Jumat, 16 Juli 2010

Sejarah Tanah Perdikan Taman, Madiun


Masjid Taman tempo doeloe

Sejarah Tanah Perdikan Taman

Pada masa kekuasaan kesultanan Pajang, Desa Taman masih berupa hutan belantara, tetapi setelah ibukota Kabupaten Madiun di Wonorejo hancur akibat peperangan melawan Mataram pada tahun 1590, Bupati Pangeran Adipati Pringgoloyo (pengganti Raden Ayu Retno Djumilah), merencanakan membangun istana kabupaten di hutan Taman, di daerah ini terdapat rawa-rawa yang luas dan berair bersih seperti telaga (sekarang disebut ”Ngrowo”).

Pada masa kekuasaan Kasunanan Kartasura. Sekitar tahun 1703, Raden Ayu Puger , istri Susuhunan Paku Buwono I yang berasal dari Madiun, berniat membangun Taman di Daerah Ngrowo, sebagai Tamansari (taman wisata), dengan adanya rencana itu maka daerah ini kemudian disebut ”Taman” , sejak itu pula daerah Taman diberi kebebasan dari kerja rodi, tidak dipungut pajak, tetapi wajib merawat taman yang akan di bangun.

Tahun 1725 ketika yang berkuasa di Madiun Pangeran Mangkudipuro, di Taman didirikan Makam keluarga dan sebuah masjid untuk pengembangan Agama Islam di wilayah Kabupaten Madiun. 

Pada tahun 1784, Bupati Madiun Pangeran Raden Ronggo Prawirodirjo I wafat, oleh iparnya yaitu, Sultan Hamengku Buwono I, makam Taman yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh Bupati Mangkudipuro         ( lawan politiknya) ditetapkan sebagai makam kerabat beliau. Begitu seterusnya, ada 13 Bupati Madiun yang dimakamkan di Taman, yaitu : Ronggo Prawirodirjo I, Ronggo Prawirodirjo II, Pangeran Dipokusumo, Tumenggung Tirtoprodjo, Ronggo Prawirodiningrat, Ario Notodiningrat, Adipati Sosronegoro, Tumenggung Sosrodiningrat, Ario Brotodiningrat, Tumenggung Kusnodiningrat, Tumenggung Ronggo Kusmen dan Tumenggung Ronggo Kusnindar. Orang menyebut Makam Taman adalah Makam Karanggan (makam keluarga Ronggo) sejak saat itu pula Desa Perdikan Taman di kukuhkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, dengan piagam yang ditulis dengan huruf Arab Jawa (pegon) dengan tinta kuning emas, Pemimpin desa Taman bergelar ”Kyai” yang berkuasa penuh mengelola desa.

Pemimpin Desa Perdikan Taman (Kyai) diberi tanggung jawab untuk merawat Makam Taman dengan biaya dari hasil pertanian desa setempat. Hingga sekarang ada sebelas kyai yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Desa Perdikan Taman, yaitu : Kyai Misbach, Kyai Ageng Moch. Kalifah, Kyai Moch Rifangi, Kyai Donopuro I, Kyai Benu, Kyai Surat, Kyai Donopuro II, Kyai Imam Ngulomo, kyai tirto Prawiro, Kyai Raden Kabul Umar, Kyai Banuarli.

Berbeda dengan desa perdikan lainnya, Taman diwajibkan pula merawat sebilah pusaka istana Jogjakarta sebagai pengaman (piandel) Desa Taman, berupa tombak panjang dengan tangkai sekitar 4 meter, namanya ”Kyai Sidem Pengayom” sampai sekarang pusaka ini disimpan dirumah Kyai. 

Pada tahun 1754 oleh Bupati Ronggo Prawirodirjo I, dibangunlah masjid Donopuro, Masjid ini bangunan utamanya terbuat dari kayu jati dengan ukuran cukup besar yang ada di Kelurahan/Kecamatan Taman, Kota Madiun dikenal para jemaah dan pengunjung sebagai Masjid Besar Kuno Madiun. 

“Memang tak banyak yang mengetahui dulu nama asli Masjid Besar Kuno Madiun ini Masjid Donopuro. Hal itu sesuai dengan julukan pendirinya, yakni Kiai Ageng Misbcah yang memiliki sebutan Kiai Donopuro,” terang, Raden Mas Suko Pramono, keturunan ketujuh Kanjeng Pengeran Ronggo Prawirodirjo I . Baru setelah masjid kuno yang dikelilingi makam para mantan bupati Madiun ini masuk dalam daftar peninggalan cagar budaya tahun 1981, maka namanya pun diganti menjadi Masjid Besar Kuno Madiun. Menurut Mas Suko Pramono, melalui masjid kuno yang beratap joglo dengan tiga pintu masuk utama inilah syiar agama Islam di wilayah Karesidenan Madiun. 

