Rabu, 20 Agustus 2025

MISTERI AKSARA JAWA TANPA SPASI

Artikel

MISTERI AKSARA JAWA TANPA SPASI

Oleh  : Dra. Sri Suprapti, Guru Bahasa Jawa SMP Negeri 8 Surakarta

            Berdasarkan konsep cara tradisional lahirnya huruf Jawa itu dihubungkan dengan cerita legenda Aji Saka, cerita yang turun temurun berujud ucapan / kalimat berupa cekcok dan perang antara Dora dan Sembada akibat berebut keris pusaka Aji Saka yang seharusnya dijaga bersama di pulau Majeti. Akhirnya Dora dan sembada terbunuh bersamaan    terkena keris yang menancap di dadanya. Ada pun yang berpendapat lain bahwa makna huruf aksara jawa tidak hanya mengisahkan suatu kejadian yang terjadi pada kedua abdi Ajisaka, namun memiliki makna yang lebih mendalam yang artinya setiap manusia harus tunduk dan taqwa kepada Sang Pencipta.

          Sedangkan menurut ki Sarodjo menuliskan arti makna dari huruf Jawa hanacaraka
Baginya, rangkaian huruf didalam carakan jawa itu bukan hanya menambatkan sesuatu kisah, melainkan berupa suatu ungkapan filosofis yang berlaku universal, sangat dalam artinya, membawa kita tunduk dan takwa kepada Tuhan. ( Sarodjo, 1982 ).

Sebagai manusia sudah selayaknya patuh dengan aturan dan menjauhi laranganNya serta menyerahkan problema hidup padaNya disaat segala upaya sudah dilakukan, hal itu tidak bertentangan dengan kodrat manusia itu sendiri sebagai mahluk ciptaanNya yang berkewajiban memenuhi tugas-tugasnya didunia. Disini manusialah yang membutuhkan Tuhannya bukan sebaliknya.

            Sebagai pertanda supaya selalu ingat, Ajisaka membuat huruf Jawa Legena yaitu huruf Jawa yang masih polos dan belum mendapatkan sandhangan dan pasangan yang berjumlah 20 ( dua puluh ) dimulai dengan ha ( a ) sampai dengan nga (z  ). Ha Na Ca Ra Ka /ancrk ( ada utusan ), Da Ta Sa Wa La/fts wl ( yang cekcok / berbeda pendapat ), Pa Dha Ja Ya Nya/  pdjyv ( sama- sama kuatnya ), Ma Ga Ba Tha Nga/ mgbqz ( akhirnya semuanya menjadi bangkai ).

            Abjad huruf Jawa yang berjumlah 20 itu disusun rapi menjadi 4 baris, berujud guritan / tulisan yang mudah untuk dihapalkan dan diingat-ingat ( memoteknik ), khususnya bagi orang yang baru mulai belajar membaca dan menulis huruf Jawa. Dan tahukah Anda, ternyata rangkaian huruf jawa tersebut memiliki makna suatu kisah kehidupan. Untuk lebih jelasnya, simak pembahasan berikut ini mengenai makna dan arti yang terkandung di dalam aksara Jawa.

            Huruf Jawa yang berjumlah 20 itu semuanya mempunyai pasangan. Dan pasangan huruf Jawa itu tidak ada yang lebih dari 2 ( dua ). Yaitu huruf Jawa itu sendiri dan pasangannya. Huruf Jawa tidak ada yang mempunyai pasangan yang lebih dari 2 ( dua ), mengapa ? Ya mulai dari hal inilah misteri huruf Jawa bisa dimengerti.

            Artinya kalau huruf Jawa dan pasangan itu tidak lebih dari 2 ( dua ), yaitu bahwa orang yang hidup berkeluarga di dunia ini mempunyai pasangan tidak boleh lebih dari 2 ( dua ) yaitu 1 laki-laki dan 1 perempuan. Walaupun menurut agama Islam ada tuntunan yang disebut poligami, tetapi pada umumnya kalau mau jujur, tidak ada perempuan yang mau dimadu. 

