Masa Perang Diponegoro di
Madiun
Bupati Madiun Pangeran Raden Ronggo
Prawirodiningrat adalah putra ke enam Ronggo Prawirodirjo III dengan ibu suri
GKR Maduretno, saudaranya kandungnya ada sebelas, yakni RA Prawironegoro, RA
Suryongalogo, RA Pangeran Diponegoro, RA Suryokusumo, Raden Adipati
Yododiningrat (Bupati Ngawi), Raden Ronggo Prawirodiningrat sendiri ( Bupati
Madiun), RA Suronoto, RA Somoprawiro, RA Notodipuro, dan RA Prawirodilogo.
Sedangkan dari ibu selir putri asli Madiun, lahirlah Pahlawan Nasional Raden
Bagus Sentot Prawirodirjo. Beliau sejak kecil hidup dilingkungan istana Yogyakarta.
Pada masa pemerintahan Ronggo Prawirodiningrat
ini, meletus perang Jawa, atau Perang Diponegoro, rakyat Madiun dan sekitarnya
dari semua golongan mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap
pemerintahan Belanda. Perang Besar ini disebabkan karena Bangsa Belanda selalu
ikut campur urusan pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan selalu melakukan
penindasan, pemerasan yang tidak berperi kemanusiaan, hingga rakyat semakin
menderita.
Pendukung Perang Diponegoro di Kabupaten Madiun,
dan di seluruh wilayah Mataram, pada umumnya terdiri dari :
- Rakyat Kebanyakan : mereka sudah tidak tahan atas berbagai Pajak yang tinggi mencekik hidup mereka (usaha Belanda dalam menutup Kas akibat kekalahan Perang pada era Napoleon)
- Golongan Bangsawan : mereka tidak puas dengan peraturan sewa menyewa tanah yang hanya dihargai sebagai ganti rugi belaka (praktek Monopoli Belanda)
- Ulama dan Santri : mereka merasa tidak senang dengan tingkah laku kaki tangan Belanda minum-minuman, berjudi, dan madat yang akhirnya merajalela.
Maka dengan munculnya seorang pemimpin yang
berani melawan dominasi Belanda, mereka segera menyambut dengan semangat juang yang membara.
Perang Diponegoro berawal dari rencana Belanda
membangun jalan Yogyakarta- Magelang melewati Muntilan, namun berbelok
melintasi Makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro
murka, dan meyuruh bawahannya untuk memcabut patok-patok yang telah dipasang
Belanda.
Rabu, 20 Juli 1825, Perang meletus dengan adanya
serangan mendadak tentara Belanda di
rumah Pangeran Diponegoro dan pamannya
Pangeran Magkubumi serta para pendukungnya
di Tegalrejo.
Perang Diponegoro ini berlangsung 5 tahun, yaitu
periode I, tahun 1825-1826 periode II, tahun 1827-1830.
Dari catatan Kapten Inf. P.J.F. Louw dan Kapten
Inf. E.S. De Klerck menyatakan sebagai berikut :
Daerah Madiun dan sekitarnya yang ikut berperang
adalah :
- Maospati
(tempat Bupati Wedono Madiun yang memegang
komando tertinggi wilayah Mancanegara Timur )
- Wonorejo
- Kranggan atau Wonokerto
- Muneng dan Bagi
- Keniten (Ngawi)
- Magetan ( terdiri dari 3 kabupaten)
- Bangil (Ngawi)
- Purwodadi (Magetan)
- Gorang-gareng (terdiri dari 2 kabupaten)
- Ponorogo ( terdiri dari 6
kabupaten)
- Caruban
- Lorog ( Pacitan)
- Panggul (Pacitan)
Selain daerah Kabupaten
tersebut diatas, masih ada yang kemungkinan bukan di bawah para Bupati,
diantaranya Desa Perdikan, Desa Norowito, Desa Pangrambe, Desa Sentanan dan
Desa Apana yaang terdapat di Pacitan, juga Domini-Domini Kerajaan.
Wonorejo adalah daerah penelitian Belanda yang
selanjutnya untuk pertama kali orang-orang Belanda menetp disitu. Kranggan atau
Wonokarto atau Tunggul, terletak di Madiun Bagian utara, dekat Kota Ngawi di
kiri kanan sungai Madiun. Di sebelah tenggara Tunggul terletak di Kabupaten
Muneng dengan Ibukota Muneng ( sekarang masih terkenal) di sebelah selatan
Ngawi terdapat Kabupaten Keniten, berbatasan dengan Magetan dengan batas alam
sungai Jungki. Purwodadi merupakan Kabupaten termuda dengan lokasi di sebelah
selatan Keniten, termasuk wilayah Kabupaten Magetan sekarang. Maospati saat itu
merupakan tempat bersemayam Bupati Wedono sebagai komando tertinggi untuk
wilayah Mancanegara Timur.