Menurut Raden Mas Suko Pramono tradisi ke-Islaman yang saat itu menjadi sarana syiar agama di antaranya perayaan 1 Muharam yang diwarnai dengan pembacaan Al Qur’an serta sajian makanan jenang sengkolo, nasi liwet, sayur bening, dan lauk-pauk tradisional seperti tahu dan tempe. Dijelaskan, sayur bening yang disajikan pada malam 1 Muharam memiliki arti kebeningan jiwa. Sedangkan nasi liwet berarti kebeningan atau kejernihan jiwa itu diharapkan dapat mengental di hati. Jenang sengkolo memiliki arti adanya harapan agar dijauhkan dari musibah. Sedangkan lauk tahu tempe mewakili makanan khas yang digemari rakyat kebanyakan. Selain menyajikan aneka makanan tersebut bagi jemaah dan warga sekitar, masjid juga menggelar seni Gembrung, berupa senandung sholawat yang diiringi alat musik sejenis jidor dan lesung (alat untuk menumbuk padi). Namun sekarang seni itu sudah hampir musnah dan tak pernah diadakan lagi. Yang masih tersisa adalah Grebeg Bucengan (tumpengan) saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sampai saat ini masjid kuno tersebut tidak pernah direnovasi sama sekali, kecuali hanya penambahan kanopi jika jemaah membeludak.
Masjid Kuno "Donopuro" Taman, Madiun
Pendopo Masjid (Tampak Samping)
Pintu Masuk Makam-makam Bupati Madiun
Prasasti penetapan cagar budaya makam Taman

gerbang makam bupati-bupati madiun di makam taman
Makam R. Rg. Aryo Notodiningrat
Makam R. Ronggo Prawirodirjo I
Makam Pangeran Dipokusumo
Sumber: 
1. Buku Sejarah Kabupaten Madiun, 1980
2. Radar Madiun

Minggu, 11 Juli 2010

Sejarah Desa Perdikan Banjarsari

Gerbang Masjid Kuno Banjarsari 

Sejarah Desa Perdikan Banjarsari

Desa Banjarsari adalah bertetangga dengan desa Sewulan, Desa ini merupakan hadiah dari Sultan Hamengku Buwono II. Kata Banjarsari diduga berasal dari “Ganjar” dan “Sri” ( hadiah sang raja)

Ketika Sultan Hamengku Buwono I naik tahta 13 Pebruari 1755, Kabupaten Singosari, Malang  yang merupakan wilayah Mancanegara timur, membangkang terhadap Sultan Hamengku Buwono I, sudah semestinya ini merupakan tugas dari Wedono Bupati Mancanegara timur di Madiun yaitu Bupati Ronggo Prawiradirjo I.
Bupati Ronggo Prawiradirjo I bersama 40 prajurit pilihan dan seorang santri dari Tegalsari bernama Muhamad Bin Umar  berangkat ke Singosari, dipinggir sungai Porong, atas permintaan Muhamad Bin Umar, perjalanan berhenti dan menanak nasi, nasi bukan untuk dimakan, akan tetapi merupakan sarana agar jika masuk ke istana Bupati Singosari tidak dapat diketahui oleh prajurit jaga. Nasi liwet tersebut diartikan “selamat lewat” dan ternyata benar Rongggo Prawirodirjo beserta prajurit berhasil masuk ke istana tanpa diketahui prajurit musuh. Kemudian Bupati Singosari dibawa menghadap Sultan Hamengku Buwono di Jogjakarta.

Sri Sultan kagum saat mendengar cerita Ronggo Prawirodirjo tentang kesaktian Muhamad Bin Umar, kemudian Sri Sultan memberi hadiah tanah sebagai Desa Perdikan, yang sekarang disebut Desa Banjarsari pada tahun 1763 dan dikuti pembangunan Masjid Besar Banjarsari atau berselang 20 tahun setelah pembangunan masjid Sewulan oleh Bagus Harun (1743). Sekitar tahun 1793 Desa  perdikan Banjarsari dipecah menjadi dua bagian yaitu Desa Banjarsari Wetan dan Desa Banjarsari kulon.

