Menu

Selasa, 18 Juni 2019

Cerita Rakyat dan Potensi Cagar Budaya Watulesung


Watulesung adalah sebuah nama dusun di desa Kedondong Kecamatan Kebonsari Kabupaten Madiun, secara geografis berada di wilayah selatan Kota Madiun dipinggir sungai Bengawan Madiun, disebelah barat terdapat dusun Kandangan dan disebelah timur dusun Tempursari Desa Sambirejo. Masyarakat dusun watulesung mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan berkebun. Maka keberadaan batu lesung, batu lumpang, dan watudakon bukan hal yang ganjil di dusun ini.
Watulesung adalah sebuah toponim yang mempunyai arti batu lesung, yaitu batu tempat untuk menumbuk padi dan palawija. Hal ini sangat erat dengan keberadaan beberapa peninggalan arkeologi berupa batu yang berlubang tengahnya yang dikenal masyarakat sebagai watu lesung. Keberadaan batu-batu lesung tersebut cukup dianggap keramat bagi masyarakat watulesung dan telah terbangun sebuah mitos bahwa batu-batu tersebut bisa menimbulkan malapetaka, ini terbukti beberapa Batu lesung sengaja di rahasiakan keberadaanya, karena batu lesung tersebut di atau benteng kemanan desa terutama dari malapetaka bencana alam seperti banjir dan paceklik yang berkepanjangan. Konon batu-batu lesung tersebut akan berbunyi sendiri pada malam hari dimana hal tersebut menandai datangnya musim paceklik, gagal panen dan kekeringan.
Selain batu lesung, di dusun ini juga ditemukan arca ganesha, arca  yang sudah tidak utuh lagi bentuknya, batu altar, yoni dan sebaran batu bata kuno dengan bentuk panjang, lebar dan tebal bervariasi. 
Kisah cerita asal usul dusun watulesung sendiri berkaitan erat dengan keberadaan dusun-dusun disekitarnya, dan juga konon sangat erat keterkaitannya dengan keberadaan situs Ngurawan di Dolopo yang letaknya cukup dekat dengan dusun ini. 
Pada saat berkembangnya syiar Islam di wilayah Ngurawan atau dikala kadipaten Gegelang yang dilanjutkan era Kadipaten Purabaya dan Madiun, banyak terjadi konflik antara pemeluk kepercayaan lama dan para penyebar agama Islam, walaupun perkembangan Islam di tanah Jawa berjalan dengan damai, namun tentunya tidak sedikit yang menimbulkan gejolak di masyarakat. Hal ini terjadi di dusun watulesung,  tetua dusun Mbah Buonosoro, yang petilasannya atau makamnya sekarang menjadi punden dusun/punden randualas ”Mbah Buonosoro” terpaksa kalah perang hingga kepuntir di kali Slinthir, Dusun Kandangan dan makamnya dipercaya menjadi makam panjang punden Mbah Bonosoro dusun Kandangan. Bukti kekalahan kelompok kepercayaan lama / Hindu/budo, sebuah yoni candi yang berada di punden Bonosoro di bawa oleh para santri ke  Padepokan santri di Tempursari, usaha pemindahan ini berangsur tiga kali, konon batu yoni kembali dengan sendirinya saat pagi hari. Yang ketiga kalinya berhasil dengan di tirakati puasa terlebih dahulu. Namun sesudah Batu Yoni berhasil dibawa ke pesantren konon terjadi pageblug yang banyak menelan korban dari para santri. Para pengikut Hindu hingga saat ini masih ada namun saat ini sudah pindah keyakinan menjadi Islam.   Makam para pengikut Hindu berada di punden Watulesung.
Sedangkan toponim Dusun Kandangan berasal dari tempat Kandang Kuda para Prajurit dan bangsawan Desa Balerejo yang letaknya disebelah selatan Desa Kedondong. Yaitu Kuda-kuda dari keluarga Kyai Mangunarsa dan keluarga Baron yang merupakan bangsawan dari Kasunanan Surakarta. 
Tradisi atau ritual nyadran, bersih desa masih di laksanakan tiap bulan syura di dusun ini ada hal unik pada saat selamatan nyadran, tidak diperbolehkan membawa masakan yang berbahan dari tempe, misalnya kering tempe, konon bakal terjadi hal yang tidak diinginkan. Tradisi apeman yang dilaksanakan di sebuah sendang juga cukup unik, pada saat selamatan beberapa apem di lempar ke dalam sendang dan akan muncul beberapa kura-kura (bulus) berukuran cukup besar di dalam sendang.
Potensi Cagar Budaya :
1. Watu dakon (sudah bersertifikat)
2. Watu lesung
3. Batu altar
4. Arca Ganesha
5. Sebaran bata candi
6. Temuan koin emas
7. Makam panjang
8. Batu yoni
9. Masjid tua
10. Makam tokoh penyebar Agama Islam
11. Tradisi tutur / cerita rakyat 
12. Ritual situs/ nyadran
Tim blusukan Kompasmadya dan penggiat lokal Mas Agung Bedjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar