Selasa, 02 Juni 2015

Menelusuri Misteri Candi Sukuh dan Cetho

Candi Sukuh
Menelusuri Misteri Candi Sukuh dan Cetho

Sebagai pecinta sejarah dan benda purbakala di wilayah Madiun dan sekitarnya, tentunya belum lengkap kalau belum berkunjung ke Candi Sukuh dan Cetho dilereng barat gunung Lawu yang letaknya relative dekat dengan wilayah Madiun, karena dua candi ini beberapa tahun terakhir sempat menyedot perhatian para ahli sejarah, arkeolog dan juga para pemerhati. Mengingat banyak hal yang  boleh di kata misterius, ganjil dan tak biasa dari segi arsitektur , bentuk arca, relief candi  dan mitos-mitos yang ada di candi Sukuh dan Cetho. Sudah banyak kajian, tafsir dan penelitian tentang kedua candi ini namun rasanya belum ada yang mampu menjawab dan menawarkan rasa penasaran tentang candi ini sebenarnya.

CANDI SUKUH
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang secara administratif terletak di wilayah kelurahan Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pemujaan yang berbentuk lingga dan yoni. Candi ini digolongkan sebagai candi yang kontroversial (menurut kacamata orang awam) karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.

Sejarah singkat penemuan.
Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928.

Lokasi Candi Sukuh.
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 070 37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111007,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.

Struktur bangunan Candi.
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya semacam Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.

Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda, W.F. Stutterheim, pada tahun 1930. Ia mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen. Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton. Kedua, candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi. Ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhan Majapahit, tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.

http://forum.kompas.com/nasional/311861-candi-sukuh-menurut-kacamata-pandang-tantu-panggelaran.html

Tjahja Tribinuka : Inskripsi Prasasti Candi Sukuh

CANDI SUKUH, adalah candi terakhir masa MAJAPAHIT. di candi ini ada lambang-lambang surya majapahit. candi ini dibuat oleh penguasa salah satu wilayah majapahit di RAJEGWESI untuk meminta pertolongan secara spiritual melalui ruwatan agar bisa kembali hidup seperti dulu karena saat itu wilayahnya dikuasai musuh. tertulis dalam prasasti sukuh berangka tahun 1363 saka.

berbunyi : “Lawase rajeg wsi duk penerep kepelegne wong medangma karubuh alabuh geni ha rebut bumi kacaritane babajag mara mari setra hanang ta bango 1363”

Kajian dan tafsir dari Arkeologi :

Arca Garuda dari Candi Sukuh 
Sinopsis
Arca Garuda dari Candi Sukuh
Oleh: Agustijanto I

Candi Sukuh adalah salah satu situs arkeologi yang terdapat di daerah lereng Gunung Lawu. Dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan sampai saat ini selain temuan beberapa candi dari masa klasik tercatat pula sejumlah punden berundak dan temuan lepas lain yang tersebar dari lereng sampai puncak Gunung Lawu. Sampai saat ini di beberapa situs tersebut masih digunakan untuk upacara tradisional yang dilakukan pada waktu tertentu oleh masyarakat sekitar Gunung Lawu.

Meskipun telah banyak penelitian yang dilakukan di Candi Sukuh tetapi penelitian ikonografi yang menyangkut kajian tentang arca dan relief Garuda sejauh ini belum ada yang membahasnya secara khusus. Padahal dari empat relief dan dua arca Garuda yang ditemukan ada satu arca yang dalam penggambarannya berbeda dengan yang lainnya. Tokoh Garuda umumnya digambarkan secara antropomorfik namun dalam hal ini tampaknya lebih menonjolkan unsur manusianya (tangan dan kaki manusia) hanya saja mempunyai sayap yang terkembang. Menarik pula untuk diketahui bahwa pada bagian punggung arca ini tampak hiasan berupa keranjang dan buah-buahan dan siapapun yang melihatnya akan memperoleh suatu kesan bahwa tokoh ini tengah memanggul keduanya.