Pada waktu permulaan perang , bupati di wilayah
Madiun yang memimpin perang sebagai Panglima daerah sebagai berikut :
- Raden Mas Tumenggung Prawirodirjo ( saudara
sepupu Pangeran Diponegoro ),
Bupati Kepala I di Wonorejo Madiun.
- Raden Mas Tumenggung Prawirosentiko, Bupati
kepala II di Tunggul
- Raden Mas Tumenggung Surodirjo, Bupati Keniten
- Raden Mas Tumenggung Yudoprawiro, Bupati
Maospati
- Raden Mas Tumenggung Yudokusumo, Bupati Muneng
- Raden Mas Tumenggung Surodiwiryo, Bupati Bagi
- Raden Ngabehi Mangunprawiro, Bupati Purwodadi
Dukungan Bupati Wedono Pangeran Raden Ronggo
Prawirodiningrat, masih diragukan oleh Pangeran Diponegoro, karena beliau
walaupun anti Belanda namun masih setia pada Sultan Yogyakarta. Usia Ronggo
Prawirodiningrat waktu itu baru 21 tahun, maka dalam menjabat Bupati Wedono,
beliau masih di dampingi oleh beberapa Bupati yang sebagian besar ikut
berperang mendukung Pangeran Diponegoro.
Pemimpin peperangan yang berasal dari Madiun
terdiri dua orang yaitu : Mas Kartodirjo dan Raden Tumenggung Mangunprawiro,
putra Tumenggung Mangunnegoro yang telah gugur dalam medan perang, selaku
panglima perang Pangeran Diponegoro.
Raden Tumenggung Mangunprawiro menggantikan
kedudukan sebagai Bupati dan Panglima perang, walaupun secara yuridis
adiknya bernama Raden Tumenggung
Yudodipuro yang menjadi Bupati Purwodadi kemudian.
Awal perang terjadi di Kota Ngawi, Kawuh, Gerih
dan Kudur Bubuk semuanya di perbatasan Kabupaten Madiun.
Catatan harian, Letnan Jendral De Kock, tanggal
8 Agustus 1825, berdasar laporan spionase, bahwa Kabupaten Madiun, Caruban dan
Magetan sudah mengumpulkan pasukan terpilih lengkap dengan berbagai senjata
tempur di bawah Panglima Mas Kartodirdjo dan akhir Agustus 1825, tujuh Bupati
wilayah Kasunanan Surakarta mulai tidak setia pada Belanda.
Van Lewick, Residen Rembang staf diplomatik
Belanda pada Bulan November 1825 berusaha untuk mengadakan perdamaian dengan
mengundang bupati-bupati di wilayah Madiun, yaitu: Madiun,Maospati, Magetan,
Muneng dan Gorang-Gareng dengan iming-iming tertentu, diharap semua Bupati
tidak membantu Perang Diponegoro dan mengakui pemerintahan Hindia Belanda.
Usaha Van lewick ini gagal karena mereka tetap menghormati sikap Bupati Wedono
Madiun.
Setelah usahanya gagal, Van Lewick mengirim satu
detasemen tentara dibawah Kapten Infanter Theunissen dan diperkuat lagi dengan
berbagai satuan lapangan dari Surabaya.
Jalannya Perang Diponegoro di Madiun
Kota Ngawi adalah sangat penting, sebagai pusat
perdagangan dan pelayaran. Maka Tanggal 13 Nopember 1825, pasukan Belanda dibawah
pimpinan Kapten Theunissen Van lowick berhasil merebut Kota Ngawi sebagai
pertahanan Pasukan Madiun, kemudian, 15
Nopember 1825 pasukan Madiun bergeser ke selatan Kota Ngawi, namun akhirnya
dikepung Pasukan Belanda dari utara oleh pasukan Van Lewick dan dari barat
pasukan Letnan Vlikken Sohild yang dibantu ratusan Prajurit Kabupaten Jogorogo
(wilayah Surakarta) akhirnya pasukan Madiun berhasil di kacaukan, sekitar 60
prajurit gugur. Akhir tahun 1825, Belanda mendirikan Benteng stelsel di Kota
Ngawi yang di jaga 250 tentara, 6 meriam api, dan 60 Kavaleri.
Di wilayah selatan pertahanan pasukan Madiun
diletakan di Pacitan. Peperangan
dipimpin oleh Panglima Daerah Bupati Mas Tumenggung Djojokarijo, Mas Tumenggung
Jimat dan Ahmad Taris, akan tetapi akhir Agustus 1825 daerah Pacitan berhasil
dikuasai Belanda. Bupati Djojokarijo di pecat (dapat pensiun f 40 ), sedang Tumenggung Jimat dan Ahmad taris ditangkap yang
nasibnya tidak diketahui.