Seumpama ada yang mau itu karena ada rahasia yang dipendam oleh yang bersangkutan. Apalagi di jaman sekarang, ditinggal selingkuh saja, ngamuk seperti kuda kesurupan. Bahkan ada juga yang kemudian nekat membunuh selingkuhannya ataupun istri / suami sendiri. Ini karena perasaan sangat kecewanya. Siapa yang tidak kecewa kalau orang yang dicintai mengingkari janji dengan perbuatan yang sangat nistha yaitu selingkuh.

            Seperti judul di atas bahwa tulisan huruf Jawa tidak ada spasi / jedanya. Maka dari itu kalau membaca huruf Jawa haruslah lebih berhati-hati, karena kalau tidak berhati-hati akibatnya akan salah dan keliru atau bisa juga membuat yang medengar menjadi tertawa terpingkal-pingkal.

            Sebagai contoh kalau mau membaca tulisan Jawa yang seperti ini : bbukuwizisi=be[zokBe[zk\ . ( babukuwingisingbengokbengok ) Kalau membacanya tidak berhati-hati maka huruf Jawa itu menjadi bengini : babu kuwi ngising bengok-bengok ( pembantu itu kalau buang air besar berteriak-teriak ).

 Padahal yang dimaksud tulisan itu adalah babuku wingi sing bengok-bengok ( pembantuku kemarin yang berteriak-teriak ). Ya seperti itulah kalau membaca aksara Jawa, agar tidak menjadi bahan tertawaan  orang lain maka haruslah berhati-hati.

Sebagai contoh lainnya adalah : bucarikantemanteman ( ?bucriknTemnTemn- ) . Apabila ditulis dengan aksara latin yaitu: bu carikan teman-teman.Namun apabila membacanya salah maka tulisan akan menjadi seperti ini  : bu carik antem anteman ( bu carik berkelahi ). Membaca aksara / huruf Jawa yang tidak benar atau salah itu akan menjadikan masalah yang besar. 

Dengan beberapa contoh yang sudah disampaikan di atas, artinya bahwa sebagai manusia yang hidup bermasyarakat di dalam kehidupan sehari-hari di dunia ini, sudah seharusnya melakukan sesuatu itu  berhati-hati sekali. Karena kalau tidak berhati-hati akan menghadapi masalah yang beraneka macam dan juga masalah yang selalu datang silih berganti. 

Kewajiban manusia hidup ini mengerti dengan larangan Tuhan yang harus ditinggalkan dan memahami apa saja yang harus dilakukan. Tidak melakukan hal-hal yang tidak ada gunanya, yang akhirnya hanyalah melakukan sesuatu yang sia-sia tiada guna. Oleh karena itu menjadi orang harus melakukan perbuatan yang baik terhadap sesame dan melakukan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.

Sebagai tambahan yang terakhir mengenai aksara Jawa, yaitu apabila aksara Jawa dipangku … -  ( pangkon ) akan mati.   Aksara Jawa yang namanya pangkon itu menandakan huruf mati ( swara paten ). Sebagai contoh misalnya duwit- ( dhuwit ) . Aksara t (t  ) inilah yang dinamakan pangkon

Makna dari aksara Jawa kalau dipangku mati adalah apabila ma usia hidup di dunia ini seumpama sering dimanja terus menerus maka akan tidak bisa melakukan apa-apa atau dengan kata lain akan mati. Kata lain dari mati di sini adalah mati jiwa raganya, tetapi hanya jiwanya yang hidup. Tidak bisa melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan dan tidak mengerti kewajiban yang seharusnya dilakukan.

Dengan penjelasan seperti tersebut di atas maka dapat dipastikan bahwa aksara Jawa tidak aneh kalau memang benar menjadi misteri yang harus dikerjakan dan dilakukan di dalam hidup bermasyarakat di kehidupan sehari-harinya.  Bahkan karena pentingnya atau baiknya, aksara Jawa sudah tidak asing lagi yaitu menjadi tulisan yang banyak ditemukan di tempat-tempat tertentu. Sebagian kantor-kantor Pemerintahan, juga nama jalan-jalan banyak yang menggunakan aksara Jawa. 

