Selasa, 12 Agustus 2025

Mr. dr. R. Ng. Soebroto, Walikota Pribumi Pertama di Hindia Belanda

Mr. dr. R. Ng. Soebroto, Walikota Pribumi Pertama di Hindia Belanda
by Achmad Budiman 

“Mr. dr. R. Ng. Soebroto” lahir di Pasuruan, 21 Januari 1894. Termasuk dalam “Ahli Hukum” pribumi terkemuka, yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Setelah menyelesaikan Sekolah Hukum di Batavia, dan bertugas di pengadilan selama beberapa tahun, melanjutkan studinya di Belanda. Meraih gelar doktor di sana dan kemudian melanjutkan kariernya di tanah air.

Di awal karirnya, bapak Soebroto menjabat berbagai jabatan di bidang hukum, terakhir sebagai wakil ketua pengadilan di Jember. Pada tahun 1922 ia berangkat ke Belanda dengan tugas belajar, dan pada Juli 1924, ia mengambil gelar masternya dalam Hukum Belanda di Leiden.

Pada bulan September 1925, ia memperoleh gelar “Doktor” dengan disertasi berjudul “Indonesische Sawahverpanding“. Beberapa bulan kemudian, ia mengambil gelar “Master” dalam hukum Belanda dan Hindia. Sejak saat itu ia berhak menyandang nama dan gelar “Mr. dr. R. Ng. Soebroto“. Gelar “Mr.” pada zaman Belanda artinya bukan “Mister” apalagi “Meneer“, melainkan singkatan dari “Meester in de Rechten” atau diterjemahkan “Magister dalam Hukum“.

Desertasi pak Soebroto, kelahiran Pasuruan (Jawa Timur), sewaktu mengambil gelar Doktor di universitas Leiden Belanda, dengan judul “Indonesische Sawah-Verpanding”.

Kembali ke Hindia Belanda, pak Soebroto menjadi pejabat di Presiden Dewan Kehakiman di Surabaya. Saat itu ia juga bergabung dengan “Klub Studi” dengan “Dr. Soetomo“, bersama dengan tokoh-tokoh gerakan nasionalis lainnya. Kemudian juga bergabung dengan P. B. I. dan Parindra.

Para tokoh gerakan nasionalis pribumi, yang tergabung dalam “Klub Studi” dengan Dr. Soetomo (No. 5), termasuk Mr. dr. R. Ng. Soebroto (No. 7). Sumber foto : Nieuw Soerabaia. De geschiedenis van IndiĆ«’s voornaamste koopstad in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling, 1906-1931 [1935]

Dengan menerima kursi anggota dewan kota Surabaya, pada tahun 1927, Soebroto memusatkan perhatiannya pada bidang desentralisasi. Pada tahun 1929, tahun lahir pemerintahan propinsi Jawa Timur, sampai tahun 1937, jabatannya adalah sebagai “Deputi” atau “Wakil“, di Departemen Administrasi Dalam Negeri. Selama Gubernur Jawa Timur tidak hadir karena sakit di tahun 1937, pak Soebroto cukup lama bertindak sebagai ketua Dewan Propinsi. Pak Soebroto juga menjabat sebagai “Anggota Dewan” di Batavia.

Walikota Pribumi Pertama

Dengan besluit Gubernur Jenderal tanggal 11 Januari 1939, pak Soebroto diangkat menjadi “Walikota Madiun“. Ketika pengangkatan beliau ini menjadi kenyataan, semua surat kabar pribumi menyambut dengan gembira, atas tindakan pemerintah tersebut. Berita ini juga banyak dimuat koran di negeri Belanda. Penunjukan ini adalah penunjukan pertama orang dari kalangan pribumi, pada jabatan yang hanya dipegang oleh orang Belanda. Yang memberi peluang baru bagi warga pribumi, serta memperkecil perbedaan warna kulit dan ras.

Mr. dr. R. Ng. Soebroto, walikota pribumi pertama (Madiun dan Bogor) di Hindia Belanda. Sumber : Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indiƫ, 12-01-1939

Pada 17 Maret 1941, beliau diangkat sebagai Walikota di “Buitenzorg” (sekarang disebut Bogor). Di kota ini, beliau juga orang pribumi pertama yang pernah menjabat sebagai walikota.