Sebagai bupati baru, diangkatlah oleh Belanda Mas
Tumenggung Somodiwiryo, akan tetapi tidak lama bertahta sebab 9 Oktober 1825
diserbu oleh pasukan Madiun yang dipimpin oleh Raden Mas Dipoatmojo putra
Diponegoro sendiri dan berhasil membunuh bupati baru tersebut. Namun akhirnya
awal Desember 1825 seluruh pasukan Madiun di Pacitan berhasil dipecah belah
oleh Belanda, hingga Pacitan sepenuhnya di kuasai Belanda. Hingga awal
tahun1826, Kota Kabupaten Madiun belum menjadi medan peperangan Perang
Diponegoro. Namun ditahun kedua perang ini,
Panglima Daerah Mas Kartodirdjo ditangkap di Madiun.
Semenjak pertahanan di Ngawi jatuh ke tangan
tentara Belanda, prajurit Madiun yang mundur ke wilayah barat (Jogorogo)
akhirnya kembali memusatkan pertahanan di Ibukota Wonorejo, Madiun. Hal ini
telah diketahui pihak Belanda maka, 18 Desember 1825, dibawah Kapten Inf.
Rosser yang membawa pasukan Belandaa dari Madura, prajurit Mangkunegaran,di
tambah tentara dari Benteng Ngawi, dari selatan Belanda dibantu prajurit
Kasunanan Surakarta di Ponorogo. Terjadilah perang hebat, pada tanggal 18
Desember 1825, hingga akhirnya pasukan Madiun berhasil dikalahkan, Pangeran
Serang beserta istrinya gugur sebagai kusuma bangsa. Beliau adalah menantu Pangeran
Mangkudiningrat karena anti Inggris, akhirnya dibuang oleh Raffless ke Bengkulu
(1812) sedangkan Pangeran Serang sendiri adalah keturunan Sunan Kalijogo dari
Kadilangu, Demak.
Seorang pangeran dari Pamekasan, Madura ikut
terbunuh, pertempuran meluas sejak tanggal 24 Desember 1825 hingga pada 9 Januari 1826, Panglima Daerah Mas Kartodirjo
berhasil di tangkap dan terbunuh. Walaupun demikian beberapa Bupati masih setia
dan tetap bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Secara formal sejak 9 Januari
1826, Bupati wedono Mancanegara Timur, Ronggo Prawirodiningrat sudah dibawah
kekuasaan Belanda, beliau ditangkap dan dibawa ke benteng Ngawi.
Namun dalam kenyataanyan baru tahun 1827 daerah
Madiun aman dengan didirikannya benteng
Belanda beserta satu detasemen tentara dengan senjata lengkap di dekat Istana
Bupati Wedono Madiun di Wonorejo di Desa Kartoharjo. Benteng tersebut dijaga
oleh 135 tentara Belanda dengan 62 pucuk bedil, 2 meriam kaliber 31/4 inci dan
ratusan prajurit Kasunanan Surakarta dibawah pimpinan Letnan Infanteri
Schnarburch. Bangunan benteng tersebut mempunyai 2 menara penjagaan di utara
dan selatan dapat mengawasi arah Ponorogo, Istana Wonorejo dan Pasar Madiun
(Prajuritan = Kelurahan MadiunLor).
Tanggal 15 Mei 1828 benteng Madiun sudah
sempurna, dijaga oleh ribuan tentara siang dan malam yang merupakan simbol di
mulainya Kolonialisme Belanda di wilayah Kabupaten Madiun. Namun secara
yuridis, kekuasaan pemerintahan kabupaten Madiun tetap di bawah Pangeran Ronggo
Prawirodiningrat. Menurut laporan Belanda tanggal 20 Mei 1828 hingga permulaan
Juni 1828 masih ada pemberontakan-pemberontakan kecil di sekitar Ibukota
Madiun. Setelah Raden Sosrodilogo tertangkap pada tanggal 3 Oktober 1828, maka
keadaan sekitar Kota Madiun kembali aman.
Juni
tahun 1828 masih ada pemberontakan-pemberontakan kecil di wilayah Madiun dengan
pimpinan Raden Sosrodilogo yang akhirnya tertangkap 3 Nopember 1828
Sekarang Bupati Madiun berkedudukan di
Pangongangan yaitu ditengah Kota Madiun, sekarang di Komplek Perumahan Dinas
Bupati Madiun. Disinilah seterusnya Bupati Madiun sampai sekarang menjalankan
pemerintahan, sedangkan makamnya ada di Kelurahan Taman (dulu Desa Perdikan)
selain makam Kuncen. Disini disemayamkan pahlawan-pahlawan pendiri Kabupaten
Madiun pada waktu lampau, sehingga kepada orang yang dipercaya menjaga/merawat
makam tersebut diberikan hadiah satu wilayah Pedesaan sebagai tanah
perdikan serta hak untuk memungut hasilnya, bersifat Orfelijik (turun tumurun).
Sumber Utama : Sejarah Kabupaten Madiun, 1980
Perang Diponegoro menimbulkan banyak kerugian di pihak Belanda
BalasHapus