Penggambaran manusia yang memakai sayap dapat dipahami sebagai sosok yang dianggap mampu berhubungan secara langsung dengan dewa/leluhur atau sebagai perantara dalam hubungan manusia dengan dewa/leluhur. Sedangkan relief keranjang dan buah-buahan juga mempunyai makna simbolis yakni sebagai sosok yang dianggap dapat memberi kemakmuran/kesuburan. Pemakaian relief keranjang dan buah-buahn sebagai simbol kemakmuran erat kaitannya dengan kondisi sosial masyarakat pendukung kebudayaan tersebut yang sebagian besar hidupnya tergantung dari sektor pertanian/perladangan. Dengan demikian sosok yang digambarkan memanggul keranjang dan buah-buahan adalah tokoh yang diharapkan mampu membawa kemakmuran dan kesuburan terhadap hasil pertanian mereka.
Sumber : arkeologi.palembang.go.id

Kompas Madya Blusukan di Candi Cetho

CANDI CETHO

Catatan pada papan informasi candi Cetho:
Komplek bangunan Candi Cetho berlokasi di lereng barat gunung Lawu, tepatnya di Desa Gumeng Kecamatan  Jenawi Kab. Karanganyar. Memiliki panjang 190 m, lebar 30 m dengan ketinggian 1496 mdpl. Candi Cetho berlatar belakang Agama Hindhu. Pola halamannya berteras dengan jumlah 13 teras, meninggi kearah puncak, model bangunan seperti ini mirip dengan punden berundak masa prasejarah.
Prasasti dengan huruf jawa kuno pada dinding gapura teras ke VII berbunyi:

``Pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397”, yang dapat ditafsirkan peringatan pendirian tempat pengruwatan atau tempt untuk membebaskan dari kutukan dan didirikan tahun 1397 (1475 M)
Fungsi candi cetho sebagai tempat untuk meruwat juga dapat dilihat dari simbol-simbol dan mitologi yang diwujudkan dalam arca-arca dan relief.
Mitologi yang disampaikan adalah cerita Samudramathana dan Garudeya.
Sedangkan symbol penggambaran phallus dan vagina dapat ditafsirkan sebagai lambang penciptaan atau dalam hal ini adalah kelahiran kembali setelah dibebaskan dari kutukan.
Sengkalan memet (angka tahun yang digambarkan dengan bentuk binatang , tumbuhan dan sebagainya) berupa tiga ekor katak,mimi, ketam, seekor belut, dan tiga ekor kadal, menurut Bernet Kempers arca ketam , belut dan mimi merupakan sengkalan yang berbunyi welut (3) wiku (7) anahut (3) mimi (1) sehingga ditemukan angka 1373 saka atau 1451 M.

Cerita Samudramanthana
Samudramanthana ini  menceritakan taruhan antara kedua istri Kasyapa yaitu Kadru dan Winata pada pengadukan lautan susu  untuk mencari air amarta atau air kehidupan. Gunung Mandara dipakai sebagai pengaduknya. Dewa Wishnu berubah menjadi seekor kura-kura dan menopang gunung Mandara. Kadru menebak bahwa ekor kuda  yang keluar dari lautan susu  berwarna hitam sedangkan Winata menebak ekor kuda itu berwarna putih. Ternyata kuda yang membawa air amarta berwarna putih. Tetapi anak-anak Kadru yang berwujud ular menyemburkan bisanyasehingga warna ekornya berubah menjadi hitam walaupun bertindak curang Kadru menang dalam taruhan itu, kemudian Winata dijadikan budak oleh Kadru.

Cerita Garudeya
Cerita Garudeya mengisahkan tentang pembebasan Winata oleh anaknya, Garudeya. Ia menemui para ular meminta ibunya dibebaskan dari budak Kadru. Mereka setuju asal Garudeya dapat menukar dengan air amarta. Garudeya  pergi ke tempat penyimpanan air amarta yang dijaga para dewa,dan air tersebut diserahkan kepada para ular. Akhirnya Winata berhasil dibebaskan dari perbudakan Kadru.

Kajian dan tafsir  agak nyleneh dari  Paguyuban Turangga Seta :
JAKARTA, KOMPAS.com — Agung Bimo Sutejo dari Yayasan Turangga Seta mengungkapkan bahwa candi-candi di Jawa menyimpan patung dan relief wajah bangsa asing, salah satunya orang Sumeria.
Salah satu candi yang memiliki patung manusia Sumeria adalah Candi Cetho. Berdasarkan catatan sejarah, candi ini dibuat pada zaman Majapahit, pemerintahan Raja Brawijaya V.

