Rabu, 10 Januari 2018

Menggali Seni Penthul Tembem Khas Madiun

Fragmen Penthul Tembem Madiun
Awal tahun 2018 oleh walikota Bapak Sugeng Rismiyanto, Sebuah upaya kongkrit dalam mengembalikan jatidiri masyarakat madiun. Pemerintah kota madiun telah mencanangkan Kota Madiun sebagai kota yang ramah budaya melalui city branding dengan jargon MADIUN KARISMATIK. Kata karismatik dipilih untuk mewakili sejarah dan budaya wilayah Madiun yang cukup di segani sejak era kerajaan Glang-glang i Bhumi Ngurawan sampai era kemerdekaan, wilayah Madiun  telah banyak melahir kan atau turut mewarnai banyak aspek kehidupan Berbangsa Indonesia. Pada kesempatan ini juga telah di giarkan sebuah pakaian khas gaya Madiunan, yaitu dengan pakaian Jawa gaya pemuda pemudi tempo dulu yang terinspirasi pakaian seragam siswa-siswa OSVIA Madioen yaitu, dengan menggunakan beskap landung dan jarik parang klithik dilengkapi blangkon bagi pria dan kebaya khas bagi wanita, juga 2 buah tarian tradisional kreasi baru ditampilkan secara massal oleh ratusan pelajar kota madiun yaitu tari Kembang Setaman dan Tari Solah Madiunan yang menggambarkan sebuah kehidupan majemuk kota madiun dengan gerak tari yang terinspirasi pencak silat khas Madiun dan keperwiraan para ksatria-ksatria madiun, seperti Retno Djumilah, Ronggo Prawirodirdjo, Sentot Ali Basyah Prawirodirjo, Bupati Brotodiningrat, Eyang Surodiwirdjo, Ki Hajar Hardjo Oetomo Tentara pelajar TRIP / TGP, Mulyadi dan masih banyak lagi.
Namun masih disayangkan ada salah satu kesenian tutur asli kota madiun yang luput dari perhatian pemerintah Kota Madiun, yaitu Penthul Tembem yang berlatar belakang sejarah perjalanan Raden Ngabehi Ronggowarsito dikala masih muda, dengan nama Bagus Burhan. Kesenian di ini telah beberapakali ditampilkan dalam berbagai ajang seni budaya, oleh Kelompok Kesenian Wisma Melati Jl. Pandu Kota Madiun, dan mendapatkan penghargaan dari Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, sekarang BPNB (Balai Pelestarian Nilai Budaya) dan di perkenalkan kembali oleh KIM Citra Taruna Kenanga winongo dalam Lomba Cerdas Cermat Kelurahan di Pasuruan dan mendapatkan juara 2 tingkat Provinsi Jawa Timur. Walaupun beberapa kali telah menorehkan prestasi  namun kesenian ini masih sulit mendapatkan perhatian dari masyarakat, karena seni Penthul Tembem yang hanya memperagakan topeng hitam dan putih di anggap tidak mempunyai daya tarik dan sulit untuk dikembangkan, mengingat diwilayah madiun sudah lebih dulu populer seni tradisi Reog Ponorogo dan dongkrek Caruban. Menurut sahabat yang tergabung dalam Lesbumi NU Kota Madiun dan Historia van Madioen bahwa Seni Penthul Tembem masih punya potensi untuk di populerkan sebagai kesenian khas kota Madiun, mengingat latar belakang sejarah dari seni ini peristiwanya tepat dan persis di alun-alun Kabupaten Madiun di tahun 1761 saka atau 1839 M atau persis di alun-alun kota Madiun sekarang ini. Memang jika kita menilik seni Penthul Tembem telah ada dan mungkin telah dikembangkan di daerah lain dengan bentuk topeng yang sama, namun latarbelakang sejarahnya sangat berbeda, seperti Penthul Tembem yang ada di wilayah Pati dan Malang mengambil kisah cerita Panji, yaitu paraga Panji Doyok dan Bancak.
Penthul Tembem Madiun berlatar Belakang sejarah  perjalanan Bagus Burhan waktu nyantri di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari Ponorogo. Pada sekitar tahun 1760 S /1830 M, Tumenggung Yosodipuro dari Kasunanan Surakarta mengirim putranya Bagus Burhan untuk nyantri pada Kyai Ageng Kasan Besari, diiringi pengikutnya Onggoleya. Setelah hampir setahun nyatri ternyata tidak ada perubahan pada Bagus Burhan, bahkan sering membuat  resah para santri lainnya dengan mengajak sabung ayam dan bersenang-senang lainnya. Mengetahui hal itu Kyai Kasan Besari segera memanggil Onggoleya untuk membawa pergi Bagus Burhan dari Pesantren Tegalsari.