Akhirnya bisa menjadi kesimpulan bahwa hidup di dalam masyarakat di Jawa, harus mau dan bisa melestarikan budaya Jawa termasuk aksara Jawa. Karena dengan adanya aksara Jawa, hidup kita di dunia ini haruslah lebih berhati-hati melakukan apa saja. Hidup berumahtangga, mempunyai pasangan satu saja. Seperti yang biasa disampaikan bagi umumya orang yang berumah tangga, “satu saja tidak habis-habis”. 

Hindari dengan sebutan “pelakor,  selingkuh / nyeleweng”, karena mempunyai pasangan lain yang tidak sah. Dan yang lebih penting lagi yaitu jangan merasa senang apabila dipuji dan disanjung oleh orang lain. Karena apabila kebanyakan dipuji atau disanjung orang lain, membuat diri kita bisa jatuh sendiri.

Harapan kita, semoga hidup di dunia ini selalu mendapatkan anugerah dari Allah dan diberi kesehatan, kekuatan, rejeki yang barokah, eling dan waspada, selalu dalam lindunganNya.  Beginilah eloknya aksara Jawa. Apakah masih ada yang tidak percaya atau bahkan masih akan membantah???

Taun Dal: Pralampita Owahing Jaman

Taun Dal: Pralampita Owahing Jaman, Piwulang Kang Ngudhari Rasa

“Wanci lumampah, jagad nggilap gingsir. Ing antaraning siklus windu, wonten satunggal taun kang sinebat Dal: dudu taun kang nggegirisi, nanging taun kang nggegulang ati—nggugah manah supaya eling, waspada, lan andhap-asor. Nalika Dal rawuh, wektu kadadeyan kerep rubed, nanging saka rubed iku, kawicaksanan dipun sayat.”

1) Piwulang Dhasar Taun Dal

Posisi ing windu: Alip – Ehe – Jimawal – Je – Dal – Be – Wawu – Jimakir (Dal taun kaping gangsal).

Teges simbolik: Dal (saking aksara Dāl) tegesipun pituduh/dalil—taun pratondo owah-owahan: kursi pamaréntahan bisa gingsir, rakyat kena ujian, alam maringi sasmita.

Sipating taun: kerep sinebat “taun wuntu” (taun dawa ±355 dinten), arupa mangsa resik-resik kosmis: sing rawan dadi “miring” dibeneraké, sing ngrusak didhepak metu, sing andhap-asor diangkat.

2) Wektu Pepak (Kalebu Wulan Punika)

Miwiti Taun Dal: wiwit 1 Sura AJ 1959 (malem Sura 27/28 Juni 2025) nganti pungkasan Dal: sadèrèngé 1 Sura AJ 1960 (kisaran 30 Juni 2026).

Teges praktis: Sak-wulan Agustus 2025 iki pancèn sampun kalebet Taun Dal, lan Dal bakal lumampah terus ngantos pungkasan Juni 2026 (saurut pananggalan Jawa).

> Cathetan patitis: Ing paugeran Jawa, dina diwiwiti sakwisé surup (magrib). Mula “malem Sura” wus kalebu dina Sura sabanjuré.

3) Pralampita lan Kadadeyan Ing Taun Dal

Para sepuh nyarios, ing Dal kerep katon telung gelombang: (a) geger pamaréntahan, (b) abote rakyat, (c) sasmita alam.

1. Geger pamaréntahan – “ganti raja/ganti kursi”: owahing struktur, kebijakan kebalik, utawa pembersihan (resik-resik) pranata.

2. Abote rakyat – paceklik, rega mundhak, gaweyan kenceng; nanging iki kerep dadi wiwitan panggulawenthah daya tahan: rakyat luwih rukun, hemat, gotong-royong.

3. Sasmita alam – cuaca keblinger, lemah garing banjur udan gedhé, sakedhap bencana; tandha jagad ngresikaké awake.

4. Gelombang batin – akeh ati gumregah: sing gumedhé di-pirid, sing sabar di-paringi bukti, sing kandel angkara dipethaki liwat ujian.

4) Pantangan Umum Ing Dal (Wewaton Laku)
Pantangan punika dudu “pamali” sing medeni, nanging pepeling supados kalis saka pamrih lan sial.

Aja adigang–adigung–adiguna: ora pantes nglaku pamer daya/kuasa.