Cerita asal mula Desa Perdikan Banjarsari dalam versi lain sebagai berikut : Berawal dari kekalahan Sultan Hamengku Buwono II dari Mataram gagal memenangi peperangan melawan Prabu Joko , seorang adipati Singosari di Malang. Adipati Singosari sebenarnya masih sentono (adik kandung) Sultan Hamengku Buwono. Namun ia melawan, dan bagi sebuah kerajaan besar seperti Mataram, sebuah kekalahan tidak bisa diterima. Pangeran Ronggo, seorang Bupati Madiun, yang ditugaskan oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk menemui seorang cerdik pandai dan bijak bestari, beliau adalah Kiai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari, Ponorogo.

Kepada Kiai Muhammad Besari, Pangeran Ronggo menyampaikan pesan sang Sultan agar mau membantu di medan peperangan.
Kiai Muhammad Besari menyanggupi. Karena usia beliau sudah tua beliau memanggil santri muda sekaligus menantunya, Kyai Muhammad Bin Umar untuk berperang di bawah panji-panji Mataram. Kyai Muhammad Bin Umar baru saja menikah satu bulan. Namun, ia mematuhi perintah sang guru sekaligus mertuanya. Kyai Muhammad Bin Umar melakukan pendekatan dan strategi yang ganjil dalam melakukan peperangan. Ia memerintahkan pasukan berhenti di dekat sungai Brantas, dan mendirikan kemah di sana. Beberapa prajurit diperintahkan menanak nasi, sementara beliau sendiri memilih menunaikan shalat. Kyai Muhammad Bin Umar memerintahkan 40 orang prajurit dan santri untuk berangkat menuju Malang (Singosari). Perang diselesaikan tanpa pertumpahan darah. Kyai Muhammad Bin Umar masuk ke istana Singosari tanpa perlawanan. Prabu Joko menyerah tanpa syarat, iapun dibawa ke Mataram tanpa diborgol. Permintaannya agar tak dihukum mati dikabulkan oleh Kyai Muhammad Bin Umar.

Prabu Joko sebenarnya heran bukan kepalang. Ke mana pasukannya yang hebat dan pernah mengempaskan pasukan Mataram itu? Ia tak bisa menjawab. Tak ada yang bisa menjawab. Misteri baru terkuak, saat rombongan pergi meninggalkan Singosari. Prabu Joko melihat banyak anak kecil yang membawa galah bambu dan panah kecil. Mereka mirip betul dengan tentara Mataram.
Rombongan berlalu melewati anak-anak kecil itu. Prabu Joko dengan masih menyisakan keheranan, menoleh ke belakang, dan alangkah kagetnya dia: anak-anak kecil itu hilang dan yang terlihat adalah para prajurit Singosari yaitu prajuritnya sendiri. Jelaslah semuanya: ia kalah wibawa di hadapan Kyai Muhammad Bin Umar.
Keberhasilan Kyai Muhammad BinUmar membawa Prabu Joko ke Mataram tanpa pertumpahan darah membuat Raja Hamengku Buwono II gembira dan terkesan. Sebagai hadiah, Kyai Muhammad Bin Umar dipersilakan memilih wilayah hutan di mana pun juga di bawah kekuasaan Mataram untuk dijadikan desa. Wilayah itu akan menjadi wilayah otonom    ( perdikan ) , tanpa dibebani pajak.
Kyai Muhammad Bin Umar memilih sebuah tanah di dekat Desa Sewulan yang ditinggali Kyai Ageng Basyariyah, putra murid Kiai Muhammad Besari. Di utara sungai Catur, ia memberi nama desa itu Desa Banjasari.

Ketika Desa Banjarsari belum terpecah penguasanya berturut-turut, Kyai Ageng I Muhamad Bin Umar. Kyai Ageng II. Kyai Muhamad Imron, Kyai Ageng III Muhamad Maolani, Kyai Ageng ini adalah hanya merupakan wali, karena Tafsiranom putra Kyai Ageng II masih berusia 3 tahun, setelah dewasa sekitar tahun 1793 atau dalam versi lain pada + 1803-an sebagian daerahnya diberikan kepada Muhamad Maolani atas jasa beliau.

Penguasa selanjutnya dari kedua desa tersebut adalah :
Desa Banjarsari Wetan : Kyai Tofsiranom I, Kyai Tofsiranom II, Kyai sosro Ngulomo, Kyai Abdul Hamid, Kyai Notodirodo, Kyai Ismangil, Kyai Istiadji.
Desa Banjarsari Kulon : Kyai Muhamad Maolani, Kyai Ngali Murtolo, Kyai Jayadi II, Kyai Mukibat dan Kyai Joyodipuro.
Kemudian mulai tahun 1963 status desa perdikan dicabut oleh pemerintah menjadi desa biasa yang dipimpin oleh Kepala Desa, yaitu Raden Purnomo Kades Banjarsari Wetan  dan Sumaryono Kades Banjarsari Kulon.

Kyai Raden Abdul Hamid selain sebagai pemimpin Desa perdikan Banjarsari Kulon, beliau juga pendiri Perguruan Ilmu Sumarah ( kepercayaan Sumarah) yang memiliki siswa ribuan jumlahnya, bahkan ada beberapa dari Australia, Amerika, Belanda, Belgia dan Selandia Baru. Kepercayaan sumarah diturunkan di Jogjakarta tahun 1935 oleh Raden Ngabehi Sukino dan Kyai Abdul Hamid sebagai murid pertama, kemudian dikembangkan di daerah Madiun.

Sebagaimana desa perdikan lainnya, setiap bulan Maulud, kyai dengan beberapa anggota pemerintahannya wajib menghadap Sri Sultan di Keraton Jogjakarta sebagai tanda bahwa masih setia dan taat pada pemerintahan Kesultanan Jogjakarta. Kesetiaan itu dapat dibuktikan ketika Pendopo Kabupaten Madiun terbakar habis akibat perang Diponegoro sekitar tahun 1840, Pendopo Desa Banjarsari dibongkar untuk mengganti pendirian kembali Pendopo Kabupaten Madiun.

Kyai Muhammad Bin Umar memimpin Perdikan Banjasari selama 44 tahun. Ia meninggal pada 1807 atau 1227 hijriah. Ia mewariskan sebuah masjid, Al-Muttaqin, yang didirikannya pada 29 September 1763. Di perdikan tersebut terdapat rumah penyimpanan pusaka yang dinamakan “njero kidul” yaitu rumah pusaka peninggalan kyai yang memerintah Banjarsari Kulon, sedang “njero lor” rumah pusaka yang ditempati keluarga besar kyai yang memerintah Banjarsari Wetan yang sekarang ditempati oleh keluarga Abdul Khamid.
Desa perdikan Banjarsari Kulon dihapus menjadi desa biasa pada tanggal 23 Oktober 1963. Berpedoman kepada  pemberhentian R. Djojodipoera yang menjadi Kyai Kepala Perdikan, dengan surat keputusan Bupati R Kardiono, BA No D/55/Dsft/Pbh/63. Pada tanggal 6 Juni 1964 dilantik kepala desa pertama R Soemaryono dipilih melalui pilihan langsung 28 April 1964.
Sumber: grup FB keluarga Banjarsari

Data Potensi Cagar Budaya Desa Banjarsari Wetan dan Banjarsari Kulon
No
No Reg. Kab Madiun
Nama Benda / Obyek
Keterangan
1.
003/CB/DGG/BNCB-ISL/2013
Masjid dan Komplek Makam
 beberapa kali direhab
2.
011/CB/DGG/BCB-ISL/2013
Lumpang Batu

3.
012/CB/DGG/BCB-ISL/2013
Lumpang Batu

4.
013/CB/DGG/BCB-ISL/2013
Kitab Muta shorof

5.
014/CB/DGG/BCB-ISL/2013
Kitab Akidah Tauhid

6.
015/CB/DGG/BCB-ISL/2013
Kitab Al Quran

7.
016/CB/DGG/BCB-ISL/2013
Akidah Kewalian dan Pertanyaan Jawab Sholat Kematian

8.
017/CB/DGG/BCB-ISL/2013
Al Fiah Dasar-dasar Bahasa Arab

9.
018/CB/DGG/BCB-ISL/2013
Fiqih

10.



11.

Rumah Penyimpanan Pusaka “Dalem kidul”
sdh dibongkar 


Rumah Penyimpanan Pusaka “Dalem lor”
Padepokan sumarah

Sumber : 
Buku Sejarah Madiun, 1980
Makalah “Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Cagar Budaya”  Kabupaten Madiun
Tokoh Masyarakat / ex. Pamong Bapak Haryono
Gambar : Grup Facebook KeluargaBanjarsari Wetan & Kulon Dagangan