, mulai banyak orang asing yang menanamkan modalnya di Madiun pada umumnya di bidang pertanian, meliputi tebu, kopi, tembakau dan perkayuan.    

Dalam bidang transportasi pada tanggal 6 Juni 1878, Pemerintah Belanda membuka jalan lalu lintas kereta api di wilayah Madiun dengan rute sebagai berikut :
  1. Lein Spoor Sidoarjo – Mojokerto mulai 16-10-1880
  2. Lein Spoor Mojokerto – Kertosono mulai 25-6-1881
  3. Lein Spoor Kertosono – Kediri mulai 13-8-1881
  4. Lein Spoor Kerosono – Madiun mulai 1-7- 1882
  5. Lein Spoor Kediri – Blitar mulai 16-6-1884

Jalur-jalur Kereta api tersebut mempunyai peranan yang cukup besar bagi perkembangan industri di wilayah Jawa Timur, fasilitas kereta api ini banyak dimanfaatkan untuk perjalanan para pejabat, pengusaha dan tentara Belanda.  

Perubahan arah politik mulai berubah di Kerajaan Negeri Belanda, diawali dengan naik tahtannya Ratu Wilhemina Paulina Maria pada tanggal 31 Agustus 1898, menggantikan ayahnya Raja Wilhem III,  berdasarkan pidato Ratu Wilhemina, maka di Hindia Belanda dilakukan program Trilogi Perbaikan ( Edukasi, Irigasi dan Imigrasi) sebagai politik balas budi (Politik Etis) terhadap tanah jajahan yang telah banyak menghasilkan dan memperkaya Kerajaan Negeri Belanda.

Sumber : Sejarah Kabupaten Madiun, 1980

Tidak ada komentar:

Posting Komentar