Aja mubadzir: pesta ageng tanpa guna luwih becik disegah; lebokna dana marang tetulung/sedekah.

Aja gampang nggagas soal gedhé sing ora pepak hitung—utamane nalika Sura: bedhah gedhong, pindahan omah massal, utawa pamrih proyek “nggegirisi” luwih becik ditunda.

Aja sembrana marang pratandha alam: yen ana sasmita, dititeni rumaket—aja disepelekna.

Luwihna tirakat: poso (mutih/dawud), semedi, maca doa, ngelarasna sedulur papat kalimo pancer.

5) Wewaton Nikahan Ing Taun Dal

Ing tradhisi, nikah diwawas mawa weton (dina + pasaran) lan sasi.

5.1. Wulan kang Lumrah (Sasi Jawa)

Sing diendhani: Sura (sasi tirakat; dudu wektu hura-hura).

Kerep dipilih: Mulud (Rabiul Awal), Ruwah (Syakban), lan Besar (Dzulhijah)—saben kulawarga bisa béda wewaton, nanging telu iki asring karasa “tedheng”.

5.2. Dina–Pasaran (Conto Laku Tertib)

Akeh garwa sepuh milih Rebo/Kemis kanthi Legi/Wage amarga dirasa empuk lan ayem (iki dudu dogma—namung laku lumrah).

> Elinga: unggah-ungguh kulawarga lan pitutur sesepuh luwih diurmati tinimbang “ngotot” petungan.

5.3. Petungan Neptu (Versi Umum)

Neptu dina: Ahad=5, Senin=4, Selasa=3, Rebo=7, Kemis=8, Jemuwah=6, Setu=9.
Neptu pasaran: Legi=5, Pahing=9, Pon=7, Wage=4, Kliwon=8.

Carane: jumlahna neptu lair calon penganten loro, banjur delengen asil modulo 8: 1 = Pegat (rawan pecah)
2 = Ratu (gedhé drajat)
3 = Jodho (cocog)
4 = Topo (awal rekasa, pungkasane mulya)
5 = Tinari (rejeki padhang)
6 = Padu (gampang cekcok)
7 = Sujanan (rawan godha selingkuh)
0/8 = Pesthi (tentrem)

Taun Dal nambah bobot marang kategori “angel” (Pegat/Padu/Sujanan). Dudu dilarang, nanging diwajibake tatabuhan batin luwih kenthel sadèrèngé akad.

5.4. Nalika Petungan “Angel”, Punapa Sing Kudu Dilinep?

Ruwat cilik sak wanci slametan:

Bubur abang–putih, kembang telon, banyu bening, tumpeng alit, donga pangruwatan (ngowahi rasa sédhih dadi syukur).

Gawe sedekah marang yatim/dhuwafa minangka “tumbal pamrih”—ngalihaké energi ala dadi paédah.

Milih dina sawise Sura (utawi wulan sing tedheng), lan ngundang sepuh/kyai/pinandhita ngasta pangestu.

Janji laku omah: sawisé nikah ngugemi salat/slametan riyaya, selasa–Jemuwah maca wirid/pamong rasa; nindakake gawe bebrayan (bebersih kampung, nandur, adus tetanduran): omah tentrem, sengkolo tatah.

> Pangèling: petungan iku pangasring rasa, dudu nasib mutlak. Rasa sih–tepa–teges–gotong royong sing ndadekaké kulawarga “mubeng lan mantep”.

6) Laku Pangruwatan Dal (Nyuda Geger, Nambah Ayem)

1. Slametan Dal (kecil, resik, ora mubadzir): bubur abang–putih, tumpeng alit, kembang telon, banyu bening—donga pangruwatan.

2. Pangapuraning sedulur: ngluwari ikatan ala—nyuwun pangapura marang tiyang sepuh, tanggi, kanca kerja—iki ngenthengi Dal.

3. Pangupajiwa welas asih: sedekah, nandur wit, ngresiki sumber banyu—“nrima ing pandum” nanging tetep nyambut gawe.

4. Poso & semedi: minimal sapisan saben wulan; nuju Dal becik nindakake mutih (1–3 dina) utawa ngurangi gadget (poso gaweyan digital) supaya rasa bening.

