Peran Madiun pada Masa Palihan Nagari Surakarta dan Jogjakarta
( Masa Perang Suksesi Jawa III )
Palihan Negari atau sering disebut Perang Suksesi Jawa III, yaitu ketika terjadi peperangan antara Susuhunan Paku Buwono II dan III yang di bantu pasukan VOC melawan Pangeran Mangkubumi yang di bantu Raden Mas Said (terkenal dengan Pangeran Samber nyawa), Perang ini berawal dari ikut campurnya VOC pada Pemerintahan Surakarta dan di cabutnya hak Pangeran Mangkubumi atas tanah Sukowati ini oleh Paku Buwono II, semuanya memang bagian dari politik ”devide et impera” Kompeni Belanda. Peperangan dimulai 11 Desember 1749 sampai dengan 13 Pebruari 1755, oleh para ahli sejarah, perang ini sering disebut Perang Suksesi Jawa III. Dalam perang ini rakyat Jawa Timur termasuk Mediun medukung penuh perjuangan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Walaupun Mediun merupakan wilayah dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang menjadi Bupati pada waktu itu adalah Pangeran Mangkudipuro yang merupakan Bangsawan dari Surakarta.
Pangeran Mangkudipuro (1725 – 1755) berkedudukan di Istana Kranggan, selaku Bupati Wedono membawahi 14 bupati Mancanegara Timur memperkuat pertahanan di wilayah Brangwetan, sedangkan yang memegang pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada seorang Patih sebagai pejabat Bupati Mediun, yaitu Raden Tumenggung Mertoloyo ( 1726-1749)
Gubernur Jendral Jacob Mossel yang berkuasa di Bumi Nusantara (1750-1761) menugaskan Jendral Van Hogendorf untuk mengadakan perundingan dengan para pemimpin peperangan, dengan dengan bantuan Patih Pringgoloyo (patih Surakarta) Jendral Van Hogendorf berunding dengan Pangeran Mangkubumi tanpa sepengetahuan Raden Mas Said.
Raden Mas Said alias Pangeran Surjokusumo Prang Wadono, Pangeran Mangkudipuro dan Tumenggung Mertoloyo yang merupakan Wedono Mancanegara Timur dan Bupati Mediun tidak tahu-menahu pendekatan licik yang dilakukan Kompeni. Mereka terus menyusun kekuatan dan bertempur melawan Kompeni dan Prajurit Paku Buwono III, Raden Mas Said dendam karena ayahnya yang bernama Pangeran Mangkunegara ( saudara Susuhunan Paku Buwono II ) diasingkan oleh Belanda ke Sri langka.
Pada Hari Kamis, 13 Pebruari 1755, terjadilah perjanjian Gianti antara Pangeran Mangkubumi dengan Kompeni Belanda. Salah satu isinya adalah Negara Mataram di bagi dua, dan Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan Jogjakarta bergelar ”Hamengku Buwono Senapati ing Alaga Abdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatolallah” dan berkuasa atas separoh dari wilayah pedalaman Kerajaan Mataram Islam (Surakarta) termasuk Kabupaten Mediun dan sekitarnya.
Walaupun Pangeran Mangkubumi telah bertahta di Jogjakarta namun Bupati Madiun Pangeran Mangkudipuro tetap tidak menghiraukan isi Perjanjian Gianti, terbukti dengan pemboikotan Mangkudipuro dalam penyerahan hasil bumi pada Pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I. Secara kebetulan Kabupaten Sawo (Ponorogo) yang merupakan bagian dari kekuasaan kerajaan Jogyakarta ( oleh Jogja dikenal sebagai kukuban ing sak wetane Gunung Lawu ) ada usaha untuk memisahkan diri (mbalelo) dari Kerajaan Jogjakarta, kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono I mengutus Bupati Wedono Madiun, Pangeran Mangkudipuro untuk menangkap Bupati Sawo, namun karena Pangeran Mangkudipuro setengah hati dalam melakukan tugasnya, maka beliau terluka dan kalah dalam peperangan, hal ini membuat Sri Sultan marah, maka kedudukan Wedono Bupati Mancanegara Timur pun dilepas dan Pangeran Mangkudipuro disingkirkan dengan diberi kedudukan sebagai Bupati di Caruban. Pengganti Mangkudipuro diangkatlah seorang panglima perang tangguh ”Raden Prawirosentiko” sebagai Bupati Mediun dan merangkap sebagai Wedono Bupati Mancanegara Timur, dengan gelar Pangeran Ronggo Prawirodirjo I dan masih menempati Istana lama di Kranggan. Tahun 1784 Ronggo Prawirodirjo I wafat dan dimakamkan di Pemakaman Taman yang kemudian oleh Sultan Hamengku Buwono ditetapkan sebagai Tanah Perdikan. Raden Mangundirjo putra dari Ronggo Prawirodirjo I, naik tahta menggantikan ayahnya sebagai Bupati Wedono Mancanegara Timur bergelar Ronggo Prawirodirjo II (1784-1797) sebagai bupati ke 15. selain berkedudukan di Istana lama Kranggan beliau juga membangun kembali Istana Wonosari (Kuncen) sebagai Istana Bupati Mediun yang baru,
Bupati ke 16 adalah Ronggo Prawirodirjo III (1797-1810) putra dari Ronggo Prawirodirjo II, beliau juga menantu Sultan Hamengku Buwono II atau suami dari Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, di samping menjadi bupati beliau juga sebagai penasehat Hamengkubowono II bersama Adipati Danurejo II dan Tumenggung Sumodiningrat. Ada 14 Bupati Brang wetan yang berada di bawah pengawasannya, Beliau berkedudukan di tiga Kraton yaitu Jogjakarta, Maospati dan Wonosari. Ronggo Prawirodirjo III gugur saat perang melawan tentara Belanda di Kertosono (17-12-1810), kemudian dimakamkan di pemakaman Banyu Sumurup. Tahun 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono, Ronggo Prawirodirjo dimakamkan kembali di Pemakaman Giripurno, Gunung Bancak beserta Permaisurinya yaitu GKR Maduretno dan dinyatakan sebagai pejuang perintis melawan penjajahan Belanda.
Pada masa kepemimpinan Ronggo Prawirodirjo II, lahir pahlawan nasional putra Madiun yang bertugas sebagai senopati perang Pangeran Diponegoro, yang bernama Ali Basah Sentot Prawirodirjo.
sumber utama : Buku Sejarah Kab. Madiun 1980
sumber utama : Buku Sejarah Kab. Madiun 1980
Tidak ada komentar:
Posting Komentar