Karena takut pulang ke Surakarta, Bagus Burhan pergi berkelana ke wilayah Madiun, untuk kebutuhan sehari-hari Bagus Burhan jualan palen (baju dan perhiasan) di pasar besar Madiun. Raden  Ajeng Gombak putri Bupati Madiun yang waktu itu sedang belanja di pasar melihat Bagus Burhan dan tertarik pada cincin yang di pakai Bagus Burhan, serta bermaksud membelinya, oleh Bagus Burhan cincin itu diberikan dan dibeli dengan harga yang cukup murah.
Sesampai di ndalem Kabupaten, Raden Ajeng Gombak menunjukan cincin tersebut kepada ibundanya, hingga kanjeng bupati kaget dan heran, karena cincin tersebut adalah cincin keraton dan bukan sembarangan orang yang memakainnya. Kanjeng Bupati kemudian mengutus seorang opas untuk memanggil si penjual cincin, hingga Bagus Burhan menghadap kanjeng bupati dan mengaku bahwa dia putra Tumenggung Yasadipura, dari Surakarta. Kanjeng Bupati mengatakan bahwa Tumenggung Yasadipura adalah masih saudara misan, saat ditanya mengapa cincin diberikan pada Raden Ajeng Gombak, Bagus Burhan menjawab bahwa itu sesuai dari pesan eyangnya yaitu apabila dikehendaki oleh seorang wanita harus diberikan.namun saat mau diajak bersama oleh Kanjeng Bupati Ke Surakarta, Bagus Burhan menolak dengan alsan masih harus melaksanakan kewajibannya yang belum tercapai.
Sementara itu sepeninggal Bagus Burhan, keadaan Desa Tegalsari mengalami kekacauan terkena wabah penyakit. Kyai Ageng Kasan Besari sangat masghul dan prihatin, dalam hatinya telah berbuat kelalaian dengan mengusir Bagus Burhan, mungkin itulah sebab dari kekacauan desa ini.
Selanjutnya diutuslah Kromoleya, untuk mencari keberadaan Bagus Burhan. Kromoleya langsung menuju ke utara, dengan memakai topeng berwarna Hitam sebagai penyamaran dan Mbarang atau Ngamen untuk mendapatkan bekal dijalan. Kromoleya yang memakai Topeng Hitam kemudian disebut TEMBEM.
Ketika Bagus Burhan dan Onggoleya pulang mencari ikan singgah di Masjid Agung dekat alun-alun, sementara Bagus Burhan di dalam Masjid onggoleya ke alun-alun karena melihat ada rame-rame dan orang menari, setelah diamati yang sedang ngamen adalah Kromoleya, temannya saat nyantri di Tegalsari. Agar tidak mencurigakan maka Onggoleya sekalian ikut nari sebagai pasangannya dengan menggunakan Topeng warna Putih, yang kemudian disebut PENTHUL.
Kromoleya dan Onggoleya terus menari sambil bertanya tentang keadaan dan keperluannya. Setelah selesai mereka menemui Bagus Burhan, Kromoleya mengatakan bahwa dia diutus oleh Kyai Ageng untuk mengajak kembali ke Tegalsari  sowan pada Kyai Kasan Besari, karena masih ragu, kromoleya menjamin jika nanti dimarahi nanti Kromoleya yang mau bertanggung jawab.
Akhirnya Bagus Burhan menghadap Kyai Kasan Besari, Bagus Burhan disuruh berpuasa selama 40 hari, saat berbuka hanya boleh makan pisang yang tumbuh di barat pondok, sehari hanya satu biji.  Dalam berpuasa Bagus Burhan tidak makan tidak minum kecuali sebiji pisang tiap berbuka dan duduk diatas sungai dengan berpijak pada sebatang bambu selama 40 hari. Setelah pada malam yang terakhir, Onggoleya disuruh menanak nasi disebuah kendil, setelah hampir masak tiba-tiba ada sinar dari arah barat seperti Ndaru atau pulung masuk kedalam kendil, tercium bau harum menjelang pagi hari kendil dibuka dan alangkah terkejutnya didalamnya ada seekor ikan Badher yang telah masak sebagai lauknya.
Setelah kurang lebih 2 tahun di pesantren Tegalsari, bagus Burhan diantar kembali ke Surakarta oleh Kyai Ageng sendiri beserta Onggoleya dan Kromoleya.
Kemudian Bagus Burhan dinikahkan dengan Raden Ajeng Gombak, serta diabdikan kepada Ingkang Sinuwun Paku Buwono. Karena ke pandaianya dalam Sastra dan kewaskitaanya maka Bagus Burhan diangkat menjadi Pujangga Keraton Kasusuhunanan dengan Gelar Raden Ngabehi Ronggowarsito, yang namanya harum di seluruh nusantara.
Peristiwa dimana Kromoleya dan Onggoleya bertemu dialun-alun Kota Madiun sambil menari menggunakan Topeng Hitam dan Putih, menjadi sebuah bentuk kesenian PENTHUL TEMBEM.
Dirangkum dari  :
Sinopsis Kesenian Penthul Tembem oleh: R Uripto Rahardjo dan Dra. Ny. Ngt. Sri Wijati Rahardjo
“Wisma Melati” Event Organizer Jl. Pandu 23 Kota Madiun
    
      

     


Tidak ada komentar:

Posting Komentar