5. Tirakat Sura (yen nyangga): langkung sae diisi ngèlingi asal–usul tinimbang pesta: maca sejarah kulawarga, ngoyak ngelmu, maca serat/pitutur

7) Ringkesan Praktis (Supaya Gampil Dieling)

Agustus 2025 s/d Juni 2026: isih Taun Dal.

Dal = owah-owahan: pamaréntahan gingsir, rakyat diuji, alam maringi sasmita.

Pantangan Dal: aja pamer, aja mubadzir, aja sembrana; luwihna tirakat & sedekah.

Nikah ing Dal: ora dilarang, nanging tata: endhani Sura, pertimbangna sasi ayem (Mulud/Ruwah/Besar), priksa neptu (Pegat/Padu/Sujanan kudu ruwat cilik + sedekah + pangestu sepuh).

Kunci Dal: andhap-asor, eling, nrima, lan tetulung—iku sing ngowahi geger dadi rahayu.

8) Pungkasan (Tembang Rasa)

“Dal punika pralampita; sing gumedhé dipirid, sing sabar dipundhuwuraké. Aja gemeter déning kabar, nanging gemeterna atimu déning eling marang Pangeran. Yen manah resik lan raga tumemen, Dal mung dalan—dudu tembok. Muga owah-owahan ndadèkaké kita luwih waskitha, luwih welas, lan luwih manunggal.”

Kapethik saka : fb.Rohso Jowo

Minggu, 17 Agustus 2025

Johanna Petronella Mossel: Lahirnya Kartu Bridge Wayang dan Kesadaran Pendidikan Budaya

Sejarah Indonesia tak hanya diwarnai narasi besar perjuangan fisik dan diplomasi, namun juga jejak-jejak inovasi dari sosok  visioner yang melampaui zamannya. Salah satunya adalah Johanna Petronella Mossel.

Dikenal atas dedikasinya dalam dunia pendidikan melalui Ksatrian Instituut, Johanna punya warisan lain yang tak kalah unik namun kerap luput dari perhatian, idenya untuk menciptakan kartu bridge (remi) bergambar wayang yang digagas sejak jaman Jepang.

Profil Singkat

Kehidupannya banyak diwarnai dengan perjuangan, terutama di bidang pendidikan. Johanna mengajar sejak 1925 di Kesatrian Institut di Bandung. Dekker menikahi Johanna pada 22 September 1926. Mereka berdua pernah mendirikan sekolah dagang swasta. Sekolah yang nampaknya hanya akan menerima siswa pribumi ketimbang Belanda. Sebagai guru, Johanna dikenal keras dan disiplin. Dia sering mengajar tanpa imbalan.

Ketika Dekker dibuang ke Suriname pada 1941, Johanna menikah lagi dengan Jafar Kartodirejo yang merupakan kawan Dekker untuk memberi perlindungan pada Johanna.

Johanna Petronella Mossel mengembuskan napas terakhirnya di Bandung pada 18 Agustus 1982, meninggalkan jejak pemikiran dan perjuangan yang patut dikenang.

Sekadar informasi, dalam catatan sejarah terdapat dua sosok berbeda yang memiliki nama Douwes Dekker. Sosok yang menjadi suami Johanna Petronella Mossel dan merupakan pahlawan nasional, pendiri Indische Partij, adalah Ernest Franois Eugne Douwes Dekker (kemudian dikenal sebagai Danudirja Setiabudhi).

Beliau adalah keponakan dari Eduard Douwes Dekker, seorang penulis Belanda yang terkenal dengan nama pena Multatuli dan karyanya Max Havelaar. Penting untuk membedakan keduanya agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pemahaman sejarah.

kompasiana

Selasa, 12 Agustus 2025

Mr. dr. R. Ng. Soebroto, Walikota Pribumi Pertama di Hindia Belanda

Mr. dr. R. Ng. Soebroto, Walikota Pribumi Pertama di Hindia Belanda
by Achmad Budiman 

“Mr. dr. R. Ng. Soebroto” lahir di Pasuruan, 21 Januari 1894. Termasuk dalam “Ahli Hukum” pribumi terkemuka, yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Setelah menyelesaikan Sekolah Hukum di Batavia, dan bertugas di pengadilan selama beberapa tahun, melanjutkan studinya di Belanda. Meraih gelar doktor di sana dan kemudian melanjutkan kariernya di tanah air.