Manuscript kuno catatan karir Raden Ngabehi Mr. Soebroto sebagai PNS di masa pemerintahan Hindia Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang, beliau tetap walikota Bogor, dibawah Residen Jepang “Eisaku Ichii”. Setelah proklamasi kemerdekaan, perannya belum diketahui. Kabarnya beliau meninggal karena sakit, di kamp interniran republik di Tawangmangu (Solo), sekitar tahun 1947.

Kehidupan pribadi :

Belum diketahui banyak tentang kehidupan pribadi pak Soebroto, terutama saat di Pasuruan. Tetapi yang jelas, beliau banyak bertugas di Jawa Timur. Istri pertamanya adalah putri dari bupati Pasuruan “R. M. A. A. Soegondo“, yang juga berarti berkerabat dengan “Trah Soegondo“, dari keluarga kraton “Mangkunegaran“. Istri pertama ini dikabarkan meninggal di Bandung pada 1923. Kemudian pak Soebroto menikah dengan putri “K. P. H. Hadiwidjojo“, bernama “R. A. Koos Adrinah Sri Soelistyawati, cucu dari “Susuhunan Pakubuwono“. Saat itu pesta pernikahan dilakukan dengan sangat megah di kraton Solo.

Pak Soebroto dengan istri, ketika mewakili Gubernur Jawa Timur, meresmikan Jalan atau Jalur selatan Semeru (Zuid-Smeroeweg) dan Jembatan Besuk Koboan (terakhir dikenal sebagai jembatan Gladak Perak), pada tanggal 2 November 1934.

Dirangkum dari berbagai sumber di delpher.nl


Selasa, 08 Juli 2025

Gelar Sentana dan Abdi Dalem Kraton Kasunanan

Karaton Surakarta Hadiningrat (Kraton Solo) memiliki sistem gelar dan pangkat yang diatur secara hierarkis, dimana gelar dan pangkat yang lebih tinggi ditulis paling atas.

Berikut adalah aturan gelar dan pangkat yang diberikan oleh Raja kepada para abdi dalem yang bukan berasal dari trah (keturuanan) Dalem:

1. Sentono Dalem (Keluarga Raja)
- Pangeran Sepuh: Diberi gelar Kangjeng Pangeran Arya (KPA.)
- Pangeran: Diberi gelar Kangjeng Pangeran (K.P.)
- Sentana Riya Inggil: Diberi gelar Kangjeng Raden Riya Arya (KRRA.)
- Sentana Riya: Diberi gelar Kangjeng Raden Arya (KRA.)
- Sentana Riya Putri: Diberi gelar Kangjeng Mas Ayu (KMAY.)

2. Abdi Dalem Kakung (Laki-laki)
- Bupati Riya Inggil: Diberi gelar Kangjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT.)
- Bupati Sepuh: Diberi gelar Kangjeng Raden Tumenggung (KRT.)
- Bupati Anom: Diberi gelar Raden Tumenggung (R.T.)
- Panewu: Diberi gelar Mas Ngabehi (M.Ng.)
- Mantri: Diberi gelar Mas Ngabehi (M.Ng.)
- Lurah: Diberi gelar Mas Lurah (M.L.)
- Jajar: Diberi gelar Mas (M.)
- Magang: Tidak memiliki gelar khusus.

3. Abdi Dalem Putri (Perempuan)
- Bupati Riya Inggil: Diberi gelar Kangjeng Mas Ayu Tumenggung (KMAT.)
- Bupati Sepuh: Diberi gelar Kangjeng Mas Tumenggung (KMT.)
- Bupati Anom: Diberi gelar Nyi Mas Tumenggung (NyiMT.)
- Panewu: Diberi gelar Nyi Ngabehi (Nyi Behi)
- Mantri: Diberi gelar Nyi Ngabehi (Nyi Behi)
- Lurah: Diberi gelar Nyi Mas Lurah (Nyi.L)
- Jajar: Diberi gelar Nyi

Gelar-gelar ini mencerminkan status sosial dan tugas yang diberikan oleh Karaton kepada abdi dalem.

Gelar yang lebih tinggi biasanya diberikan kepada mereka yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam struktur pemerintahan Karaton. 

Sistem gelar ini adalah bagian penting dari budaya dan tradisi Karaton Surakarta, yang menjaga nilai-nilai adat istiadat dan kesetiaan kepada Raja dan Karaton. 