Kesimpulan bahwa patung di Candi Cetho merupakan orang Sumeria, menurut Agung, bisa dilihat dari ciri-ciri dan atribut yang dikenakan sosok dalam patung tersebut.
"Orang Sumeria memakai gelang yang mirip jam tangan. Pada patung terlihat. Ini berarti, patung itu bukan orang Jawa," ungkap Agung yang ditemui di Jakarta, Kamis (29/3/2012).
Atribut lain menunjukkan adalah bahwa patung di Candi Cetho hanya menggunakan anting-anting. Padahal, orang Jawa biasanya menggunakan sumping.

Dalam salah satu patung di Candi Cetho, figur patung tampak dalam keadaan takut. Menurut Agung, tampaknya figur tersebut takluk pada orang Jawa.
Agung menguraikan, figur Sumeria bukanlah satu-satunya bangsa yang dijumpai dalam relief candi Jawa. Di Candi Penataran di Jawa Timur, terdapat figur China, Aztec, dan Mesir.
Salah satu relief di Candi Penataran menggambarkan adanya tiga orang yang berpakaian mirip orang Mesir duduk bersebelahan dalam posisi menyembah.
Di relief lain di Candi Penataran, terdapat gambaran leluhur Nusantara yang tengah berjuang menaklukkan bangsa Indian. Lebih kurang ada lima relief yang diungkap oleh Turangga Seta.
Bangsa Indian, menurut Agung, memiliki pasukan gajah purba. Figur gajah tersebut dijumpai dalam relief. Hal ini menandai bahwa leluhur Nusantara menaklukkan Bangsa Maya dari Kerajaan Copan di Honduras.

Berdasarkan beberapa temuan tersebut, Agung dan rekannya di Turangga Seta mempercayai adanya Benua Atlantis yang dideskripsikan oleh Arysio Santos dalam bukunya. Atlantis ada di wilayah Indonesia.
Terkait dengan dugaan adanya piramida di Gunung Sadahurip dan Gunung Padang, Agung menilai hal tersebut sangat mungkin. Indonesia telah memiliki peradaban sejak ribuan tahun lalu. 

Pseudo-arkeologi
Menanggapi pendapat Agung dan Turangga Seta, arkeolog Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirdjo, mengungkapkan bahwa temuan tersebut termasuk pseudo-arkeologi.
"Di Mesir itu juga ditemukan gambar mirip tank dan helikopter. Tapi apakah benar ada tank dan helikopter saat itu? Ada juga figur orang berkerudung, sangat persis astronot. Tapi apa benar?" tanya Daud. Menurut Daud, keberadaan orang Sumeria, Mesir, atau Afrika di Jawa mungkin saja. Walaupun demikian, hal itu tak bisa serta merta dikaitkan dengan adanya benua Atlantis.
Meski demikian, Daud menyambut baik temuan Turangga Seta dan merasa bahwa kalangan arkeolog wajib memfasilitasi. Kajian secara kritis harus dilakukan.
Penulis
: Yunanto Wiji Utomo
Editor
: Aloysius Gonsaga Angi Ebo



Kumpulan foto Blusukan Candi Sukuh dan Cetho

Blusukan Candi Sukuh
Blusukan Candi Sukuh
Artefak dari situs Candi Planggatan dekat Candi Sukuh
Artefak dari situs Candi Planggatan dekat Candi Sukuh
Relief Candi Sukuh

Relief Candi Sukuh

Relief Candi Sukuh

Relief Candi Sukuh

Relief Candi Sukuh

Arca Garudeya Candi Sukuh

Candi Sukuh

Arca Kura-Kura Candi Sukuh
Candi Sukuh, simbol apa ya..

Garudeya Candi Sukuh
Sistem Drainase Candi Sukuh
relisf Candi Sukuh
Candi Cetho
Candi Cetho
Candi Cetho 
Candi Cetho
Candi Cetho
Candi Cetho
Candi Cetho
Candi Cetho
Candi Cetho
Candi Cetho
Candi Cetho
Candi Cetho
Candi Cetho


Tidak ada komentar:

Posting Komentar