Di awal karirnya, bapak Soebroto menjabat berbagai jabatan di bidang hukum, terakhir sebagai wakil ketua pengadilan di Jember. Pada tahun 1922 ia berangkat ke Belanda dengan tugas belajar, dan pada Juli 1924, ia mengambil gelar masternya dalam Hukum Belanda di Leiden.

Pada bulan September 1925, ia memperoleh gelar “Doktor” dengan disertasi berjudul “Indonesische Sawahverpanding“. Beberapa bulan kemudian, ia mengambil gelar “Master” dalam hukum Belanda dan Hindia. Sejak saat itu ia berhak menyandang nama dan gelar “Mr. dr. R. Ng. Soebroto“. Gelar “Mr.” pada zaman Belanda artinya bukan “Mister” apalagi “Meneer“, melainkan singkatan dari “Meester in de Rechten” atau diterjemahkan “Magister dalam Hukum“.

Desertasi pak Soebroto, kelahiran Pasuruan (Jawa Timur), sewaktu mengambil gelar Doktor di universitas Leiden Belanda, dengan judul “Indonesische Sawah-Verpanding”.

Kembali ke Hindia Belanda, pak Soebroto menjadi pejabat di Presiden Dewan Kehakiman di Surabaya. Saat itu ia juga bergabung dengan “Klub Studi” dengan “Dr. Soetomo“, bersama dengan tokoh-tokoh gerakan nasionalis lainnya. Kemudian juga bergabung dengan P. B. I. dan Parindra.

Para tokoh gerakan nasionalis pribumi, yang tergabung dalam “Klub Studi” dengan Dr. Soetomo (No. 5), termasuk Mr. dr. R. Ng. Soebroto (No. 7). Sumber foto : Nieuw Soerabaia. De geschiedenis van Indië’s voornaamste koopstad in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling, 1906-1931 [1935]

Dengan menerima kursi anggota dewan kota Surabaya, pada tahun 1927, Soebroto memusatkan perhatiannya pada bidang desentralisasi. Pada tahun 1929, tahun lahir pemerintahan propinsi Jawa Timur, sampai tahun 1937, jabatannya adalah sebagai “Deputi” atau “Wakil“, di Departemen Administrasi Dalam Negeri. Selama Gubernur Jawa Timur tidak hadir karena sakit di tahun 1937, pak Soebroto cukup lama bertindak sebagai ketua Dewan Propinsi. Pak Soebroto juga menjabat sebagai “Anggota Dewan” di Batavia.

Walikota Pribumi Pertama

Dengan besluit Gubernur Jenderal tanggal 11 Januari 1939, pak Soebroto diangkat menjadi “Walikota Madiun“. Ketika pengangkatan beliau ini menjadi kenyataan, semua surat kabar pribumi menyambut dengan gembira, atas tindakan pemerintah tersebut. Berita ini juga banyak dimuat koran di negeri Belanda. Penunjukan ini adalah penunjukan pertama orang dari kalangan pribumi, pada jabatan yang hanya dipegang oleh orang Belanda. Yang memberi peluang baru bagi warga pribumi, serta memperkecil perbedaan warna kulit dan ras.

Mr. dr. R. Ng. Soebroto, walikota pribumi pertama (Madiun dan Bogor) di Hindia Belanda. Sumber : Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 12-01-1939

Pada 17 Maret 1941, beliau diangkat sebagai Walikota di “Buitenzorg” (sekarang disebut Bogor). Di kota ini, beliau juga orang pribumi pertama yang pernah menjabat sebagai walikota.

Manuscript kuno catatan karir Raden Ngabehi Mr. Soebroto sebagai PNS di masa pemerintahan Hindia Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang, beliau tetap walikota Bogor, dibawah Residen Jepang “Eisaku Ichii”. Setelah proklamasi kemerdekaan, perannya belum diketahui. Kabarnya beliau meninggal karena sakit, di kamp interniran republik di Tawangmangu (Solo), sekitar tahun 1947.