Sumber: Tim Digital Media Center Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Selasa, 01 Juli 2025

Batik Klasik Motif Parang

Makna Filosofi Batik Klasik
MOTIF PARANG
Tak hanya indah bentuk motifnya dan rumit dalam proses pembuatannya. Namun batik juga memiliki makna filosofi yang unik dan menarik untuk diketahui. Motif batik tertentu dipercaya memiliki kekuatan gaib dan hanya boleh dikenakan kalangan tertentu. Motif batik diciptakan tidak berdasarkan pertimbangan nilai estetis saja, tetapi juga berdasarkan harapan-harapan yang dituangkan dalam bentuk banyak simbol. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Tapi karena banyak dari pengikut raja yang tinggal di luar kraton, sehingga kesenian membatik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Saat ini, batik telah dikenal banyak orang dan dijadikan produk busana yang dibuat secara massal melalui teknik batik tulis, cap, sablon maupun printing. Apakah batik saat ini dengan beragam motif, warna, serta pengamplikasiannya masih sarat dengan makna filosofi atau hanya sekedar pengembangan saja. Berikut ini kami sajikan beberapa motif batik klasik beserta makna filosofinya.

Motif Parang, motif berbentuk mata parang, melambangan kekuasaan dan kekuatan. Hanya boleh dikenakan oleh penguasa dan ksatria. Batik jenis ini harus dibuat dengan ketenangan dan kesabaran yang tinggi. Kesalahan dalam proses pembatikan dipercaya akan menghilangkan kekuatan gaib batik tersebut.

Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan motif-motif lain seperti Parang Rusak Barong, Parang Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah. Karena penciptanya pendiri Keraton Mataram, maka oleh kerajaan. Motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Motif-motif parang dulunya hanya diperkenankan dipakai oleh raja dan keturunannya dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Sehingga jenis motif ini termasuk kelompok batik larangan. Namun saat ini motif ini bisa kita temui di pasaran dan bisa dikenakan oleh siapapun.

Bila dilihat secara mendalam, garis-garis lengkung pada motif parang sering diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah raja. Komposisi miring pada parang juga melambangkan kekuasaan, kewibawaan, kebesaran, dan gerak cepat sehingga pemakainya diharapkan dapat bergerak cepat.

Sejarah lain menyebutkan jika motif ini diciptakan oleh Panembahan Senopati, pendiri Keraton Mataram. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, Senopati sering bertapa di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa yang dipenuhi oleh jajaran pegunungan seribu yang tampak seperti pereng (tebing) berbaris. Akhirnya, ia menamai tempat bertapanya dengan pereng yang kemudian berubah menjadi parang. Di salah satu tempat tersebut ada bagian yang terdiri dari tebing-tebing atau pereng yang rusak karena deburan ombak laut selatan sehingga lahirlah ilham untuk menciptakan motif batik yang kemudian diberi nama Motif Parang Rusak

Motif ini menjadi kegemaran para Raja Jawa,di Surakarta maupun di Jogjakarta,sehingga motif parang rusak juga menjadi larangan bagi orang kebanyakan.Aturan ini sekarang sudah tidak berlaku lagi bagi lingkungan di luar istana/kraton.Nama-nama jenis parang rusak ini dibedakan berdasarkan ukuran polanya.Parang rusak dengan ukuran polanya yang terkecil dinamakan Parang Rusak Klithik,yang ukuran sedang dinamakan Parang Gendreh dan yang paling besar ukurannya namanya Parang Barong.  

BATIK PARANG CURIGO
Filosofi utama dari motif batik parang curigo ini adalah supaya pemakainya dapat memiliki ketenangan, kecerdasan, maupun kewibawaan. Itulah mengapa, biasanya motif batik jenis ini sering dikenakan saat acara pesta.

Penamaan motif batik ini berasal dari kata “Parang” yang berarti ‘lereng’ dan “Curigo” yang merupakan ‘nama lain dari bilah keris tanpa warangka’.

Warangka adalah bagian atas dari sarung keris yang bentuknya menyerupai tanduk. Jikaperhatikan gambar dari motif batik parang curigo ini, akan tampak bentuk motif huruf “S” yang dimodifikasi menyerupai bilah keris.
Sumber : Fb. Aryo Kartono