Kehidupan pribadi :

Belum diketahui banyak tentang kehidupan pribadi pak Soebroto, terutama saat di Pasuruan. Tetapi yang jelas, beliau banyak bertugas di Jawa Timur. Istri pertamanya adalah putri dari bupati Pasuruan “R. M. A. A. Soegondo“, yang juga berarti berkerabat dengan “Trah Soegondo“, dari keluarga kraton “Mangkunegaran“. Istri pertama ini dikabarkan meninggal di Bandung pada 1923. Kemudian pak Soebroto menikah dengan putri “K. P. H. Hadiwidjojo“, bernama “R. A. Koos Adrinah Sri Soelistyawati, cucu dari “Susuhunan Pakubuwono“. Saat itu pesta pernikahan dilakukan dengan sangat megah di kraton Solo.

Pak Soebroto dengan istri, ketika mewakili Gubernur Jawa Timur, meresmikan Jalan atau Jalur selatan Semeru (Zuid-Smeroeweg) dan Jembatan Besuk Koboan (terakhir dikenal sebagai jembatan Gladak Perak), pada tanggal 2 November 1934.

Dirangkum dari berbagai sumber di delpher.nl


Selasa, 08 Juli 2025

Gelar Sentana dan Abdi Dalem Kraton Kasunanan

Karaton Surakarta Hadiningrat (Kraton Solo) memiliki sistem gelar dan pangkat yang diatur secara hierarkis, dimana gelar dan pangkat yang lebih tinggi ditulis paling atas.

Berikut adalah aturan gelar dan pangkat yang diberikan oleh Raja kepada para abdi dalem yang bukan berasal dari trah (keturuanan) Dalem:

1. Sentono Dalem (Keluarga Raja)
- Pangeran Sepuh: Diberi gelar Kangjeng Pangeran Arya (KPA.)
- Pangeran: Diberi gelar Kangjeng Pangeran (K.P.)
- Sentana Riya Inggil: Diberi gelar Kangjeng Raden Riya Arya (KRRA.)
- Sentana Riya: Diberi gelar Kangjeng Raden Arya (KRA.)
- Sentana Riya Putri: Diberi gelar Kangjeng Mas Ayu (KMAY.)

2. Abdi Dalem Kakung (Laki-laki)
- Bupati Riya Inggil: Diberi gelar Kangjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT.)
- Bupati Sepuh: Diberi gelar Kangjeng Raden Tumenggung (KRT.)
- Bupati Anom: Diberi gelar Raden Tumenggung (R.T.)
- Panewu: Diberi gelar Mas Ngabehi (M.Ng.)
- Mantri: Diberi gelar Mas Ngabehi (M.Ng.)
- Lurah: Diberi gelar Mas Lurah (M.L.)
- Jajar: Diberi gelar Mas (M.)
- Magang: Tidak memiliki gelar khusus.

3. Abdi Dalem Putri (Perempuan)
- Bupati Riya Inggil: Diberi gelar Kangjeng Mas Ayu Tumenggung (KMAT.)
- Bupati Sepuh: Diberi gelar Kangjeng Mas Tumenggung (KMT.)
- Bupati Anom: Diberi gelar Nyi Mas Tumenggung (NyiMT.)
- Panewu: Diberi gelar Nyi Ngabehi (Nyi Behi)
- Mantri: Diberi gelar Nyi Ngabehi (Nyi Behi)
- Lurah: Diberi gelar Nyi Mas Lurah (Nyi.L)
- Jajar: Diberi gelar Nyi

Gelar-gelar ini mencerminkan status sosial dan tugas yang diberikan oleh Karaton kepada abdi dalem.

Gelar yang lebih tinggi biasanya diberikan kepada mereka yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam struktur pemerintahan Karaton. 

Sistem gelar ini adalah bagian penting dari budaya dan tradisi Karaton Surakarta, yang menjaga nilai-nilai adat istiadat dan kesetiaan kepada Raja dan Karaton. 


Sumber: Tim Digital Media Center Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Selasa, 01 Juli 2025

Batik Klasik Motif Parang

Makna Filosofi Batik Klasik
MOTIF PARANG
Tak hanya indah bentuk motifnya dan rumit dalam proses pembuatannya. Namun batik juga memiliki makna filosofi yang unik dan menarik untuk diketahui. Motif batik tertentu dipercaya memiliki kekuatan gaib dan hanya boleh dikenakan kalangan tertentu. Motif batik diciptakan tidak berdasarkan pertimbangan nilai estetis saja, tetapi juga berdasarkan harapan-harapan yang dituangkan dalam bentuk banyak simbol. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Tapi karena banyak dari pengikut raja yang tinggal di luar kraton, sehingga kesenian membatik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Saat ini, batik telah dikenal banyak orang dan dijadikan produk busana yang dibuat secara massal melalui teknik batik tulis, cap, sablon maupun printing. Apakah batik saat ini dengan beragam motif, warna, serta pengamplikasiannya masih sarat dengan makna filosofi atau hanya sekedar pengembangan saja. Berikut ini kami sajikan beberapa motif batik klasik beserta makna filosofinya.

Motif Parang, motif berbentuk mata parang, melambangan kekuasaan dan kekuatan. Hanya boleh dikenakan oleh penguasa dan ksatria. Batik jenis ini harus dibuat dengan ketenangan dan kesabaran yang tinggi. Kesalahan dalam proses pembatikan dipercaya akan menghilangkan kekuatan gaib batik tersebut.

Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan motif-motif lain seperti Parang Rusak Barong, Parang Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah. Karena penciptanya pendiri Keraton Mataram, maka oleh kerajaan. Motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Motif-motif parang dulunya hanya diperkenankan dipakai oleh raja dan keturunannya dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Sehingga jenis motif ini termasuk kelompok batik larangan. Namun saat ini motif ini bisa kita temui di pasaran dan bisa dikenakan oleh siapapun.

Bila dilihat secara mendalam, garis-garis lengkung pada motif parang sering diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah raja. Komposisi miring pada parang juga melambangkan kekuasaan, kewibawaan, kebesaran, dan gerak cepat sehingga pemakainya diharapkan dapat bergerak cepat.

Sejarah lain menyebutkan jika motif ini diciptakan oleh Panembahan Senopati, pendiri Keraton Mataram. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, Senopati sering bertapa di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa yang dipenuhi oleh jajaran pegunungan seribu yang tampak seperti pereng (tebing) berbaris. Akhirnya, ia menamai tempat bertapanya dengan pereng yang kemudian berubah menjadi parang. Di salah satu tempat tersebut ada bagian yang terdiri dari tebing-tebing atau pereng yang rusak karena deburan ombak laut selatan sehingga lahirlah ilham untuk menciptakan motif batik yang kemudian diberi nama Motif Parang Rusak

Motif ini menjadi kegemaran para Raja Jawa,di Surakarta maupun di Jogjakarta,sehingga motif parang rusak juga menjadi larangan bagi orang kebanyakan.Aturan ini sekarang sudah tidak berlaku lagi bagi lingkungan di luar istana/kraton.Nama-nama jenis parang rusak ini dibedakan berdasarkan ukuran polanya.Parang rusak dengan ukuran polanya yang terkecil dinamakan Parang Rusak Klithik,yang ukuran sedang dinamakan Parang Gendreh dan yang paling besar ukurannya namanya Parang Barong.  

BATIK PARANG CURIGO
Filosofi utama dari motif batik parang curigo ini adalah supaya pemakainya dapat memiliki ketenangan, kecerdasan, maupun kewibawaan. Itulah mengapa, biasanya motif batik jenis ini sering dikenakan saat acara pesta.

Penamaan motif batik ini berasal dari kata “Parang” yang berarti ‘lereng’ dan “Curigo” yang merupakan ‘nama lain dari bilah keris tanpa warangka’.

Warangka adalah bagian atas dari sarung keris yang bentuknya menyerupai tanduk. Jikaperhatikan gambar dari motif batik parang curigo ini, akan tampak bentuk motif huruf “S” yang dimodifikasi menyerupai bilah keris.
Sumber : Fb. Aryo Kartono